Ulama Dunia dan Ulama Akhirat

Publish

18 January 2024

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
321
Foto istimewa

Foto istimewa

Oleh: Saidun Derani, Dosen Pascasarjana UM-Surby dan UIN Syahid Jakarta, aktivis PWM Banten

Kata ulama diambil dari kitab suci umat Islam Alqur’an al-Karim pada dua tempat. Pertama dalam surat Fathir (35), ayat 28;

وَمِنَ ٱلنَّاسِ وَٱلدَّوَآبِّ وَٱلْأَنْعَٰمِ مُخْتَلِفٌ أَلْوَٰنُهُۥ كَذَٰلِكَ ۗ إِنَّمَا يَخْشَى ٱللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ ٱلْعُلَمَٰٓؤُا۟ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ

Artinya:”Di antara hamba-hamba Allah yanag takut kepada-Nya hanyalah para ulama. Sungguh Allah Maha Perkasa, Maha Pengampun”.

Lalu dalam Surat asy-Syu’ara, ayat 197, Allah berfirman;

اَوَلَمْ يَكُنْ لَّهُمْ اٰيَةً اَنْ يَّعْلَمَهٗ عُلَمٰۤؤُا بَنِيْٓ اِسْرَاۤءِيْلَ

Artinya: “Apakah tidak (cukup) menjadi bukti bagi mereka, bahwa para ulama Bani Israil mengetahuinya?”

Makna ulama bentuk jamak dari kata ‘alim ( عَلِيْم ). Akar kata ‘alim berasal dari kata‘alima-ya’lamu-‘ilman (عَلِمَ – يَعْلَمُ - عِلْمًا). Dalam Ensiklpedia Alqur’an ‘Alim diartikan dengan orang yang memiliki pengetahuan tentang zat (hakikat) sesuatu, baik yang bersifat teoritis ataupun yang bersifat peraktis, atau orang yang memiliki kemampuan untuk memberikan penilaian terhadap berbagai masalah dengan sebaik-baiknya.

 Di masyarakat Indonesia kata ulama beragam panggilannya. Misalnya di Betawi dipanggil Guru dan Mu’allim, di Bangka Belitung umumnya dipanggil Syaikh dan Tuan Guru, di Jawa biasanya disapa dengan sebutan Kyai, di Sumatera ada yang dipanggil Syaikh, Buya, Teungku, di NTB dipanggil Tuan Guru, dan di Sulawesi Anreguru dan Gurutta

Studi Dr. Ibnu Qoyim Ismail, MS, masih turunan Tumenggung dari Kota Empek-Empek Palembang menyebutkan bahwa pra-kemerdekan di Indonesia ulama dibagi dua katagori yaitu ada Ulama Birokrat dan Ulama Independent atau ulama bebas ( Qoyim, 1997).

Yang dimaksud dengan Ulama Birokrat adalah ulama yang diangkat dan digaji pemerintah kolonial Hindia Belanda yang mengurus urusan-urusan yang terkait dengan kepentingan Ketimuran dan umat Islam Hindia Belanda. Sedangkan Ulama Bebas adalah ulama yang secara mandiri mendirikan lembaga-lembaga Pendidikan Islam untuk memajukan anak pribumi muslim yang mendapat diskriminasi sosial budaya dalam konteks politik kolonial Hindia Belanda.

Labih lanjut Qoyim menerangkan bahwa ulama bebas ini yang sering menimbulkan masalah terhadap Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Mengapa demikian karena memang topuksi ulama yang diperintah Allah Swt adalah membaca dan menyampaikan, menjelaskan dan mengajarkan serta memutuskan masalah-masalah yang dihadapi umat Islam, menjaga umatnya, dan terakhir tupoksi ulama adalah memberi teladan dalam mengamalkan ajaran Islam.

Pastilah penjajah Pemerintah Kolonial Hindia Belanda tidak “bersahabat” dengan ulama bebas karena tidak bisa dikendalikan dan diatur sesuai dengan keinginnan dan tujuan penjajahan. Dalam konteks sejarah bangsa Indonesia kasus-kasus pengasingan Ulama Bebas tercatat dalam tinta sejarah bangsa.

Sebutkan saja misalnya Raden Mas Ontowiryo dikenal dengan panggilan Pangeran Diponegoro meninggal dipengasingan 8 Januari 1885 di Makassar Sulawesi Selatan, karena melakukan perlawanan terhadap penjajah yang sudah “kebangetan” dan keterlaluan menyiksa rakyat Jawa. Beliau inilah memimpin Perang Jawa 1825-1830 yang menyebabkan APBN (Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara) Kerajaan Protestan Belanda terkuras. Sayang karena tipu daya dan kelicikan pihak Pemeriantah Kolonial Hindia Belanda pada akhirnya beliau ditangkap.

Contoh lain adalah Depati Amir Pahlawan dari Babel diasingkan Belanda ke Nusa Tenggara Timur (NTT) dan meninggal di Kupang tahun 1885. KH. Wasid dkk. diasingkan ke Maluku pasca perlawanan Banten tahun 1888. Tentu masih banyak lagi cara-cara pengasingan yang dilakukan kaum penjajah meredam perlawanan ulama karena membela kebenaran dan anti kazaliman untuk penjaga umatnya.

Perubahan sosial (social change) dan perkembangan masyarakat sekarang ini ikut juga memberi pengaruh terhadap kedudukan ulama di masyarakat. Beragam istilah dikaitkan dengan kata ulama. Misalnya adalah ulama orsospol (ulama organisasi sosial politik), misalnya ulama orsospol PDIP, Ulama Golkar, Ulama PKB, ada ulama ormas (ulama organisasi sosial keagamaan) misal Ulama NU, Ulama Persis, Ulama Muhammadiyah, dan seterusnya. Para wartawan pun tak kurang-kurang menambah dengan istilah Ulama Langit, Ulama Khas dan diplesetkan sekarang dengan istilah “Ulama Cash”.

       Secara bercanda teman saya melihat dari aspek sosiologis, Dr. M. Yakub Amin, MA, Dosen UIN Syahid Jakarta dan ulama “mimbar” kelahiran Medan ini menyebutkan bahwa ada 4 katagori ulama di tengah-tengah kehidupan masyarakat Indonesia sekarang ini. Dikatakan ada ulama yang meninggal, ulama yang meninggalkan, ulama yang ketinggalan, dan terakhir ada ulama yang ditinggalkan.

Ulama yang meninggal menurut beliau adalah ulama yang istiqamah dengan profesinya sebagai pendidik dan penjaga umat; amal kebajikan, karya tulis, meninggalkan anak didiknya. Hidupnya benar-benar diabdikan untuk menjaga “ajaran Tuhan” yang disebut dengan ulama Pewaris Ambiya.

Kedua adalah ulama yang meninggalkan profesinya dan beralih ke bidang lain, misalnya loncat ke bidang politik sehingga umat terabaikan. Fenomena yang berkembang kembali ke khittah merupakan contoh nyata dalam masalah ini. Di sini penulis tak menyebutkan nama ulamanya untuk menjaga nama baik dan marwah para murid-muridnya.

Katagori ketiga adalah ulama yang tidak mampu menangkap “jiwa zaman”. Ini artinya ada indikasi ulama yang ketinggalam zaman. Jadi hanya bisa membaca teks, tetapi jauh dari realitas kehidupan nyata dan tak mampu membaca konteks zaman dan masyarakat. Misalnya sebagai salah contoh-tentu banyak contoh lain- khotbah Jumat memakai Bahasa Arab sedangkan mayoritas jamaah tidak memahami Bahasa Arab. Bukankah khutbah itu supaya pesannya dimengerti jamaah supaya menjadi amalan umat Islam.

Dan yang terakhir adalah ulama yang ditinggalkan jamaahnya karena berbagai kasus yang terjadi dan umumnya persoalan politik dan dunia. Salah satu contoh (tentu banyak contoh lain) adalah KH.Zainuddin MZ Dai Sejuta Ummat ini pernah terjun ke dunia politik. Lalu bertobat dan kembali ke Khittah aslinya sebagai ulama yang sangat disegani dan dihormati masyarakat Indonesia sampai beliau dipanggil pulang Allah Swt tahun 2011.

Dari berbagai katagori ulama di atas mengerucut kepada istilah yang sudah dikenal luas di dunia Islam sebagaimna yang dikutip dari Hujjatul Islam Imam al-Ghazali (w. 1111 M). Ada Ulama Akhirat dan ada Ulama Dunia.

Yang celaka sekali kata Abu Hamid (nama asli Imam Al-Ghazali) adalah kalau Ulama Dunia memberi fatwa kepada masyarakat karena untuk kepentingan sesaat (dunia) maka masyarakat akan menjadi rusak. Dan ulama model ini senang sekali dekat-dekat dengan penguasa yang sedang naik panggung berkuasa.

Dalam konteks inilah sebenarnya kata-kata Imam Ghazali yang menyebutkan bahwa Rusak Umara (Penguasa Politik dan Birokrat) karena rusak Akhlak Ulama, dan rusak Akhlak Rakyat karena rusak Akhlak Umara. Dalam konteks inilah memahami mengapa Imam Muhammad Idris as-Syafi’i (w. 820 M) di Mesir dikenal dengan pendiri Mazhab Fiqh Syafi’i berpesan kepada ummat Islam bahwa supaya jangan sekali-kali berteman dengan Ulama Dunia dan apalagi menimba ilmu kepadanya. Allah “alam bi shawab

 

 

 


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Memaknai Sumpah Pemuda dan Refleksi Milad 58 Kokam Oleh: Badru Rohman Pemuda dalam lintas sejarah ....

Suara Muhammadiyah

4 October 2023

Wawasan

Muhammadiyah Sebagai Jalan Tengah Yang Rahmatan Lil ‘Alamin Oleh: Khulanah, Thalibat Pendidik....

Suara Muhammadiyah

8 January 2024

Wawasan

Oleh: Donny Syofyan Selama ratusan tahun umat Islam berada di garda terdepan pencapaian sains. Pada....

Suara Muhammadiyah

23 October 2023

Wawasan

Oleh: Nur Ngazizah, S.Si. M.Pd يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱ....

Suara Muhammadiyah

29 November 2023

Wawasan

Pay Later Syariah Oleh: Joko Intarto Namanya ‘’BankZiska’’ Tapi BankZiska ....

Suara Muhammadiyah

30 October 2023

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah