Akhlak Bermusyawarah di Muhammadiyah

Publish

9 November 2023

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
1137
Foto Istimewa

Foto Istimewa

Akhlak Bermusyawarah di Muhammadiyah

Oleh Prof Dr H Haedar Nashir, M.Si.

Muhammadiyah itu kuat karena bersandar dan dibangun oleh sistem organisasi yang bernama Persyarikatan dengan topangan kuat musyawarah.  Muhammadiyah memang berbentuk Persyarikatan. Dalam Berita Tahunan tahun 1927 disebutkan,  “Kalimat Syarikat itu berarti kumpulannya beberapa orang untuk melakukan sesuatu dengan semufakat mungkin dan bersama-sama”. 

Di antara unsur penting berorganisasi dalam sistem persyarikatan tersebut ialah musyawarah, yakni berunding untuk mencari kesepakatan bersama demi kepentingan persyarikatan atau organisasi, bukan demi orang atau kepentingan orang per-orang. Jadi  bermusyawarah itu untuk mencari mufakat, bukan untuk menang-menangan atau menang-kalah, sehingga dapat diambil keputusan bersama.

Karenanya penting semua anggota lebih-lebih pimpinan menghayati hakikat musyawarah untuk mufakat yang menjadi bagian dari jatidiri Persyarikatan Muhammadiyah. Dari musyawarah tingkat Muktamar dan Tanwir hingga rapat-rapat organisasi hendaknya jiwa bermusyawarah-mufakat itu menjadi spirit, alam pikiran, dan orientasi tindakan para anggota dan pimpinan sehingga Muhammadiyah tetap kokoh sebagai organisasi.

Bermusyawarah

Musyawarah itu bukan hal yang mudah karena setiap orang dalam melakukannya niscaya ikhlas bermufakat, yang berarti harus menghilangkan ego dan hasrat sendiri-sendiri. Jika mengutamakan subjektivitas diri maka sulit jalan bermusyawarah untuk bermufakat. Di situlah pentingnya akhlak sebagai koridor ruhani dan perilaku dalam bermusyawarah agar setiap orang memiliki dasar nilai berpikir dan bertindak ketika melaksanakan musyawarah.

Kata musyawarah dalam bahasa Arab “syura” (sya-wa-ra) yang artinya “mengambil madu dari sarang lebah”. Makna yang sama (Mu’jam Maqayis al-Lughah)  ialah menampakkan dan memaparkan sesuatu atau mengambil sesuatu. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata musyawarah artinya “pembahasan bersama dengan maksud mencapai keputusan atas penyelesaian masalah; perundingan;”. 

Musyawarah merupakan bagian dari ajaran Islam. Allah SWT  berfirman, yang artinya “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu, Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya” (Ali ‘Imran : 159).  Di dalam ayat yang lain, Allah  berfirman, yang artinya  “Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Rabb-nya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka” (QS Asy-Syura: 36-39).

Nabi Muhammad dalam sejumlah urusan banyak mempraktikkan musyawarah. Nabi  bersabda yang artinya, “Jika pemimpin-pemimpin kalian adalah orang yang terbaik diantara kalian, dan orang-orang kaya kalian adalah orang yang berlapang dada dari kalian, dan perkara kalian adalah diselesaikan dengan musyawarah diantara kalian, maka punggung bumi akan lebih baik bagi kalian dari perutnya, dan jika pemimpin-pemimpin kalian adalah orang-orang yang jahat diantara kalian, dan orang-orang kayanya adalah orang-orang yang bakhil dari kalian, dan perkara kalian kembali kepada perempuan-perempuan kalian maka perut bumi lebih baik dari permukaannya” ( HR Tirmidzi).

Ibnu Taimiyah dalam  “As-Siyasah Asy-Syar’iyah” menyampaikan pandangan yang luas tentang musyawarah, “Sesungguhnya Allah Ta’ala memerintahkan nabi-Nya bermusyawarah untuk mempersatukan hati para sahabatnya, dan dapat dicontoh oleh orang-orang setelah beliau, serta agar beliau mampu menggali ide mereka dalam permasalahan yang di dalamnya tidak diturunkan wahyu, baik permasalahan yang terkait dengan peperangan, permasalahan parsial, dan selainnya. Dengan demikian, selain beliau shallallahu’alaihi wa sallam tentu lebih patut untuk bermusyawarah”.

Karena itu dalam bermusyawarah harus ikhlas menyatukan hati, pikiran, dan tindakan dalam jiwa persaudaraan untuk berada dalam satu barisan yang kokoh. Jangan sebaliknya bertindak sendiri-sendiri, berdasarkan pikiran sendiri, memaksakan kehendak sendiri, dan mengambli jalan sendiri-sendiri. Jika hal itu terjadi bukan berorganisasi namanya, bahkan dapat menyerupai seperti  perangai ahlul kitab yang dilukiskan Allah dalam Al-Quran “tahsabuhum jami’an wa qulubuhum syatta” artinya “Kamu kira mereka itu bersatu, sedang hati mereka berpecah belah” (QS Al-Hsyr: 14). 

Akhlak Bermusyawarah

Bermusyawarah itu saling mengeluarkan pendapat dengan dalil dan argumentasi yang kuat. Namun  karena harus mencari mufakat maka pertama pendapat atau saling menguatkan yang paling kuat yang dapat menjadi rujukan, kedua satu sama lain harus saling memberi dan tidak saling mau menang sendiri. Artinya diperlukan jiwa ulil-albab, yang salah satu cirinya disebutkan dalam Al-Quran: “(yaitu) mereka yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal sehat.” (QS Az-Zumar: 18).

Akhlak ulil-albab atau ulul-albab penting dikedepankan dalam bermusyawarah. Bila ada satu pandangan masuk maka dengarkan pandangan lain, semakin banyak informasi atau pandangan yang mengemuka maka semakin baik untuk diolah dan dipilih mana yang lebih baik. Jangan membiasakan diri subjektif, bila mendengar informasi atau pendapat dari satu pihak kemudian menutup pendapat lainnya, apalagi dengan sikap apologi bahwa informasi dan pendapat yang pertama yang diterima itulah yang hanya dijadikan patokan untuk bermusyawarah dan mengambil keputusan. Kalau ada orang datang membawa informasi dan pendapat, biasakan tabayyun  yaitu mengkonfirmasikan  seraya mencari pendapat lain untuk mengetahui kebenarannya sebagai wujud keseksamaan.

Bermusyawarah  itu penting dilandasi akhlak Islami yang luhur dalam kualitas ihsan. Hindari sikap berat sebelah dan mau menang sendiri. Lebih-lebih bila bermusyawarah dengan sikap keras kepala dengan hanya mengutamakan pendapat sendiri yang harus didengar dan dijadikan keputusan yang menggambarkan sikap sombong. Jangan ada benih congkak dalam hidup seorang muslim, termasuk ketika bermusyawarah dengan berucap dan bersikap sekehendaknya. Sebaliknya jadilah orang-orang yang berserah diri dengan jiwa yang tulus, serta tidak dengan sikap membatu. Allah memberikan peringatan kepada orang Islam, yang  artinya: "Dan janganlah kamu sekalian berlaku sombong terhadapku dan datanglah kepadaku sebagai orang-orang yang berserah diri," (QS. An-Naml: 31). 

Bilamana harus berdebat atau bermujadalah, maka berdebatlah dengan cara yang terbaik (wajadilhum billaty hiya ahsan) selain dengan hikmah dan edukasi yang baik sebagaimana keniscayaan menyeru kepada jalan Allah  (QS Al-Nahl: 125). Kedepankan perkataan yang baik atau qaulan ma’rufa (QS An-Nissa: 5; 8),  qaulan layyina atau perkataan yang lembut sebagaimana Allah memerintahkan kepada  Nabi Musa dan Harun bicara yang lembut terhadap Fir’aun (QS Thaha: 44), serta qaulan karima atau ucapan yang mulia (QS Al-Isra: 23). Ketiga jenis perkataan tersebut merupakan ciri akhlak muslim yang utama.

Rasulullah adalah contoh utama dalam berakhlak mulia. Nabi ketika bermusyawarah pun mau mendengar dengan baik, bahkan dalam hadis dikatakan tidak ada Nabi yang paling banyak bermusyawarah kecuali Muhammad s.a.w.. Nabi memang berakhlak agung (QS A-Qalam: 4)  yang diutus oleh Allah untuk menjadi suri teladan bagi umat manusia, sebagaimana firman-Nya yang artinya “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah”. (QS Al-Ahzab: 21).

Karenanya, setiap muslim apalagi para pimpinan hendaknya meneladani akhlak Nabi dalam kehidupan, termasuk dalam bermusyawarah. Jika Nabi yang agung suka bermusyawarah serta akhlaknya mulia dan bertutur kata yang baik, maka para pengikutnya tentu harus meniru dan meneladaninya. Termasuk dalam bermusyawarah sebagai salah satu cermin akhlak Islami. Jauhi sikap angkuh, keras hati, kasar, dan kebiasaan memaksakan kehendak yang akan menjadi virus yang merusak hakikat musyawarah dan ukhuwah.

Musyawarah itu untuk menyatukan hati para pelakunya, bukan sebaliknya untuk meretakkan dan merenggangkan. Bila makna awal musyawarah diartikan “mengambil madu dari sarang Lebah”, maka dalam bermusyawarah semuanya harus seksama dan bijaksana, bagaimana agar memperoleh madunya tanpa sengatan Lebah. Di situlah semua pihak harus arif dan tidak gegabah, sembarangan, apalagi mau menang dan memaksakan kehendak sendiri. Bila ingin menang-menangan bukan musyawarah namanya, tetapi anarki yang tentu berlawanan dengan jiwa musyawarah. Jika suka memaksakan kehendak, Allah akan mencabut berkah-Nya, bahkan keputusan yang dihasilkannya meskipun dapat diraih karena prinsip “siapa kuat siapa menang” maka biasanya kehilangan berkah!

Sumber: Majalah SM Edisi 20 Tahun 2022


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Editorial

PALESTINA DAN UJIAN KEMANUSIAAN Palestina dapat dikatakan sebagai wilayah yang mempunyai sejarah te....

Suara Muhammadiyah

5 December 2023

Editorial

Agenda Strategis Muhammadiyah Oleh Prof Dr H Haedar Nashir, M.Si. Era digital dan media sosial saa....

Suara Muhammadiyah

27 February 2024

Editorial

Buya Hamka: Nasionalisme dan Sedikit Cerita, Wawancara Abdul Hadi Hamka (Cucu Buya Hamka, Penul....

Suara Muhammadiyah

16 April 2024

Editorial

MUBALIGH, PEMILU, DAN LATO-LATO Pilpres, Pemilu legislatif, maupun Pilkada, Pilihan kepala desa, ju....

Suara Muhammadiyah

27 October 2023

Editorial

Akhlak Bermusyawarah di Muhammadiyah Oleh Prof Dr H Haedar Nashir, M.Si. Muhammadiyah itu kuat kar....

Suara Muhammadiyah

9 November 2023

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah