Bencana Ekologis dan Keserakahan Manusia

Publish

10 December 2025

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
182
Foto Istimewa

Foto Istimewa

Bencana Ekologis dan Keserakahan Manusia

Oleh: Mohammad Nur Rianto Al Arif, Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah/ Ketua PDM Jakarta Timur

Dalam dua dekade terakhir, bencana ekologis semakin sering terjadi . Banjir bandang yang menghancurkan rumah penduduk, tanah longsor yang menyapu permukiman, kekeringan yang mematikan sumber pangan, hingga polusi udara yang menggerogoti kesehatan manusia. Semua peristiwa ini bukan lagi fenomena biasa, alam seolah sedang  mengirimkan sinyal bahwa ada masalah ekologis karena ulah manusia. 

Di Indonesia, negara yang dikenal sebagai zamrud khatulistiwa, kerusakan ekologis tampak jelas. Hutan-hutan tropis dibabat habis, sungai-sungai tercemar limbah, garis pantai tergerus abrasi, dan kualitas udara di banyak kota jatuh ke level mengkhawatirkan. Laporan berbagai lembaga lingkungan menegaskan bahwa sebagian besar kerusakan ini bersumber dari satu hal yaitu eksploitasi berlebihan dan perilaku rakus manusia terhadap alam.

Menariknya, isu kerusakan lingkungan bukan hanya merupakan persoalan ilmiah, ekologis, atau ekonomi. Dalam perspektif Islam, persoalan ini menyentuh dimensi moral, spiritual, dan peradaban manusia. Al-Qur’an berkali-kali menegaskan hubungan erat antara perilaku manusia dan kondisi alam semesta. Ketika bumi rusak, maka sesungguhnya ada akhlak manusia yang sedang bermasalah.

Tulisan ini mencoba mengurai bencana ekologis yang terjadi hari ini melalui perspektif Islam, dengan menunjukkan bagaimana keserakahan manusia menjadi akar dari banyak kerusakan, sekaligus menawarkan panduan etis Islam dalam merawat bumi sebagai titipan Tuhan.

Sebelum menilai bencana ekologis, kita perlu memahami fondasi teologis tentang relasi manusia dan alam dalam Islam. Ada tiga konsep utama yang menjadi pegangan moral yaitu amanah, khalifah, dan mizan (keseimbangan).

Pertama, bumi sebagai amanah. Islam memandang semua yang ada di dunia ini sebagai ciptaan Allah, bukan milik manusia. Manusia hanya “dipercaya” mengelola bumi, bukan memilikinya secara mutlak. Allah menegaskan dalam QS. al-Baqarah ayat 30 bahwa manusia ditetapkan sebagai khalifah di bumi. Status sebagai khalifah bukanlah hak istimewa, melainkan tanggung jawab besar. 

Khalifah adalah pengelola, penjaga, dan pemakmur bumi, bukan penguasa yang bebas menggunakan sumber daya sesuai hawa nafsunya. Amanah inilah yang banyak dilupakan manusia modern. Ketika bumi dianggap sebagai “komoditas” bukan amanah, eksploitasi menjadi konsekuensi logis.

Konsep kedua ialah manusia sebagai khalifah. Kata “khalifah” sering ditafsirkan secara dangkal sebagai wujud keunggulan manusia atas makhluk lain. Padahal, inti dari khalifah adalah penugasan moral untuk menjaga kehidupan. 

Konsep ketiga ialah keseimbangan sebagai hukum alam. Islam melihat alam sebagai sistem yang teratur, harmonis, dan saling terkait. Allah berfirman:

“Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan mizan (keseimbangan).” (QS. ar-Rahman ayat 7)

Mizan bukan hanya hukum fisika atau biologi, tetapi prinsip teologis yaitu alam dicipta dengan keseimbangan, dan tugas manusia adalah menjaganya. Ketika keseimbangan ini diganggu, misalnya melalui deforestasi, polusi, atau pembangunan yang tidak berkelanjutan maka kerusakan ekologis adalah akibat langsungnya.

Bencana ekologis sering disederhanakan sebagai takdir alam atau gejala cuaca ekstrem. Padahal, banyak peristiwa ekologis merupakan hasil rumit dari dinamika sosial, politik, dan ekonomi yang didorong oleh keserakahan manusia. 

Dalam perspektif Islam, akar dari banyak kerusakan ini adalah fasad yaitu kerusakan yang dilakukan manusia karena ketamakan. Al-Qur’an menyatakan dengan sangat tegas mengenai hal ini. 

“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut akibat ulah tangan manusia...” (QS. ar-Rum ayat 41)

Ayat ini bukan hanya peringatan teologis, tetapi juga analisis ekologis yang sangat relevan untuk zaman modern. Kerusakan di darat: hutan ditebang, tanah longsor, krisis air. Kerusakan di laut: sampah plastik, pencemaran minyak, terumbu karang rusak. Semuanya bukan fenomena alam semata, melainkan konsekuensi dari perilaku manusia.

Dalam banyak kasus, bencana ekologis lahir dari aktivitas ekonomi yang didorong oleh nafsu mengejar keuntungan tanpa mempertimbangkan keberlanjutan. Di sini, Islam mengingatkan bahwa keserakahan adalah salah satu sifat merusak yang bisa menghancurkan peradaban. Ambisi yang tak terkendali mampu membuat manusia buta terhadap nilai etis dan membawa kepada kerusakan sistemik termasuk terhadap lingkungan.

Selain elite ekonomi, masyarakat umum pun berperan dalam kerusakan lingkungan. Budaya konsumsi yang terus meningkat menciptakan permintaan barang yang mempercepat eksploitasi alam. Setiap pembelian barang baru, setiap sampah plastik yang dibuang sembarangan, setiap penggunaan energi berlebih, semuanya akumulatif menciptakan tekanan ekologis.

Dalam Islam, hidup boros dan berlebihan dilarang keras. Ayat ini relevan untuk gaya hidup manusia modern yang konsumtif dan tidak ramah lingkungan.

“Makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (QS. al-A’raf ayat 31)

Islam tidak hanya menunjukkan akar masalah, tetapi juga memberikan solusi teologis dan etis untuk menjaga bumi. Ada beberapa nilai kunci yang dapat menjadi pedoman dalam merespons bencana ekologis.

Nilai pertama ialah larangan merusak. Banyak ayat mengingatkan agar tidak membuat kerusakan di muka bumi.Merusak bumi, dalam bentuk apa pun, adalah tindakan yang bertentangan dengan ajaran Islam. Kerusakan ekologis jelas masuk dalam kategori ini.

“…Dan janganlah kamu membuat kerusakan di bumi setelah (Allah) memperbaikinya…” (QS. al-A’raf ayat 56)

Nilai kedua ialah moderasi atau wasathiyah sebagai kunci kelestarian alam. Islam mengajarkan agar manusia hidup sederhana, tidak berlebihan, dan menjaga keseimbangan dalam konsumsi. Moderasi bukan hanya etika individual, tetapi sistem kehidupan yang selaras dengan keberlanjutan lingkungan. Jika prinsip moderasi diterapkan dalam ekonomi, produksi, konsumsi, hingga pembangunan, kerusakan ekologis dapat ditekan.

Nilai berikutnya ialah keadilan dan keadilan lintas generasi. Islam menekankan keadilan sebagai nilai fundamental. Keadilan ekologis mencakup distribusi manfaat dan beban lingkungan secara adil, termasuk kepada generasi yang belum lahir. Merusak alam berarti mencuri masa depan anak cucu. Padahal, dalam Islam, generasi mendatang memiliki hak atas lingkungan yang baik.

Nilai keempat ialah ihsan (berbuat baik) melebihi kewajiban. Ihsan mengajarkan agar manusia berbuat baik bukan hanya pada sesama manusia, tetapi juga pada hewan dan alam. Rasulullah SAW mencontohkan ihsan terhadap lingkungan dengan banyak perilaku, termasuk larangan menebang pohon secara sembarangan saat perang.

Untuk mengatasi bencana ekologis akibat keserakahan manusia, diperlukan pendekatan menyeluruh. Islam memiliki panduan yang dapat diterapkan di berbagai level.

Level pertama ialah di tingkat individu dengan mengubah cara pandang dan gaya hidup. Individu dapat berperan besar melalui langkah-langkah sederhana seperti mengurangi konsumsi berlebihan, menerapkan gaya hidup hijau, mengenalkan kesadaran ekologis sampai menghindari perilaku yang mengganggu keseimbangan alam.

Level kedua ialah di tingkat masyarakat dengan menghidupkan budaya kolektif menjaga alam. Masyarakat dapat membangun tradisi baru seperti gerakan sedekah oksigen melalui penanaman pohon, bank sampah berbasis masjid, kampanye jumat tanpa plastik, revitalisasi sungai oleh komunitas warga, hingga eco-pesantren dan eco-masjid sebagai model keteladanan. Masjid memiliki potensi besar sebagai pusat edukasi lingkungan karena nilai-nilai ekologis sangat kuat dalam Islam.

Level ketiga ialah di tingkat pemerintah dengan menerapkan kebijakan ramah lingkungan. Dalam Islam, pemerintah memiliki kewajiban menjaga kemaslahatan publik (maslahah ‘ammah). Kemaslahatan ekologis termasuk di dalamnya. Negara bertanggung jawab menciptakan sistem yang meminimalkan kerusakan ekologis.

Level berikutnya ialah di tingkat ulama dan tokoh agama. Ulama memiliki peran strategis dalam membangun etika lingkungan. Mereka dapat memasukkan isu lingkungan dalam khutbah dan dakwah, mengeluarkan fatwa terkait pengelolaan sampah dan hutan, hingga mengadvokasi kebijakan publik agar berpihak pada keberlanjutan. Di beberapa negara Muslim, fatwa tentang konservasi lingkungan telah dikeluarkan. Indonesia pun dapat memperkuat tradisi ini.

Bencana ekologis yang terjadi hari ini bukan sekadar persoalan alam semata. Bencana ini adalah cermin dari perilaku manusia, terutama ketika keserakahan dan ambisi ekonomi mengalahkan etika spiritual. Islam sebagai agama yang lengkap dan universal telah memberikan panduan moral dan teologis dalam merawat lingkungan.

Dari konsep khalifah, amanah, mizan, hingga nilai ihsan dan keadilan, semuanya mengarah pada satu pesan inti yaitu merawat bumi adalah bagian dari ibadah dan tanggung jawab besar manusia di dunia. Bumi bukan warisan dari nenek moyang, tetapi titipan untuk anak cucu. 

Kerusakan yang kita lakukan hari ini akan ditanggung oleh generasi yang belum lahir. Jika manusia ingin selamat dari bencana ekologis, maka ia harus kembali kepada prinsip-prinsip moral yang telah diajarkan oleh agama. Kini saatnya menjadikan ajaran Islam sebagai pedoman dalam membangun peradaban hijau taitu suatu peradaban yang tidak hanya maju secara ekonomi, tetapi juga berakar pada etika lingkungan, keadilan, dan spiritualitas.


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Jejak Sang Pembaharu Kepahlawanan Ahmad Dahlan dalam Arus Zaman Soleh Amini Yahman. Psikolog,  ....

Suara Muhammadiyah

8 November 2025

Wawasan

Ketika Asumsi Menggeser Fakta Oleh: Suko Wahyudi, PRM Timuran Yogyakarta Kita sedang berada dalam ....

Suara Muhammadiyah

5 August 2025

Wawasan

Saatnya Mengembalikan Marwah Pendidikan Tinggi Oleh: Dr. Husamah, S.Pd., M.Pd., Dosen Pendidikan Bi....

Suara Muhammadiyah

30 October 2024

Wawasan

Oleh: Ahmad Azharuddin  Dalam kehidupan, setiap individu pasti pernah menghadapi momen-momen k....

Suara Muhammadiyah

8 July 2024

Wawasan

Oleh: Muhammad Akhyar Adnan, Dosen Prodi Akuntansi, FEB Universitas Yarsi Bahasa adalah cermin buda....

Suara Muhammadiyah

2 June 2025