Ancaman Terhadap Sumberdaya Pulau
Ketika ada berita tentang konflik di Pulau Rempang Batam, kita tersadar bahwa pulau-pulau itu memiliki arti penting baik dari segi ekonomi, politik, pertahanan dan keamanan bahkan social budaya. Rupanya di Pulau Rempang yang dekat dengan Batam dan Singapura itu ada masyarakat kita yang sudah hidup turun temurun sejak berabad-abad yang lalu. Pulau itu resmi akan dijadikan kawasan industri dan perdagangan yang akan dikelola oleh orang asing dan/atau non pribumi dan disinyalir warga pribumi yang sudah lama tinggal disitu akan tergusur ke daerah lain.
Kita menyadari benar bahwa Indonesia adalah negara kepulauan yang terdiri dari 17.001 pulau besar dan kecil (BPS,2022). Bagaimana nasib pulau-pulau yang lain? Kita selalu lambat menyikapi masalah! Kelambatan ini terlihat dari apa yang dialami oleh sumberdaya alam lain yang hampir habis seperti minyak bumi, batubara, hutan, dan lahan perkebunan. Sekarang apakah kita akan mengurus setelah pulau-pulau itu berpindah ke tangan lain.
Pengalaman dari minyak bumi sampai batubara
Tahun 1970an Pemerintah Orde Baru diuntungkan oleh deposit minyak bumi yang masih tersedia banyak dapat dijadikan modal dasar dalam pembangunan ekonomi, khususnya dalam membangun pertanian, industri, perdagangan dan seterusnya. Indonesia dicatat sebagai negara eksportir minyak bumi bahkan Indonesia pernah menjadi sekjen Opec (Organisasi negara-negara pengekspor minyak bumi) waktu itu dijabat oleh Subroto.
Pada waktu itu, kita terlena disebut sebagai negara kaya minyak bumi, pada hal minyak bumi itu merupakan sumberdaya alam yang tidak dapat diperbauharuhi (unrenewable) bahwa setelah minyak itu diambil maka persediaan nya akan habis dari bumi Indonesia. Kita lupa menyimpannya sebagian, untuk suatu waktu bisa kita ambil kembali. Memang akhirnya minyak bumi itu makin habis dan sekarang kita tidak lagi pengekspor melainkan pengimpor dari negara lain.
Setelah minyak bumi, kita masih diuntungkan adanya hutan kayu yang nilai ekonomi nya bisa meneruskan peran minyak bumi waktu itu. Hutan yang bernilai ekonomi tinggi itu kita babat habis-habisan bahkan waktu itu kita jual dalam bentuk kayu log (bulat) ke luar negeri. Kita kurang serius menanam nya kembali sehingga akhirnya kayu-kayu itu hampir habis, kayu waktu itu diganjal oleh isu-isu lingkungan karena dianggap merusak paru-paru dunia. Setelah era kayu hutan habis atau tidak leluasa lagi mengekspornya ke luar negeri baru lah kita ternganga, bahwa kekayaan kayu ini sudah ludes pula.
Setelah kayu, kita diuntungkan masih punya lahan untuk ditanami kelapa sawit. Ekonomi kita pun masih terselamatkan. Semua lahan kita ditanami dengan kelapa sawit bahkan lahan hutan pun ada yang tersulap menjadi kebun kelapa sawit. Setelah lahan pemerintah tidak ada lagi, perusahaan-perusahaan pun berakal membeli lahan petani untuk dijadikan lahan perkebunan kelapa sawit.
Setelah lahan untuk kelapa sawit hampir habis, untung kita masih punya deposit batubara. Perusahaan-perusahaan dengan cepat menggunakan kesempatan ini untuk menggali nya dari dalam Bumi Indonesia. Bukan hanya perusahaan Indonesia bahkan perusahaan asing pun diperbolehkan untuk mengeruknya. Bahkan lahan-lahan di dalam hutan lindung pun diperbolehkan untuk dikeruk. Undang-undang nya pun dibuatkan sehingga tidak terjerat hukum.
Saat ini, batubara memang belum habis tetapi sengketa berkaitan batubara di berbagai tempat begitu banyak. Belum selesai masalah batubara kita disadarkan pula oleh masalah baru yaitu konflik pulau. Sengketa pulau Rempang hanya salah satu saja dari 17.001 pulau yang kita miliki dan rawan sengketa.
Pulau adalah sumberdaya alam yang masih tersisa
Menurut BPS (2022) jumlah pulau di wilayah Indonesia tercatat sebanyak 17.001 pulau besar dan kecil. Namun jumlah pulau di wilayah Indonesia itu bisa jadi sudah berkurang karena adanya pulau yang hilang ditelan ombak atau bisa jadi ada pulau yang hilang karena diklaim oleh pihak lain sebagai pulau miliknya.
Masalah pulau bisa jadi akan lebih rumit dari pada sumberdaya alam yang lainnya. Hal ini dapat dipahami karena pulau-pulau itu ada yang besar dan ada yang kecil, ada pulau yang berada di batas terluar, dan ada pula pulau yang sudah dihuni oleh penduduk dari negara lain. Selanjutnya kemungkinan hilangnya pulau-pulau tersebut akan lebih besar. Sementara pemerintah negara ini masih terus disibukan oleh persoalan-persoalan politik yang tidak ada henti-hentinya.
Pulau Rempang merupakan pulau yang sudah sejak lama dihuni oleh pribumi Indonesia. Disana ditemukan adanya kuburan nenek moyang masyarakat yang sekarang menghuni pulau itu. Maka masyarakat dan kebudayaan yang ada di pulau tersebut menjadi bukti pulau tersebut dalam wilayah Indonesia. Kalau masyarakat yang turun temurun menghuni pulau tersebut dipindahkan dengan alasan di pulau itu akan dibangun kawasan industri yang nota bene nya milik orang-asing asing atau “aseng” maka status pulau tersebut sebagai pulau milik NKRI akan menjadi semakin kabur, lemah, dan lama-lama hilang.
Menurut ilmu lingkungan, penduduk Pulau Rempang yang telah turun temurun menghuni pulau tersebut merupakan bagian dari suatu system ekologi. Secara keseluruhan, peran manusia dalam ekosistem pulau tersebut diharapkan sebagai pengelola bijak yang bertanggungjawab terhadap kelestarian alam, menjaga keanekaragaman hayati, dan memastikan kelangsungan hidup ekosistem yang sehat bagi manusia dan makhluk hidup lainnya.
Selanjutnya Al Quran Surat Al A’raf (7) ayat 56 menyampaikan pula “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik”.
Apa yang saat ini terjadi di Pulau Rempang sebenarnya bukan lah perebutan antara kepentingan alam dengan kepentingan manusia. Namun, penduduk Pulau Rempang itu sendiri termasuk kedalam ekosistem alam. Sedangkan kepentingan lain adalah kepentingan fisik (pembangunan ecocity) yang algojonya manusia. Manusia mengabaikan kepentingan ekologi alam secara umum, termasuk mengabaikan kepentingan manusia itu sendiri di Pulau Rempang.
Berkaitan dengan komitmen bersama terhadap pembangunan di Indonesia, yaitu pembangunan yang berkelanjutan dan pembangunan yang berwawasan lingkungan. Maka system ekologi harus menjadi perhatian utama karena rusaknya ekosistem akan berarti rusaknya lingkungan dan pembangunan di Pulau Rempang itu tidaklah berjangka panjang alias tidak berkelanjutan.
Salah satu usaha yang dapat dilakukan untuk mempertahankan pulau-pulau, terutama pulau-pulau kecil dan pulau terluar wilayah Indonesia adalah dengan mempertahan penduduk yang ada di pulau tersebut untuk tetap tinggal di pulau itu. Mereka adalah penghuni pulau, pelaku sejarah, dan sekaligus penjaga pula. Kalau ada gangguan terhadap pulau dari dunia luar maka penduduk itu lah yang pertama kali kita andalkan untuk mempertahankannya. Demikian pentingnya penghuni pulau-pulau terluar tersebut, pemerintah sebaiknya mendorong warga negara Indonesia untuk mau tinggal di pulau-pulau, termasuk pulau lain yang belum ada penghuninya.
Dr.Ir. Armen Mara, M.Si, Ketua DPP Pertalindo Jambi dan Dosen Faperta Unja