Difabel itu Normal, Catatan Film ”Jendela Seribu Sungai”

Publish

24 July 2023

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
951

Sumber Foto Unsplash

Difabel itu Normal, Catatan Film ”Jendela Seribu Sungai”

Oleh: Ahsan Jamet Hamidi

Minggu lalu, saya menenami istri menghadiri Gala Premier Film “Jendela Seribu Sungai” yang mengangkat budaya dan perjuangan anak-anak asli Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Awalnya, saya menduga bahwa ini adalah film promosi wisata Kota Banjarmasin. Tujuan saya  hanya ingin menemani Istri, yang ingin hadir dalam promosi film yang diproduseri oleh Pak Ibnu Sina, Wali Kota Banjarmasin.

Masuk gedung bioskop, mendapat kursi di deretan nomer dua dari depan. Tidak lama kemudian, master of ceremony memberi pengantar singkat. Dia memperkenalkan satu persatu para kru dan pemain film ini. Mulai dari tiga orang pemain utama, yakni Bunga (Sheryl Drisanna Kuntadi), Kejora (Halisa Naura), dan Arian (Bima Sena). Selain itu ada beberapa pemain lainnya yakni Mathias Muchus (Awat), Ariyo Wahab (Abah Arian), Baim (Damang Isman), Olla Ramlan (Uma Arian), Bopak Castello (Daim), Agla Artalidia (Guru Sheila), dan Ajil Ditto (Arian Dewasa). Film itu disutradari oleh Jay Sukmo yang mendasari ceritanya dari novel dengan judul sama.

Saya mulai penasaran setelah melihat nama-nama artis beken itu tampil di depan layar bioskop. Sambutan singkat yang disampaikan oleh Wali Kota Banjarmasin dan Mathias Muchus, semakin memacu rasa penasaran saya. Keduanya hanya mempersilahkan kita menonton tanpa basa-basi. Apalagi ketika Pak Muhadjir Effendy, sebagai Menko PMK yang hadir urung memberi sambutan. Saya semakin respek dengan keputusannya. Mengingat kita akan menonton pertunjukan film, bukan di ruang seminar. 

Film ini berkisah tentang kehidupan tiga orang anak yang tinggal di tepi aliran Sungai Martapura, Banjarmasin. Mereka menyimpan cita-cita yang tersandera oleh keinginan dan harapan orang tua. Bunga yang berkebutuhan khusus harus mengubur dalam-dalam cita-citanya sebagai penari. Arian ingin meneruskan tradisi seniman kuriding, namun, Abahnya meminta hanya menjadikannya sebagai hobi hingga Kejora yang pandai matematika dipaksa meneruskan tradisi keluarga sebagai balian (dukun).

Tiga Tema Penting

Pertama, adalah tema tentang dunia anak di sekolah. Film ini menampilkan secara apik dunia pendidikan bagi anak-anak yang tinggal di tepian sungai besar yang membelah kota Banjarmasin. Tampilan seorang guru perempuan yang sangat berdedikasi, hingga ikhlas melakukan pekerjaan di luar tugasnya sebagai seorang pengajar.  Perilaku ibu guru itu mecerminkan keikhlasan yang menjadi ruh utama dalam pendidikan. Film ini menyajikan praktik pendidikan dengan contoh yang gamblang. Ia telah mendemonstrasikan dengan apik cara mendidik murid di sekolah. 

Dunia anak-anak memang sarat dengan kegembiraan, permainan, kelucuan yang menggemaskan. Ketertarikan seorang murid sekolah dasar kepada lawan jenis, secara alamiah adalah hal lumrah. Keterpesonaan itu diwujudkan dengan berbagai tingkah konyol, lucu, aneh, tapi penuh permakluman. Anak-anak bertingkah layaknya orang dewasa. Ia seolah mampu memberikan perlindungan dan rasa aman kepada seseorang yang sedang dicuri perhatiannya. Tindakan heroik bisa muncul, meski terkadang membahayakan dirinya. Begitulah dunia anak, Dunia indah itu mampu tergali dari memori penonton. Meski hadir di layar kaca, namun tidak kehilangan watak alamiahnya.

Kedua, adalah tema tentang dunia kesehatan. Memiliki jiwa dan raga yang sehat, adalah dambaan manusia. Ketika seseorang sakit, ada yang memilih pengobatan dengan teknologi kedokteran. Mereka meminum obat buatan manusia modern. Obat itu hasil dari proses penelitian dan ujicoba panjang. Ia bisa diproduksi setelah ditetapkan sebagai hasil temuan ilmiah dalam bidang pengobatan. Prosesnya panjang dan berliku. Obat bisa diproduksi setelah dinyataan aman dikonsumsi. Penggunaan obat-obat modern itu secara periodik terus dievaluasi. Badan Kesehatan Dunia adalah pengampunya.

Pada sisi lain, ada orang yang belum sepenuhnya percaya. Mereka lebih memilih pengobatan dari berbagai macam tumbuhan alam. Mereka yakin bahwa Tuhan, dengan segala kuasaNYA, memilih manusia tertentu, sehingga memiliki keahlian khusus dalam dunia pengobatan.  Perdebatan seperti ini terus ada di tengah kehidupan masyarakat. Film ini mampu memfigurasikan perdebatan itu secara baik di layar kaca. Ia tidak menafikkan salah satu dan mengunggulkan yang lain. Film ini membebaskan penonton untuk memilih.

Ketiga, adalah tentang sikap kita kepada para difabel yang memiliki kebutuhan khusus. Faktanya, ada beragam sikap yang muncul terhadap mereka yang berkebutuhuan khusus. Bisa cemooh, memandang rendah, rasa iba, simpati, berbaik hati, bahkan mendiskriminasi. Sikap terakhir inilah yang harus benar-benar tidak boleh terjadi. Mengingat bahwa semua orang berpotensi menjadi penyandang kebutuhan khusus, dengan segala macam sebab yang melatar belakanginnya.

Film ini mampu meletakkan masalah itu pada alur cerita dengan sudut pandang yang benar. Difabel adalah manusia normal yang memiliki kebutuhan khusus. Negara dan kita, wajib menyediakan semua fasilitas dan akses yang dibutuhkan agar mereka mampu hidup sebagaimana yang lain yang berbeda dengan dirinya. Mengapa? karena hak dan kewajiban mereka sebagai manusia di dunia ini sama.   

Saya sepakat dengan pendapat Mbak Ade Siti Barokah, seorang pegiat program inklusi dari The Asia Foundation. Dia menegaskan bahwa sikap kita sebagai manusia yang tidak sedang menyandang kebutuhan khusus adalah;

Pertama, memandang anak difabel dengan sebutan “tidak normal”, “tidak sempurna”, atau “kurang”, adalah akar masalah dari tumbuhnya sikap diskriminatif dan perlakukan tidak adil kepada mereka. Anak dengan difabel, adalah anak dengan kemampuan berbeda, tetapi bukan berarti tidak mampu apalagi tidak normal.

Kedua, sebagai orang tua, sebagai manusia, kita wajib memenuhi kebutuhan dan akses mereka yang kebetulan berbeda dengan kita. Mengapa? Agar mereka mampu beraktivitas untuk meraih cita-cita hidupnya, sehingga mampu memenuhi tanggung jawab diri mereka sendiri, keluarga dan orang-orang yang dicintai.

Ketiga, Negara dan kita harus mampu membangun lingkungan yang ramah, mampu menghargai dan memenuhi semua kebutuhan difabel yang sedang memiliki kebutuhan khusus. Hal-hal seperti ini, harus bisa dimulai dari lingkungan terkecil kita di dalam keluarga, lingkungan sekitar, sekolah dan seterusnya.

Sebagai penutup, ada kritik terhadap film keren ini. Pertama, adegan Arian menghalau buaya besar hanya dengan tongkat kayu kecil itu agak berlebihan. Buaya jadi-jadian itu mengganggu watak alamiah dari film ini. Kedua, setahu saya, Kota Banjarmasin sangat lekat dengan sajian Ikan Patin dan Itik Panggang yang lezatnya tiada tara di dunia ini. Dua pesona yang hanya ada di Kota Banjarmasin itu kok tidak ditampakkan dalam film ya? Selamat menontoton Film Indonesia yang super keren. 

Ahsan Jamet Hamidi, Ketua Pimpinan Ranting Muhammadiyah Legoso, Ciputat Timur


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Memahami Konteks Sejarah Al-Qur'an Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Anda....

Suara Muhammadiyah

1 April 2024

Wawasan

Oleh: Donny Syofyan Baru-baru ini Menko PMK Muhadjir Effendy mewacanakan larangan haji lebih dari s....

Suara Muhammadiyah

15 September 2023

Wawasan

Solidaritas Untuk Gaza Palestina Oleh: Dr. Muhammad Yusran Hadi, Lc., MA Sejak hari pertama perang....

Suara Muhammadiyah

1 November 2023

Wawasan

Ikhtiar Awal Menuju Keluarga Sakinah (26) Oleh: Mohammad Fakhrudin (warga Muhammadiyah tinggal di M....

Suara Muhammadiyah

29 February 2024

Wawasan

RUMUS BARU PENDIDIKAN: Menyisipkan Keberanian Melawan Narkoba dalam Kurikulum Oleh: Agus Setiawan ....

Suara Muhammadiyah

30 November 2023

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah