Dakwah dalam Perspektif Buya Hamka

Publish

9 September 2023

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
951
Dakwah dalam Perspektif Buya Hamka

Dakwah dalam Perspektif Buya Hamka

 

Oleh: Muhammad Iqbal Rahman

(Sekertaris Majelis Tabligh PDM Kabupaten Mojokerto & Ketua Umum Pimpinan Daerah IPM Kabupaten Mojokerto)

Dakwah adalah bagian terbesar dari aktivitas Buya Hamka. Hal ini dilakukannya karena menurutnya, dakwah adalah salah satu bagian penting dari kehidupan seorang muslim, walaupun banyak muslim menganggap bahwa dirinya belum cukup bekal untuk berdakwah. Dakwah dapat dilakukan baik dengan tangan serta lisan. Dan selemah-lemahnya iman adalah dengan melakukan dakwah melalui hati. Secara umum, dakwah Buya Hamka ditujukan kepada seluruh masyarakat muslim di Indonesia, namun ia juga mengkhususkan dakwahnya untuk para penguasa. Walaupun ia dikenal sebagai seorang ulama yang pernah menduduki jabatan resmi negara yakni menjadi Ketua Umum MUI, namun hal tetsebut tidak menggoyahkan prinsip dakwah yang dianutnya. Ia tetap berpegang teguh pada tuntunan dakwah sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Rasulullah Saw. Oleh sebab inilah, maka membahas tentang dakwah menurut Buya Hamka dinilai relevan untuk dijadikan rujukan bagi dai untuk kondisi saat ini.

Menurut Buya Hamka, Dakwah bermakna “mengharap,” yakni dakwah yang berasal dari hamba kepada Allah. Dakwah ini disebut juga dengan doa. Pengertian Dakwah ini termaktub dalam Surah al-Baqarah ayat 186: Artinya: “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran”.

Bahkan dalam buku yang berjudul Kepemimpinan Islam dan Dakwah, yang ditulis oleh Khatib Pahlawan Kayo menyatakan bahwa Buya Hamka memaparkan bahwa salah satu tujuan dakwah ialah untuk mengetahui hakikat manusia tentang arti sebenarnya hidup ini yakni dalam rangka beribadah kepada Allah SWT. Selain itu, dakwah juga bertujuan untuk membawa madu dari kondisi yang gelap gulita kepada kondisi yang terang menderang. Dalam hal ini Buya Hamka juga mengacu pada Surah Ibrahim ayat 1 yang berarti: “Alif, laam raa. (Ini adalah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji”.

Dalam buku tersebut, Buya Hamka memaparkan bahwa hakikat materi dakwah adalah menyampaikan kebajikan yang dapat dilaksanakan melalui amar makruf dan nahi mungkar. Amar makruf berarti menyeru, menganjurkan, menjelaskan bagaimana pekerjaan baik yang wajib dikerjakan. Adapun pokok utama materi yang akan didakwahkan dapat dikategorikan kepada lima hal, yakni:

1. Menjelaskan tentang aqidah islamiyah, yaitu pokok-pokok kepercayaan islam atau disebut juga dengan rukun iman. Dasar aqidah Islam itu adalah Tauhid yang termaktub dalam Al Quranul karim.

2. Menjelaskan tentang ar-risalatul Muhammadiyah atau maksud utama diutusnya Nabi Muhammad SAW oleh Allah SWT kepada manusia.

3. Menjelaskan tentang sunnah Rasulullah SAW yang termaktub dalam hadits.

4. Menjelaskan tentang sejarah hidup Nabi Muhammad SAW, perjuangan, suka duka, rintangan dalam menegakkan agama Allah serta kesetian para sahabat dalam membela dan mempertahankan ajaran Rasulullah SAW.

Syarat-Syarat Dai Menurut Buya Hamka

Syarat yang berkaitan dengan pengetahuan/keilmuan

  1. Memiliki pengetahuan tentang ilmu agama (Al-Quran, Hadits, Ilmu Fiqh, Sirah Rasulullah SAW, Sirah Sahabat Rasulullah SAW, Sirah ulama-ulama salaf)
  2. Memiliki pengetahuan mengenai madu yang akan didakwahkan
  3. Mengetahui pengetahuan tentang ilmu sejarah umum serta adat dan kebiasaan di wilayah dakwahnya
  4. Menguasai pengetahuan tentang letak geografis wilayah dakwah yang akan dikunjunginya
  5. Menguasai ilmu jiwa
  6. Menguasai ilmu sosiologi
  7.  Menguasai ilmu politik
  8. Menguasai bahasa lokal tempat melakukan dakwah
  9. Mengetahui tentang kebudayaan dan kesenian tempat melakukan dakwah
  10. Mengetahui pokok-pokok perbedaan mazhab dan agama

Syarat yang berkaitan dengan kepribadian

  1. Beriman dan menjalankan syariat Islam dengan baik
  2. Cerdik, Empati, Berani, Bijaksana, Sopan santun, Berpandangan positif
  3. Tawadhu dan pemaaf
  4. Sehat jasmani
  5. Fasih dalam berbicara
  6.  Memiliki niat yang lurus dalam berdakwah
  7. Memahami materi dakwah yang disampaikannya
  8. Berkepribadian kuat dan teguh dari pujian dan tantangan
  9.  Menghindari diri dari pertentangan masalah khilafiyah
  10.  Menjadi contoh teladan untuk para jamaah

Nilai-Nilai Dakwah Menurut Buya Hamka

Buya Hamka memaparkan bahwa dakwah Islam didirikan di atas 43 nilai yang membedakannya dengan aktifitas lain. Nila-nilai inilah yang seyogyanya menjadi panduan bagi semua dai dalam melakukan dakwahnya. Berikut 43 nilai dakwah menurut Buya Hamka.

  1.    Dakwah itu membina, bukan menghina
  2.  Dakwah itu mendidik bukan membidik
  3. Dakwah itu mengobati bukan melukai
  4.  Dakwah itu mengukuhkan, bukan meruntuhkan
  5. Dakwah itu saling menguatkan bukan saling melemahkan
  6.   Dakwah itu mengajak, bukan mengejek
  7.  Dakwah itu menyejukkan, bukan memojokkan
  8.  Dakwah itu mengajar, bukan menghajar
  9.  Dakwah itu saling belajar, bukan saling bertengkar
  10. Dakwah itu menasehati bukan mencaci maki
  11. Dakwah itu merangkul, bukan memukul
  12. Dakwah itu mengajak bersabar,bukan mengajak mencakar
  13. Dakwah itu argumentatif, bukan provokatif
  14.  Dakwah itu bergerak cepat, bukan sibuk berdebat
  15. Dakwah itu realistis, bukan fantastis
  16.  Dakwah itu mencerdaskan, bukan membodohkan
  17.  Dakwah itu menawarkan solusi, bukan mengumbar janji
  18.  Dakwah itu berlomba-lomba dalam kebajikan, bukan berlomba saling menjatuhkan
  19.  Dakwah itu menghadapi masyarakat, bukan membelakangi masyarakat
  20.  Dakwah itu memperbaharui masyarakat, bukan membuat masarakat baru
  21. Dakwah tu mengatasi keadaan, bukan meratapi kenyataan
  22. Dakwah itu pandai memikat, bukan mahir mengumpat
  23. Dakwah itu menebar kebaikan, bukan mengorek kesalahan
  24.  Dakwah itu menutup aib dan memperbaikinya, bukan mencari-cari aib dan menyebarkannya
  25. Dakah itu menghargai perbedaan, bukan memonopoli kebenaran
  26.  Dakwah itu mendukung semua program kebaikan, bukan memunculkan keraguan
  27.  Dakwah itu memberi senyum manis, bukan menjatuhkan vonis
  28. Dakwah itu berletih-letih menanggung problem umat, bukan meletihkan umat
  29.  Dakwah itu menyatukan kekuatan, bukan memecah belah barisan
  30. Dakwah itu kompak dalam perbedaan, bukan ribut mengklaim kebenaran
  31.  Dakwah itu siap menghadapi musuh, bukan selalu mencari musuh
  32.   Dakwah itu mencari teman, bukan mencari lawan
  33. Dakwah itu melawan kesesatan, bukan mengotak-atik kebenaran
  34.   Dakwah itu asyik dalam kebersamaan, bukan bangga dengan kesendirian
  35. Dakwah itu menampung semua lapisan bukan memecah belah persatuan
  36.  Dakwah itu kita mengatakan “aku cinta kamu” bukan “aku benci kamu”
  37. Dakwah itu kita mengatakan “mari bersama kami” bukan “kamu harus ikut kami
  38. Dakwah itu biaya sendiri bukan dibiayai/disponsori
  39. Dakwah itu “habis berapa”, bukan “dapat berapa”?
  40.  Dakwah itu “memanggil/mendatangi” bukan “dipanggil/panggilan”
  41. Dakwah itu saling islah, bukan saling salah
  42. Dakwah itu di masjid, di sekolah, di pasar, di kantor, di parlemen, di jalanan, hingga di mana saja, bukan hanya di pengajian
  43.  Dakwah itu cara nabi, bukan dengan cara sendiri.

Dari kutipan nilai dakwah Buya Hamka di atas dapatlah dipahami bahwa ia memahami dakwah sebagai tugas kenabian yang harus dilakukan berdasarkan tuntunan Rasulullah Saw, yakni dengan meneladani cara berdakwah beliau beserta para sahabat, baik yang berkaitan dengan subtansi materi, etika, metode, maupun kepribadian yang harus dimiliki dai dalam menyampaikan dakwah itu sendiri. Di sisi lain,dakwah tidak hanya dipahami sebagai aktivitas yang hanya terbatas pada profesi formal semata, namun bersifat subtansi dan termanivestasi dalam berbagai bentuk kegiatan kebajikan, baik melalui pengajaran, perdagangan, bahkan dalam perpolitikan yang dapat dilakukan dimana saja, kapan saja dan oleh semua kaum muslimin.

Metode Dakwah Buya Hamka

Metode Dakwah Hikmah

Hikmah berarti kebijaksanaan, yaitu berdakwah dengan mempergunakan dengan akal budi yang mulia, dada yang lapang dan hati yang bersih agar dapat menarik perhatian orang lain terhadap agama Islam. Kata hikmah berbeda dengan filsafat, karena pada dasarnya kata ini mempunyai makna yang lebih halus dari filsafat itu sendiri. Bila filsafat hanya dapat dipahami oleh orang-orang yang telah terlatih fikirannya serta telah tinggi pendapat logikanya, maka hikmah dapat dipahami oleh semua orang, baik orang yang belum maju kecerdasannya maupun bagi orang yang pintar.

Buya Hamka menambahkan bahwa meliputi seluruh manusia, menurut perkembangan akal, fikiran dan budi pekerti. Metode bil hikmah dapat diterima oleh orang yang berfikir sederhana, dapat pula mencapai kepada yang lebih tinggi dan lebih cerdas sebab yang dipanggil di samping fikiran adalah perasaan dan kemauan.

Oleh sebab itu ayat-ayat Al-Quran jika diterangkan oleh orang yang ahli dapat diterima oleh orang fikirannya yang paling sederhana dan sarjana ahli yang berilmu tinggi. Menyampaikan dakwah dengan metode hikmah merupakan cara dalam melaksanakan amar ma’ruf.

Metode Mauizhatul Hasanah

Mauizhatul Hasanah dapat diartikan dengan pengajaran yang baik, atau pesan-pesan yang baik yang disampaikan sebagai nasehat. Diantara contoh mauizhatul hasanah adalah pengajaran yang diberikan oleh ayah dan ibu dalam mendidik anak-anaknya, pengajaran pada lembaga pendidikan Islam, pengajaran pada pengajian dan majelis-majelis dan lain sebagainya.

Buya Hamka mengemukakan bahwa memberikan peringatan/ teguran dengan cara yang baik merupakan hal yang diperintahkan oleh Allah SWT. Perintah ini jelas tergambar dalam Al-Quran yaitu dalam surat Thaaha ayat 44: “Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut”.

Metode Mujadalah Billati Hiya Ahsan

Mujadalah billati hiya ahsan adalah berdiskusi, bertukar fikiran, berbantah dengan cara yang baik. Metode ini dilakukan bila dai dalam kondisi terpaksa menghadapi perbantahan yang tidak dapat dielakkan lagi. Misalnya bila ada seseorang yang masih kufur dan belum mengerti Islam, lalu dengan sesuka hatinya mengeluarkan celaan terhadap Islam, maka orang ini wajib dibantah dengan cara yang sebaik baiknya (sopan santun dan tidak dibarengi dengan kebencian), disadarkan dan diajak kepada jalan fikiran yang benar, sehingga ia kemudian dapat menerima kebenaran islam.

Demikian beberapa uraian dakwah dalam perspektif Buya Hamka. Semoga kita bisa menerapkan pilar pilar dakwah yang sudah di ajarkan oleh Ulama kita bersama. Dengan harapan, agar ada perubahan dan pencerahan untuk ummat dan bangsa.

 

 

 

 


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Memberi Nilai Ibadah pada Dunia Kerja Kita Oleh : M. Rifqi Rosyidi, Lc., M.Ag., Mudir Pondok M....

Suara Muhammadiyah

17 January 2024

Wawasan

Nubuwah Era Digital dan Aplikasinya dalam Pembelajaran Oleh: Dr. Samson Fajar, M.Sos.I. Era digita....

Suara Muhammadiyah

28 September 2023

Wawasan

Metode Bercerita: Memperkaya Pembelajaran di PAUD Oleh: Wildan Aji Saputra, S.Pd., M.Pd Perkembang....

Suara Muhammadiyah

27 February 2024

Wawasan

Karakteristik Ayat-ayat Puasa (5) Beribadah itu Ringan dan Mudah Oleh : M. Rifqi Rosyidi, Lc., M.Ag....

Suara Muhammadiyah

30 March 2024

Wawasan

Baiti Jannati, Menciptakan Suasana Surga dalam Rumah Oleh: M. Rifqi Rosyidi, Lc., M.Ag., Mudir Pond....

Suara Muhammadiyah

18 March 2024

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah