Organisasi Masyarakat Islam dalam Pusaran Pilpres 2024

Publish

1 October 2023

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
829
Foto Istimewa

Foto Istimewa

Organisasi Masyarakat Islam dalam Pusaran Pilpres 2024

Oleh: Tri Laksono

Setiap kali menjelang pemilu dan pilpres maka setiap partai politik atau calon presiden akan berbondong-bondong mencari simpati dengan mendekatkan diri pada kelompok masyarakat, terkhusus jika di Indonesia maka erat kaitannya dengan warga muslim dalam hal ini yang juga terasosiasi dengan organisasi masyarakat Islam. Sulit membayangkannya untuk memisahkan antara partai politik atau pasangan calon presiden dengan ormas Islam dengan basis masa yang dimiliknya.

Sebagaimana laporan The Royal Islamic  Strategic Studies Centre (RISSC) bertajuk The Muslim 500 edisi 2023 menggambarkan populasi muslim di Indonesia mencapai 237,55 juta jiwa. Populasi Muslim terbanyak secara global ataupun di kawasan Negara-negara Assosiciation of Southeast Asian Nations (ASEAN). Populasi muslim di Indonesia mencapai 86,7 persen dari total populasi masyarakat di Indonesia.

Hal ini tentu tidak mengherankan jika partai-partai politik melihat ormas islam menjadi magnet tersendiri, mulai dari Jamiatul Khair yang berdiri 1905, Muhammadiyah 1912, Al-Irsyad 1914, Mathlaul Anwar 1916, Persis 1923, dan NU yang berdiri 1926. Tentu ormas-ormas islam memiliki basis suara atau sebaran di berbagai kelompok masyarakat atau kalangan, mulai dari ormas yang berbasis secara kultural maupun modern.

Dalam perhelatan politik yang semakin memanas menjelang Pemilihan Presiden 2024, peran organisasi masyarakat Islam menjadi sorotan yang tak terhindarkan. Bagi banyak pihak, organisasi-organisasi ini diharapkan dapat menjadi penentu suara yang signifikan, mengingat peran penting Islam dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Namun, kita perlu mengkritisi peran dan motivasi sebenarnya di balik keterlibatan organisasi-organisasi Islam dalam politik.

Politik identitas seringkali lebih kuat daripada politik berdasarkan ideologi atau visi. Dalam konteks Pilpres 2024, organisasi masyarakat Islam dapat menjadi agen politik identitas yang kuat. Mereka mungkin memanfaatkan sentimen agama untuk mendapatkan dukungan politik. Namun, hal ini juga bisa mengakibatkan pemisahan masyarakat berdasarkan agama, yang bertentangan dengan semangat keberagaman dan pluralisme Indonesia.

Jika kita cermati kemudian metode setiap parpol atau calon presiden dalam menarik simpati masyarakat di kalangan pemilih islam beragam, mulai dari mendatangi pondok pesantren atau kiyai, mendatangi pimpinan ormas islam atau juga masuk ke dalam kampus-kampus yang yang juga di miliki oleh ormas islam tertentu. Hal ini dianggap sebagai salah satu cara yang dimungkinkan dalam upaya mendekatkan diri, tentu sebagai upaya membangun persepsi dan opini di masing-masing basis ormas islam yang juga merupakan pemilih dalam pemilu.

Penting untuk diingat bahwa organisasi masyarakat Islam memiliki tanggung jawab sosial yang besar terhadap masyarakat. Dalam upaya politik mereka, perlu diingatkan bahwa mereka juga harus tetap fokus pada pembangunan sosial dan kesejahteraan masyarakat, bukan hanya pada kepentingan politik sempit. Dalam menyikapi peran organisasi masyarakat Islam dalam Pilpres 2024, kita harus selalu menilai apakah tindakan mereka sesuai dengan nilai-nilai demokrasi, pluralisme, dan keadilan sosial yang menjadi dasar negara Indonesia. Ini adalah ujian sejati untuk organisasi-organisasi ini, dan kita sebagai masyarakat juga memiliki peran penting dalam memantau dan mengkritisi tindakan mereka demi kebaikan bersama

Komitmen Muhammadiyah pada gelaran Pemilu 2024

Dalam sejarah yang sangat lampau, Muhammadiyah selalu menegaskan komitmen terhadap pendidikan, kesejahteraan sosial, dan pemberdayaan masyarakat. Namun, ketika kita berbicara tentang peran Muhammadiyah dalam politik, perlu diingatkan bahwa keterlibatan dalam politik harus selalu diarahkan pada kepentingan rakyat dan masyarakat luas, bukan kepentingan kelompok tertentu. Dalam hal ini Haedar Nashir menegaskan beberapa role play, yaitu:

Pertama, Haedar Nashir menegaskan bahwa Muhammadiyah memiliki komitmen dalam menyukseskan gelaran Pemilu 2024, bahwa Muhammadiyah harus ikut berpartisipasi mensukseskan pemilu 14 Februari 2024 agar berjalan luber, jurdil, berkeadaban, bermartabat, serta demokratis.

Kedua, Haedar menekankan agar warga Muhammadiyah mengingat Khittah Muhammadiyah dengan tidak menyeret Muhammadiyah kedalam pusaran soal dukung-mendukung, lebih jauh ditekankan agar warga Muhammadiyah atau kader lebih kreatif dengan tidak membawa simbol-simbol organisasi.

Ketiga, Menurut Haedar Warga Muhammadiyah memiliki tanggung jawab kebangsaan sebagaimana dalam kepribadian Muhammadiyah dan misi Negara pancasila, darul ahdi wa syahada. Sehingga bagi setiap pimpinan Muhammadiyah wajib menjaga marwah Muhammadiyah dalam gelaran Pemilu 2024.

Keempat, Abdul Mu’ti menyampaikan Muhammadiyah secara formal kelembagaan tidak memiliki hubungan dengan partai politik, tetapi Muhammadiyah selama ini sebagai gerakan dan kelompok masyarakat madani senantiasa berusaha membangun komunikasi politik dengan semua kekuatan partai politik yang ada di DPR, dengan eksekutif dan juga para menteri di kabinet.

Kita dapat mengambil pesan bahwa Muhammadiyah memiliki kewajiban dan tanggung jawab moril terhadap gelaran pemilu atau pemilihan pasangan calon presiden, dengan catatan tidak menyeret-nyeret Muhammadiyah secara organisasi kedalamnya. Lebih jauh dapat disimpulkan bahwa Muhammadiyah bukanlah organisasi yang antipasti terhadap politik atau partai politik, hanya saja Muhammadiyah bukanlah organisasi yang dapat digunakan dalam upaya kepentingan memenangkan partai politik tertentu ataupun pasangan calon presiden tertentu, meski juga tidak dipungkiri adanya kader atau warga Muhammadiyah di berbagai partai politik maupun yang akan mengikuti kontestasi pemilu diberbagai level tingkatan, baik nasional maupun sampai tingkat kabupaten kota madya.

Muhammadiyah harus menjaga keseimbangan antara berpihak pada prinsip-prinsip keagamaan dan keadilan sosial, serta menjaga kedaulatan rakyat sebagai dasar demokrasi kita. Kita perlu terus mengingatkan, "Partisipasi politik haruslah beriringan dengan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, integritas, dan transparansi." Dalam menghadapi Pemilu 2024, Muhammadiyah memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan bahwa keterlibatan politik kami adalah untuk kebaikan bersama, berlandaskan pada prinsip-prinsip Islam yang rahmatan lil alamin, serta demi kemajuan dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.Bagian Atas Formulir

Elektabilitas Partai Politik

Menarik jika kita melihat elektabilitas partai politik di kalangan warga Nahdliyyin, mulai dari elektabilitas PDIP mencapai 21,9 persen, Gerindra 13,6 persen, PKB 11,6 persen, Golkar 11,2 persen. Menurut pandangan Denny JA, Elektabilitas PKB yang meski dilahirkan oleh NU dipengaruhi oleh faktor sejarah Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar yang bersitegang dengan Pendiri PKB Abdurrahman Wahid atau yang lebih dikenal Gus Dur. Terlebih sampai hari ini isu mengenai Muhaimin Iskandar menyingkirkan Gus Dur terus diembuskan oleh Yenny Wahid yang merupakan keluarga inti Gus Dur, sehingga sebagian pemilih NU masih memendam kekecewaan terhadap Cak Imin.

Gus Yahya menegaskan PBNU tidak memiliki kaitannya dengan salah satu pasangan capres-cawapres, ia mengatakan bahwa prefensi pilihan politik tidak berada dalam ranah urusan organisasi yang dipimpinnya. Ia menyerahkan pilihan politik secara bebas kepada masing-masing warga.

Apa yang kemudian menjadi sikap politik NU yang di sampaikan oleh Gus Yahya selaku Ketua Umum PBNU tentu senada dengan apa yang di katakan oleh Haedar Nashir selaku Ketua Umum PP Muhammadiyah, bahwa menyerahkan pilihan politik pada setiap warganya dengan menggunakan rasionalitas dan menekankan agar tidak menyeret atau membawa embel-embel organisasi dalam pemilu maupun pilpres 2024.

Jika kita melihat apa yang menjadi sikap kedua pimpinan ormas Islam terbesar di Indonesia ini maka kita dapat menarik benang merahnya, bahwa setiap partai politik ataupun pasangan calon presiden harus mampu merasionalisasi apa yang kemudian menjadi visi, gagasan untuk Indonesia, bukan hanya membangun kedekatan sentiment.

Tentu kualitas demokrasi kita dapat kita ukur dari apa yang kemudian menjadi visi dan gagasan, dengan begitu juga ormas islam dalam hal ini warga muslim ataupun masyarakat tidak hanya dijadikan objek politik tahunan yang hanya dibutuhkan suaranya saat pemilu, melainkan menjadi basis masa atau pemilih suaranya juga di dengar, di jawab sebagai bentuk tanggung jawab kepemimpinan. Hal ini juga merupakan bagian dari pendidikan politik, agar masyarakat tidak cuek, bersikap bodo amat terhadap pemilu atau pesta demokrasi.

Pemilu atau pemilihan pasangan calon presiden tentu harus menghadirkan kegembiraan dimasyarakat, narasi yang dibangun tidak boleh membenturkan satu kelompok masyarakat tertentu dengan kelompok lainnya sehingga meninggalkan kenagan pahit. Visi dan gagasan yang disampaikan wajib menjawab permasalahan-permasalahan, sehingga pesta demokrasi 2024 menghadirkan sejarah baru, pesta demokrasi yang menyenangkan, pesta demokrasi yang menghadirkan masa depan Indonesia lebih maju. 

Tri Laksono, Ketua Bidang Hukum dan HAM DPP IMM


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Memaknai Sumpah Pemuda dan Refleksi Milad 58 Kokam Oleh: Badru Rohman Pemuda dalam lintas sejarah ....

Suara Muhammadiyah

4 October 2023

Wawasan

  Oleh: M. Husnaini (Dosen Fakultas Ilmu Agama Islam Universitas Islam Indonesia, Anggota Maj....

Suara Muhammadiyah

14 September 2023

Wawasan

Pendidikan dan "Gelombang Olok-Olok" di Media Sosial Oleh: Prof. Dr. Abdul Rahman A.Ghani  Ba....

Suara Muhammadiyah

11 October 2023

Wawasan

Relevansi Gerakan IMM pada Era Digital Oleh: Khoirul Iksan, Kader IMM Klaten Dalam kurun waktu 60 ....

Suara Muhammadiyah

29 March 2024

Wawasan

Oleh: Hj. Deny Ana I'tikafia, SP. MM Wakil ketua PDA Jepara Ramadhan 1445 H telah meninggalkan kit....

Suara Muhammadiyah

13 April 2024

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah