Ikhtiar Awal Menuju Keluarga Sakinah (12)

Publish

23 November 2023

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
248
Foto Istimewa

Foto Istimewa

Ikhtiar Awal Menuju Keluarga Sakinah (12)

Oleh: Mohammad Fakhrudin dan Iyus Herdiana Saputra

Di dalam Ikhtiar Awal Menuju Keluarga Sakinah (IAMKS) (11) telah diuraikan kriteria calon suami. Dengan merujuk pada firman Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam Al-Qur’an surat an-Nisa (3): 34, kita tahu bahwa calon suami harus mempunyai modal utama sebagai pelindung dan pemberi nafkah. Ayat itu kita pahami lebih luas lagi bahwa laki-laki adalah pemimpin keluarga.

Sementara itu, Yunahar Ilyas di dalam Kuliah Akhlaq  (hlm. 248) dengan merujuk pada firman Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam Al-Qur’an surat al-Maidah (5): 55 menjelaskan bahwa syarat pemimpin adalah: (1) beriman kepada Allah Allah Subhanahu wa Ta’ala itu, (2) mendirikan shalat, (3) menunaikan zakat, dan (4) selalu tunduk patuh kepada-Nya. 

Salah satu kewajiban suami terhadap istri adalah memberikan mahar sebagaimana dijelaskan di dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam Al-Qur’an surat an-Nisa (3): 20-21. Berkenaan dengan mahar, hal yang perlu mendapat penekanan kembali adalah bahwa Islam tidak mempersulit. Oleh karena itu, semestinya umat Islam tidak mempersulit dengan membuat ketentuan sendiri.

Selain berkewajiban memberikan imahar, suami berkewajiban juga memberikan nafkah. Inilah topik yang diuraikan di dalam IAMKS (12) ini. 

Memberikan nafkah

Memberikan nafkah merupakan kewajiban suami. Hal itu dijelaskan di dalam Al-Qur’an surat al-Baqarah: 233,

وَا لْوَا لِدٰتُ يُرْضِعْنَ اَوْلَا دَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَا مِلَيْنِ لِمَنْ اَرَا دَ اَنْ يُّتِمَّ الرَّضَا عَةَ ۗ وَعَلَى الْمَوْلُوْدِ لَهٗ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِا لْمَعْرُوْفِ ۗ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ اِلَّا وُسْعَهَا ۚ لَا تُضَآ رَّ وَا لِدَةٌ بِۢوَلَدِهَا وَلَا مَوْلُوْدٌ لَّهٗ بِوَلَدِهٖ وَعَلَى الْوَا رِثِ مِثْلُ ذٰلِكَ ۚ فَاِ نْ اَرَا دَا فِصَا لًا عَنْ تَرَا ضٍ مِّنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلَا جُنَا حَ عَلَيْهِمَا ۗ وَاِ نْ اَرَدْتُّمْ اَنْ تَسْتَرْضِعُوْۤا اَوْلَا دَكُمْ فَلَا جُنَا حَ عَلَيْكُمْ اِذَا سَلَّمْتُمْ مَّاۤ اٰتَيْتُمْ بِا لْمَعْرُوْفِ ۗ وَا تَّقُوا اللّٰهَ وَا عْلَمُوْۤا اَنَّ اللّٰهَ بِمَا تَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌ

"Dan ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, bagi yang ingin menyusui secara sempurna. Dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang patut. Seseorang tidak dibebani lebih dari kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita karena anaknya dan jangan pula seorang ayah (menderita) karena anaknya. Ahli waris pun (berkewajiban) seperti itu pula. Apabila keduanya ingin menyapih dengan persetujuan dan permusyawaratan antara keduanya, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin menyusukan anakmu kepada orang lain, maka tidak ada dosa bagimu memberikan pembayaran dengan cara yang patut. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan."

Kewajiban suami memberikan nafkah dijelaskan juga di dalam Al-Qur’an surat ath-Thalaq: 6-7 

اَسْكِنُوْهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْـتُمْ مِّنْ وُّجْدِكُمْ وَلَا تُضَآ رُّوْهُنَّ لِتُضَيِّقُوْا عَلَيْهِنَّ ۗ وَاِ نْ كُنَّ اُولَا تِ حَمْلٍ فَاَ نْفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتّٰى يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ ۚ فَاِ نْ اَرْضَعْنَ لَـكُمْ فَاٰ تُوْهُنَّ اُجُوْرَهُنَّ ۚ وَأْتَمِرُوْا بَيْنَكُمْ بِمَعْرُوْفٍ ۚ وَاِ نْ تَعَا سَرْتُمْ فَسَتُرْضِعُ لَهٗۤ اُخْرٰى 

"Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya sampai mereka melahirkan kandungannya, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu maka berikanlah imbalannya kepada mereka; dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan, maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya."

لِيُنْفِقْ ذُوْ سَعَةٍ مِّنْ سَعَتِهٖ ۗ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهٗ فَلْيُنْفِقْ مِمَّاۤ اٰتٰٮهُ اللّٰهُ ۗ لَا يُكَلِّفُ اللّٰهُ نَفْسًا اِلَّا مَاۤ اٰتٰٮهَا ۗ سَيَجْعَلُ اللّٰهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُّسْرًا

"Hendaklah orang yang mempunyai keluasan memberi nafkah menurut kemampuannya, dan orang yang terbatas rezekinya, hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak membebani seseorang melainkan (sesuai) dengan apa yang diberikan Allah kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan setelah kesempitan."

Sementara itu, di dalam HR Muawiyah kewajiban suami itu pun dijelaskan.

عَنْ مُعَاوِيَةَ الْقُشَيْرِىِّ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا حَقُّ زَوْجَةِ أَحَدِنَا عَلَيْهِ قَالَ أَنْ تُطْعِمَهَا إِذَا طَعِمْتَ وَتَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ – أَوِ اكْتَسَبْتَ – وَلاَ تَضْرِبِ الْوَجْهَ وَلاَ تُقَبِّحْ وَلاَ تَهْجُرْ إِلاَّ فِى الْبَيْتِ

Dari Muawiyah al-Qusyairi, ia berkata, aku bertanya, “Ya Rasulullah, apa hak istri kami?” Beliau bersabda, “Engkau memberinya makan apa yang engkau makan. Engkau memberinya pakaian sebagaimana engkau berpakaian. Janganlah engkau pukul mukanya, janganlah engkau menjelekkannya, dan janganlah engkau meninggalkannya melainkan masih dalam satu rumah.”

Di dalam HR al-Bukhari dan Muslim dijelaskan juga kewajiban suami memberikan nafkah.

عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ هِنْدَ بِنْتَ عُتْبَةَ قَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ شَحِيحٌ ، وَلَيْسَ يُعْطِينِى مَا يَكْفِينِى وَوَلَدِى ، إِلاَّ مَا أَخَذْتُ مِنْهُ وَهْوَ لاَ يَعْلَمُ فَقَالَ خُذِى مَا يَكْفِيكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوفِ

"Dari 'Aisyah bahwa Hindun binti Utbah pernah bertanya, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan adalah orang yang kikir. Ia tidak mau memberi nafkah kepadaku dan anakku sehingga aku mesti mengambil darinya tanpa sepengetahuannya.” Rasulullah bersabda, “Ambillah apa yang mencukupi untuk keperluan kamu dan anakmu dengan cara yang baik.”

Menafkahi dengan rezeki yang halal

Dalam hubungannya dengan memberikan nafkah, ada hal penting yang harus diperhatikan, yakni kehalalan. Kehalalan rezeki tidak hanya terbatas pada zatnya, tetapi juga halal cara memperolehnya. Makanan, minuman, dan pakaian yang halal dan diperoleh dengan jalan halal pasti mendatangkan keberkahan. 

Kahalalan rezeki mendatangkan ketenteraman di dalam keluarga. Hal ini tidak berarti bahwa keluarga itu tidak menghadapi masalah. Masalah tetap ada, tetapi dapat diselesaikan dengan baik. Suami istri (dan anak) ketika menghadapi masalah, atas pertolongan Allah Subhanahu wa Ta’ala, terbuka pikiran dan hatinya. Mereka saling menasihati tentang kebenaran dengan penuh kesabaran. 

Ketika memperoleh kemudahan, mereka selalu bersyukur. Ketika menghadapi masalah, mereka bersabar.  Sesungguhnya, inilah kata kunci kehidupan keluarga beriman dan bertakwa. 

Pemahaman yang benar dan sama tentang pengaruh-baik kehalalan rezeki mudah dikondisikan di dalam keluarga. Dengan demikian, selalu ada kesearahan dalam hal menjemput rezeki yang halal.

Rezeki yang diperoleh dengan cara yang haram (misalnya korupsi) pasti mendatangkan “bencana.”  Mungkin pada awalnya tidak dirasakan. Banyak kasus yang harus kita jadikan pelajaran. Akibat suami memberikan rezeki haram kepada istri (dan anak), kehidupan rumah tangga tidak tenteram. Ada istri yang karena makan, minum, dan memakai pakaian yang diperoleh dengan cara haram, hidup penuh dengan “kepongahan.” Anaknya pun demikian. Orang lain yang awalnya tidak tahu akhirnya tahu. Aib keluarga pun terbuka sehingga masyarakat luas pun mengetahuinya. 

Sesungguhnya, mereka sudah dinasihati oleh orang tua, saudara, teman, ustaz dan ustazah, atau orang saleh yang lain, tetapi tidak memedulikannya. Hal inilah yang menjadi awal terjadinya “bencana.” Mereka tidak mau menerima nasihat. Mereka punya telinga, tetapi tidak mau mendengar. Mereka punya mata, tetapi tidak mau melihat. Mereka punya hati, tidak mau mengerti. Mereka kufur nikmat.  

Keluarga yang demikian tidak akan pernah memperoleh kebahagiaan yang sejati. Di dunia pun mereka sesungguhnya tidak mendapatkannya apalagi di akhirat. Sungguh menderita! Bagaimana tidak? Doanya pun tidak didengar sebagaimana dijelaskan di dalam HR Muslim berikut ini.

ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ، يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ، يَا رَبِّ، يَا رَبِّ، وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ، وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ، وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ، وَغُذِيَ بِالْحَرَامِ، فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ؟

“Kemudian, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan hal seorang lelaki yang telah menempuh perjalanan jauh sehingga rambutnya menjadi kusut dan berdebu. Orang itu mengangkat kedua tangannya ke langit dan berdoa, ‘Wahai Tuhanku, wahai Tuhanku,' padahal makanannya dari barang yang haram, minumannya dari yang haram, pakaiannya dari yang haram, dan diberi makan dari yang haram.  Bagaimanakah Allah akan mengabulkan doanya?"


Allahu a’lam

Mohammad Fakhrudin, 
warga Muhammadiyah, 
tinggal di Magelang Kota 

Iyus Herdiyana Saputra, 
dosen al-Islam dan Kemuhammadiyah, 
Universitas Muhammadiyah Purworejo


Komentar

Rr. Lestariningsih

MasyaAllah, bukan sesuatu yg baru, ttp krn kita sering abai akan hal ini, maka yang terjadi kita bisa terjerumus pada hsl yang menyebabkan keberkahan tidak bisa kita raih. Terima kasih pencerahannya. Semoga tetap istiqomah di jalan Allah.

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Mempertimbangkan Perlunya Kampanye di Kampus Oleh: Dr Immawan Wahyudi PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI ....

Suara Muhammadiyah

22 September 2023

Wawasan

Oleh: Donny Syofyan Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas Salah satu cara untuk membuka j....

Suara Muhammadiyah

2 February 2024

Wawasan

Dahlan dan Kennedy Oleh: Abdul Hafiz, Wakil Ketua PWM Bengkulu Kedua tokoh ini bisa dipastikan tid....

Suara Muhammadiyah

29 December 2023

Wawasan

Oleh: Bahrus Surur-Iyunk Jika Anda orang Sumenep dan Pamekasan atau pernah jalan-jalan ke kota Sume....

Suara Muhammadiyah

18 February 2024

Wawasan

Oleh: Bahren Nurdin Bayangkan saat Jumatan di masjid lokal Anda: Khotib berdiri di mimbar, mengucap....

Suara Muhammadiyah

28 November 2023

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah