Kitab-Kitab Hadits (Bagian ke-1)

Publish

14 December 2023

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
334
pixabay

pixabay

Oleh: Donny Syofyan

Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas

Kita mengenal terdapat enam kumpulan hadits yang terkenal (kutubus sittah). Pertanyannya, kapan kitab-kitab tersebut dikumpulkan, siapa yang mengumpulkannya dan bagaimana umat Islam menilai kumpulan hadits yang berbeda-beda ini? Pembahasan ini menyangkut pendekatan yang seimbang terhadap hadis, yaitu antara penolakan langsung dan penerimaan secara total atau menyeluruh. Kita perlu membentuk sikap penuh keseimbangan di antara keduanya. Artinya kita mengambil yang asli dan mewaspadai yang tidak asli atau palsu. Untuk bisa melakukan hal ini, kita perlu mempunyai gambaran di mana kitab-kitab hadis itu ditulis, oleh siapa, kapan, dan seterusnya. 

Kita melihat pengaruh sejarah yang membentuk koleksi hadits karena aktivitas ini tidak langsung dari Nabi SAW. Ada perjalanan waktu, pergeseran tempat, orang-orang yang terlibat dan sebagainya. Nabi Muhammad SAW wafat pada 632 Masehi, lebih dari 1400 tahun lalu. Kita sudah memasuki tahun baru Islam, 1445 Hijriah. Jadi ini sekitar 1,434 tahun silam (Rasulullah wafat pada tahun 11 Hijriah). Sepeninggal Nabi Muhammad SAW, kitab-kitab hadits yang kemudian dikenal dengan nama Sihah Sitta atau enam kitab shahih ditulis pada abad ketiga Masehi. Jadi lebih dari 200 tahun setelah wafatnya Nabi SAW.

Imam Bukhari adalah tokoh yang paling terkenal di antara enam para pengumpul hadits, dan bahkan paling awal di antara enam. Sebelum Imam al-Bukhari, masyarakat sudah mengamalkan Islam—shalat, puasa, bersedekah, menunaikan haji, dan sebagainya. Umat Islam sudah melakukan hal-hal yang selalu dilakukan kaum Muslimin secara umum. Dalam hal ini, umat Islam secara sadar berusaha mengikuti Nabi Muhammad SAW dalam beramal.

Umat Islam tentu saja memilih Al-Qur’an sebagai dokumen utama. Saat mengajarkannya, Al-Qur’an dibacakan, dihafal, dan diikuti oleh umat Islam. Namun tidak semua rincian termaktub dalam Al-Qur’an. Karenanya, umat Islam mencoba mengingat dengan jelas bagaimana Nabi SAW hidup sesuai perintah Al-Qur’an. Mereka mencoba mengikuti perintah dan ajaran tersebut dalam kehidupan mereka sendiri. Jadi sudah ada tradisi yang hidup di kalangan umat Islam, bahkan sebelum kita berbicara tentang kitab-kitab hadits. Ini layaknya Al-Qur’an yang sudah ada dalam pikiran umat Islam, bahkan sebelum orang-orang memilikinya dalam bentuk cetakan.

Dengan cara yang sama, hadits bisa saja ada yang dihapal orang lewat pikiran sebelum umat Islam memilikinya dalam dokumen cetak. Namun seiring berjalannya waktu, dokumen cetak mulai bermunculan. Ini bagus karena pikiran manusia itu bersifat lentur. Ketika sesuatu ditulis, ia lebih pasti. Seseorang masih bisa melakukan kesalahan, bahkan dalam menyalin dokumen tertulis. Pikiran seseorang bisa berubah setiap hari. Hari ini kita mengetahui satu hal, besok kita melupakannya, atau kita salah mengingatnya. Boleh jadi kita yakin bahwa kita mengingat sesuatu dengan akurat, namun apa yang kita pikir bahwa kita ingat sebenarnya bisa saja salah. 

Pikiran manusia tidak dapat diandalkan seperti catatan tertulis. Lalu kaum Muslimin mencoba untuk menghasilkan catatan tertulis dari waktu ke waktu, seperti yang mereka lakukan dengan Al-Qur’an. Untuk itu, mereka mencoba pendekatan yang sama dengan hadits. Perbedaannya adalah Al-Qur'an telah melakukan hal ini sejak awal.

Balik ke persoalan pengumpulan enam kitab kumpulan hadits, bagaimana kitab-kitab yang enam ini begitu populer? Tentu ini karena berbagai alasan. Namun salah satu alasan yang paling krusial adalah bahwa keenam kitab tersebut muncul pada saat para sarjana Muslim telah mengembangkan apa yang mereka sebut dengan Ilmu Hadis, yang merupakan kumpulan prinsip dan amalan untuk memastikan bahwa jika seseorang mengatakan bahwa Nabi Muhammad SAW mengatakan sesuatu, kita harus memiliki catatan yang bisa dipercaya, bisa diandalkan.

Hal ini harus ditelusuri kembali ke Nabi melalui rantai orang yang meriwayatkan hadits (perawi). Karenanya, walaupun kitab-kitab hadits ini, enam kitab yang kita bicarakan, diterbitkan pada abad ketiga hijriah, setiap hadits yang termaktub di dalamnya niscaya mempunyai rantai orang-orang terpercaya yang menyampaikannya satu sama lain hingga ke Nabi SAW.

Kita bisa bandingkan dalam kasus Injil. Menurut Markus, Injil adalah kumpulan dari 83 episode kecil dalam kehidupan Yesus; sesuatu yang Yesus katakan, beberapa tempat yang dikunjunginya, sesuatu yang sedang terjadi dan seterusnya. Markus telah merangkainya. Jadi ada hubungan yang memberikan semacam konteks dan menyatukan bagian-bagiannya. Lewat hubungan-hubungan tersebut, sebuah istilah yang digunakan Markus secara langsung, kita dapat melihat apa yang digambarkan oleh Injil-Injil lainnya yang terjadi setelah beberapa waktu. Hal ini menciptakan urgensi dan dinamisme dalam Injil menurut Markus. Namun yang menulis atau mengisi Injil tersebut diduga berasal dari Markus sendiri. Jadi, bukankah akan lebih autentik jika kita hanya memiliki kutipan saja?

Hal yang sama juga berlaku dengan hadits, yang berisikan nukilan atau potongan saja. Masing-masing hadits tersebut dirinci oleh para ahli hadits secara seksama dan mereka tidak menggabungkannya dengan hal lain. Para ahli hadits paham bahwa penggabungan tersebut bersifat artifisial dan menggabungkan satu hal dengan hal lain dapat menciptakan konteks baru yang akan menyembunyikan bahkan menghilangkan kekhususan setiap riwayat dengan sendirinya.

Hal ini berdampak baik dan buruk. Di satu sisi, kita menyimpan potongan atau cuplikan riwayat secara akurat, namun di sisi lain kita kehilangan konteks. Konteksnya tidak boleh diciptakan, tapi harus dipertahankan sejak awal. Nyatanya yang terjadi tidak selalu seperti itu. Terkadang hadits itu sendiri memuat konteksnya sendiri. Sebagi misal, ada yang meriwayatkan "Nabi SAW berada di tempat tertentu, waktu tertentu dan mengatakan hal tertentu."

Namun demikian sering kali hadits yang kita baca hanya lewat ucapan atau kata-kata tanpa konteks. Meskipun demikian, mengingat bahwa kitab-kitab tersebut ditulis pada abad ketiga hijriah, maka riwayat tersebut ditulis pada masa ketika para ulama berhati-hati dalam menilai rantai perawi yang panjang hingga ke Nabi Muhammad SAW. Kita harus mengetahui rantai perawi. Kita tidak bisa mengetahui sesuatu yang samar-samar dengan mengandalkan seseorang mengatakan "seseorang memberitahu saya".

Kita harus tahu siapa orangnya dan siapa sebenarnya yang memberitahukannya. Kita harus mengetahui para informan atau orang-orang tersebut atas keakuratan pemberitaannya, yang hanya diperoleh melalui studi statistik. Kita mempelajari banyak riwayat yang diketahui berasal dari mereka. Bandingkan riwayat-riwayat tersebut dengan riwayat-riwayat sezamannya untuk melihat siapa yang melakukan kesalahan dan di bagian mana. Sehingga kita tahu siapa perawi yang akurat, siapa perawi yang kurang akurat, dan siapa yang bahkan pembohong.

Seorang ulama hadits menyusun, Al-Kamal fi Asma' al-Rijal, kumpulan biografi perawi hadits dalam disiplin ilmu Islam tentang evaluasi biografi. Buku ini ditulis oleh sarjana Islam abad ke-12 Abdul Ghani al-Maqdisi. Lewat buku ini, kita bisa memerinci para perawi; di mana dia dilahirkan, siapa guru-gurunya, dan bagaimana penilaian para ulama kepadanya. Dengan pendekatan ini, kita bisa menarik kesimpulan bahwa seseorang itu akurat, pembohong, atau bahkan Dajjal, seseorang sosok yang kita tahu sebagai pendusta paling buruk dan kelas kakap.

Dengan pemikiran dan cara-cara seperti inilah para ulama mulai bekerja. Itulah kenapa pada abad ketiga kita mempunyai ulama-ulama hadits yang sangat berkaliber, seperti Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Nasa'i. Mereka memulai upaya mengumpulkan riwayat-riwayat yang memenuhi kriteria dan memiliki rantai tepercaya yang dapat ditelusuri sampai ke Nabi SAW. *


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Menyuburkan Semangat Berbuat Kebaikan di Bulan Mulia Oleh: Dr Amalia Irfani, LPPA PWA Kalbar  ....

Suara Muhammadiyah

20 March 2024

Wawasan

Oleh: Donny Syofyan Islam menjadikan kesenangan dan kenikmatan sebagai bagian dari agama. Apa artin....

Suara Muhammadiyah

1 November 2023

Wawasan

Oleh Faozan Amar, Dosen FEB UHAMKA dan Direktur Eksekutif Al Wasath Institute Indonesia adalah nega....

Suara Muhammadiyah

29 January 2024

Wawasan

Idul Fitri dan Keadilan Sosial Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas ....

Suara Muhammadiyah

10 April 2024

Wawasan

Ikhtiar Awal Menuju Keluarga Sakinah (12) Oleh: Mohammad Fakhrudin dan Iyus Herdiana Saputra Di da....

Suara Muhammadiyah

23 November 2023

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah