Inkuisisi Ibnu Hanbali (Bagian ke-1)

Publish

9 October 2023

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
556
Sumber Gambar Museum of Islamic Art

Sumber Gambar Museum of Islamic Art

Inkuisisi Ibnu Hanbali (Bagian ke-1)

Oleh: Donny Syofyan

Jumlah umat Islam diestimasi 1.6 miliar orang hari ini di seluruh dunia. Tapi belum ada negara Islam atau yang mayoritas penduduknya Muslim secara dominan memproduksi hasil-hasil sains dan teknologi. Setiap tahun lebih banyak buku-buku yang diterjemahkan ke bahasa Spanyol ketimbang bahasa Arab dalam seribu tahun belakangan. Kurangnya produk-produk saintifik ini sangat mengejutkan. Tidak ada penjelasan tunggal tentang pengabaian sains di Dunia Islam, siapa yang menyebabkan kemunduran atau pemicu terjadinya kemunduran. Justru zaman keemasan Islam menjadi saksi dari banyak peristiwa yang kompleks dan laten.

Jalur Sutra berperan mengglobalisasi ilmu pengetahuan dan mengantarkan terciptanya aliran pemikir rasional bernama Mu`tazilah. Doktrin Mu`tazilah menekankan pilihan bebas yang mutlak bagi manusia. Namun hubungan antara negara dan otoritas agama adakalanya samar-samar. Pada 833 khalifah Al Ma’mun, penguasa ke-7 dinasti Abbasiyah, melihat adanya peluang untuk merebut otoritas keagamaan dengan mengorbankan ulama. Dia meresmikan doktrin Mu`tazilah dan berupaya menghabisi aliran pemikiran lainnya. Al Ma’mun menerapkan inkuisisi yang dinamakan mihnah. Para ilmuwan yang bekerja di lembaga-lembaga pendidikan yang dibiayai negara atau kerajaan dipaksa untuk tunduk kepada ajaran Mu`tazilah dan mengajarkan filsafat Neoplatonik dan metafisika Aristoteles sebagai kurikulum pendidikan. Yang menolak akan dicambuk, dihukum bahkan dipenggal kepalanya. Al Ma’mun meninggal pada tahun yang sama ia mengeluarkan dekrit mihnah. Namun gagasannya dilanjutkan oleh para penggantinya.

Sebagian besar ilmuwan tunduk kepada doktrin Mu`tazilah yang diterapkan khalifah. Namun seorang ulama bernama Ahmad bin Hanbal dari Baghdad menolak membenarkan doktrin rasional tersebut. Dia berdalih bahwa Al-Qur’an itu bersifat abadi dan tidak membuka pintu bagi penafsiran dan inovasi. Ahmad bin Hanbal dan pengikutnya memboikot kehendak bebas, metafisika, rasionalisme dan tunduk kepada interpretasi literal Al-Qur’an. Berbeda dengan gagasan Ahmad bin Hanbal, doktrin Mu`tazilah percaya bahwa ayat-ayat antromorfik dalam Al-Qur’an yang menyebut tangan, mata, dan wajah Tuhan mengindikasikan bahwa kitab suci ini seharusnya tidak ditafsirkan secara literal. Berdasarkan hal itu, kaum Mu`tazilah percaya bahwa Al-Qur’an terbuka untuk penafsiran rasional dan inovasi. Untuk mempertahankan keyakinan Mu`tazilah ini, Ahmad bin Hanbal dipenjara, disiksa bahkan dilarang menyampaikan ajarannya di Baghdad.

Sepanjang satu dekade, penguasa Abbasiyah berupaya keras memutus pengaruh Ahmad bin Hanbal. Tapi yang terjadi secara tidak sengaja justru mengukuhkannya sebagai tokoh di mata masyarakat. Seiring dengan masa yang berlalu, inkuisisi kian tidak popular di kalangan masyarakat Baghdad. Sejumlah kerusuhan pecah karena mendukung Ahmad bin Hanbal. Dalam situasi ini, Al-Mutawakkil naik tahta pada 847 sebagai penguasa ke-10 dari dinasti Abbasiyah. Ia mewarisi imperium terbesar di dunia pada usia 26 tahun. Namun otoritasnya dipertanyakan, dan dia berusaha untuk mengembalikan legitimasinya dengan segera. Dia mengambil keputusan yang popular, yakni membatalkan inkuisisi dan menjadikan gagasan penerjemahan Al-Qur’an secara literal yang diperjuangkan Ahmad bin Hanbal sebagai doktrin keagamaan resmi kerajaan.

Ahmad bin Hanbal hidup bersama tiga khalifah. Disebut sebagai pembela Islam, Ahmad bin Hanbal kemudian mendirikan aliran pemikiran yang mengusung namanya, yang kini kita kenal sebagai madzhab Hanbali. Ini memberikan sejumlah dampak pagi perkembangan peradaban Islam berikutnya. Pertama, otoritas keagamaan menjadi wewenang eksklusif para ulama, sementara peranan khalifah diperkecil menjadi otoritas politik saja. Kedua, naiknya Ahmad bin Hanbal berkontribusi bagi melemahnya pengaruh Mu`azilah sehingga satu dekade berikutnya pukulan balasan bagi gagasan dan pendukung Mu`tazilah menyebar di seantero wilayah dinasti Abbasiyah. Ketiga, berakhirnya inkuisisi fungsional memfasilitasi tumbuhnya gerakan keagamaan yang lebih ortodoks. Warisan ini masih tampak dan dirasakan sampai hari ini. Madzhab Syafii dominan di Afrika Timur dan Asia Tenggara, sementara madzhab Maliki memegang pengaruh di Afrika Utara. Adapun madzhab Hanafi berlaku kuat di bekas kekhalifahan Utsmaniyah dan Asia Tengah. Lalu madzhab Hanbali mengalami reformasi pada abad ke-18 dengan lahirnya Gerakan Salafi-Wahabi, sehingga madzhab ini terbatas tapi dominan di Arab Saudi.

Al-Mutawakkil menunjuk putra sulungnya Al-Muntasir sebagai penggantinya. Namun setelah beberapa tahun Al-Mutawakkil berubah pikiran, dia memilih putra keduanya sebagai penggantinya. Ini berimbas kepada meluasnya pertentangan politik. Putranya yang tertua Al-Muntasir sangat disukai oleh pasukan bayaran Turki, Mamluk. Zaman awal kemajuan sains telah mengubah posisi pasukan Turki dari sekadar budak atau pasukan bayaran menjadi pengacara, penasihat terpercaya dan komandan militer. Sementara, putra bungsunya Al-Mu`tazz justru mendapat dukungan dari elit tradisional Abbasiyah. Al-Muntasir menaruh kecurigaan kepada ayahnya. Kemudian dia mengambil keputusan menyerang terlebih dahulu. Ayahnya terbunuh oleh pasukan pengawal Turki, dan Al-Muntasir dilantik sebagai khalifah ke-11.

Setelah setengah tahun menjabat sebagai khalifah, Al-Muntasir diracun dan meninggal. Para pemimpin militer Turki kemudian mendirikan dewan perwakilan untuk memilih khalifah ke-12, yakni Al Musta`in. Tapi persekongkolan dan pengkhianatan selalu saja terjadi. Beberapa tahun kemudian Al Musta`in melepaskan tahtanya ke anak bungsunya Al-Mu`tazz yang masih berusia 19 tahun. Kekuasaannya bertahan hingga tiga tahun sampai ketika ia dikhianati, dipukul dan ditinggalkan di bawah keadaan panas membakar tanpa makanan dan minuman. Ia meninggal tiga hari kemudian. Dalam sejarah era ini dikenal sebagai Anarki di Samara (فوضى سامراء/fawdhâ sâmarâ’). Ini adalah periode ketidakstabilan internal yang ekstrem dari 861 hingga 870 dalam sejarah kekhalifahan Abbasiyah. Ia ditandai oleh suksesi penuh kekerasan empat khalifah yang menjadi boneka di tangan kelompok-kelompok militer Turki yang kuat. Kelompok militer Turki secara efektif merebut kekuasaan dan memperkecil otoritas khalifah dalam lingkaran seremonial semata—(Bersambung)

Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Ikhtiar Awal Menuju Keluarga Sakinah (13)  Oleh: Mohammad Fakhrudin dan Iyus Herdiana Saputra ....

Suara Muhammadiyah

30 November 2023

Wawasan

Jihad Ekonomi Muhamadiyah Kalbar Oleh: Amalia Irfani Selalu banyak kebaikan yang akan di dapat saa....

Suara Muhammadiyah

1 October 2023

Wawasan

Kurikulum Holistik: Pendidikan Masa Depan Berkelanjutan Rizal Arizaldy Ramly, Mahasiswa Univer....

Suara Muhammadiyah

13 December 2023

Wawasan

IMM Bersatu Menuju Indonesia Berdaulat Oleh: Asman Budiman, Kabid Riset dan Pengembangan Keilmuan, ....

Suara Muhammadiyah

26 February 2024

Wawasan

Banten, Muhammadiyah, dan Rakyat Miskin Oleh: Saidun Derani Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun....

Suara Muhammadiyah

17 November 2023

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah