Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
Mari kita bedah Surah Al-An'am ayat 115, sebuah firman Ilahi yang berbunyi, “Firman Tuhanmu telah sempurna dalam kebenaran dan keadilan. Tidak ada yang dapat mengubah firman-Nya. Dan Dia Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” Sekilas, ayat ini menegaskan kesempurnaan dan kekekalan wahyu Tuhan. Namun, di sinilah letak potensi kesalahpahaman. Tak jarang, "firman Tuhan" di sini diartikan semata-mata sebagai teks dalam kitab suci, baik itu Alkitab, Al-Qur'an, maupun kitab lainnya.
Lantas, bagaimana mungkin umat Muslim meyakini keutuhan Al-Qur'an dari perubahan, sementara kita tahu bahwa proses penyalinan manuskrip, termasuk kitab-kitab suci terdahulu, tak luput dari potensi kesalahan manusiawi? Bukankah setiap salinan Al-Qur'an yang ditulis tangan selama berabad-abad seharusnya identik jika tak seorang pun dapat mengubahnya? Tentu saja, para penyalin bisa saja melakukan kekhilafan. Hal serupa juga terjadi pada kitab-kitab suci sebelumnya, sebuah fakta yang terdokumentasi dengan baik.
Lalu, apa sebenarnya yang dimaksud dengan "firman Tuhan" dalam ayat ini? Ungkapan berbahasa Arab dalam ayat tersebut lebih tepat merujuk pada ketetapan ilahi (divine decree). Ketika Allah SWT menetapkan suatu kehendak, ia menjelma menjadi realitas kosmik yang tak tergoyahkan, tak satu pun makhluk pun mampu mengubahnya. Hanya Allah sendiri yang berkuasa membatalkan atau mengubah ketetapan-Nya jika Dia berkehendak.
Begitu pula dengan janji-janji-Nya; Allah pasti akan menepatinya, dan tak ada kekuatan apa pun yang dapat menggagalkan janji tersebut. Demikian pula, jika Allah menurunkan musibah atau hukuman, tak seorang pun mampu menolaknya. Jadi, ayat ini berbicara tentang realitas kosmik yang absolut, bukan sekadar merujuk pada kata-kata tertulis dalam kitab suci.
Lantas, apakah ini mengimplikasikan bahwa teks Al-Qur'an sendiri mungkin mengalami perubahan dalam beberapa redaksinya? Pemahaman mendasar umat Muslim adalah bahwa Allah SWT sendiri yang menjamin penjagaan Al-Qur'an dari segala bentuk perubahan. Dalam Surah Al-Hijr (15) ayat 9, Allah berfirman, “Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur'an, dan pasti Kami (pula) yang memeliharanya.”
Kita meyakini bahwa Al-Qur'an diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui perantaraan Malaikat Jibril, kemudian dibacakan oleh beliau kepada para sahabat, yang kemudian menuliskannya, menghafalnya, dan akhirnya mengumpulkannya menjadi mushaf yang kita kenal saat ini. Mushaf inilah yang kemudian diturunkan secara utuh dari generasi ke generasi.
Ini diturunkan secara utuh dari generasi ke generasi berikutnya. Namun, para sarjana Barat modern yang mengamati sejarah Islam dari sudut pandang eksternal, termasuk proses kompilasi dan penyebaran Al-Qur'an, memiliki perspektif yang berbeda. Mereka mencatat adanya 10 qira`at (cara baca) Al-Qur'an yang diterima luas di kalangan umat Muslim, yang memiliki perbedaan kecil satu sama lain. Perbedaan ini tidak menyentuh aspek-aspek fundamental dalam keyakinan dan praktik Islam secara signifikan.
Lebih lanjut, di luar 10 qira`at yang umum, terdapat empat qira'at lain yang oleh sebagian umat Muslim dianggap syadz (ganjil atau di luar kebiasaan). Qira`at ini menunjukkan variasi yang sedikit lebih besar dibandingkan dengan perbedaan di antara 10 qira'at yang utama. Kendati demikian, keseluruhan qira`at ini masih berada dalam kerangka besar keyakinan dan praktik Sunni. Artinya, tidak ada satu pun variasi dalam qira`at ini yang mengubah prinsip-prinsip keimanan dan ibadah umat Muslim, atau yang memicu munculnya kelompok atau sekte baru dengan ajaran yang berbeda.
Bahkan, sebelum kodifikasi tujuh qira`at yang kemudian berkembang menjadi sepuluh, dan akhirnya dokumentasi empat belas qira`at, terdapat beragam cara baca yang dikenal di kalangan para sahabat Nabi SAW, dengan tingkat variasi dalam redaksi yang lebih besar. Sebagai contoh, dalam Surah Al-Ahzab (33), terdapat ayat yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad SAW lebih dekat kepada kaum mukmin daripada diri mereka sendiri, dan istri-istri beliau adalah seperti ibu-ibu mereka.
Diriwayatkan bahwa salah seorang sahabat Nabi SAW menambahkan pada bagian ayat tersebut, "dan beliau adalah ayah bagi mereka." Penambahan ini menjelaskan lebih lanjut bahwa sebagaimana istri-istri Nabi SAW adalah ibu bagi kaum mukmin, maka Nabi Muhammad SAW juga merupakan figur ayah spiritual bagi mereka. Kemungkinan besar, ini adalah pemahaman atau kesimpulan pribadi sahabat tersebut yang kemudian beliau catat.
Penting untuk kita pahami bahwa pada masa kini, kita memiliki berbagai macam tanda baca yang membantu membedakan antara kutipan langsung dan komentar pribadi. Kita akan mengapit kutipan dengan tanda kutip dan menambahkan penjelasan kita di luar tanda kutip atau melalui catatan kaki di bagian bawah halaman.
Namun, kondisi pada masa awal Islam sangat berbeda. Kertas adalah barang yang sangat langka. Akibatnya, segala jenis materi tulisan yang tersedia akan dimanfaatkan semaksimal mungkin. Tidak jarang, catatan atau interpretasi pribadi dituliskan di margin naskah. Kemudian, juru tulis di masa berikutnya mungkin akan melihat catatan di margin ini dan bertanya-tanya apakah catatan tersebut seharusnya menjadi bagian dari teks utama yang terlupakan oleh penyalin sebelumnya.
Dengan niat untuk "memperbaiki" teks, juru tulis tersebut mungkin akan memasukkan catatan dari margin ke dalam badan teks utama, karena menurut pemahamannya, di situlah seharusnya catatan itu berada sejak awal.
Keyakinan juru tulis di masa kemudian bahwa catatan margin seharusnya menjadi bagian integral dari teks awal sering kali didasari pada upaya untuk melengkapi atau mengklarifikasi makna. Namun, penting untuk ditekankan bahwa variasi-variasi tekstual semacam ini, meskipun tercatat dan merupakan fenomena yang wajar dalam sejarah transmisi manuskrip, tidak sampai memengaruhi fondasi keyakinan umat Muslim secara mendasar hingga memicu perpecahan menjadi sekte-sekte yang berbeda. Tidak ada kelompok yang mendasarkan identitas keagamaannya pada variasi kecil tersebut.
Oleh karena itu, dengan keyakinan yang teguh, kita dapat menyatakan bahwa esensi pesan Allah SWT tetap terpelihara. Ayat yang sebelumnya dikutip, jika diterjemahkan dengan lebih tepat, dapat dipahami sebagai penegasan bahwa Allah telah menurunkan pesan-Nya (Al-Qur'an) dan Dia pula yang menjamin pemeliharaannya. Dengan demikian, umat Muslim saat ini dapat memiliki keyakinan penuh bahwa Al-Qur'an yang mereka baca adalah wahyu yang sama persis dengan yang diterima Nabi Muhammad SAW melalui perantaraan Malaikat Jibril dari Allah Yang Maha Esa.