Demokrasi dan Janji Kesetaraan
Oleh: Suko Wahyudi. Pegiat Literasi Tinggal di Yogyakarta
Demokrasi selalu datang dengan janji yang terdengar masuk akal sekaligus menggoda: kesetaraan. Di hadapan kotak suara, semua warga dianggap sama. Suara buruh dan suara pemilik modal dihitung dengan rumus yang serupa. Angka tidak mengenal latar belakang. Demokrasi lalu diperlakukan sebagai mekanisme paling adil yang pernah ditemukan manusia modern.
Masalahnya, hidup tidak pernah sesederhana angka.
Kesetaraan dalam demokrasi sering berhenti sebagai prinsip administratif. Ia hidup rapi dalam undang-undang, tetapi compang-camping dalam kenyataan sosial. Kita memilih bersama, tetapi tidak berangkat dari titik yang sama. Ada yang datang ke bilik suara dengan pendidikan, akses, dan jaringan. Ada yang datang dengan kelelahan dan kecemasan tentang esok hari. Demokrasi memperlakukan mereka setara, padahal kehidupan tidak.
Di titik ini, demokrasi tampak seperti permainan yang aturannya adil, tetapi lapangannya miring.
Biaya politik yang mahal membuat janji kesetaraan semakin terasa absurd. Hak memilih memang universal, tetapi hak untuk dipilih diam-diam diseleksi. Bukan oleh kapasitas, melainkan oleh modal. Demokrasi lalu bertransformasi menjadi arena sirkulasi elite, dengan rakyat sebagai penonton yang sesekali diminta tepuk tangan.
Ironinya, semua itu tetap sah. Legal. Bahkan dirayakan.
Kesetaraan juga diuji dalam ruang publik. Siapa yang bebas berbicara tanpa risiko. Siapa yang kritiknya dianggap masukan, siapa yang dicurigai sebagai ancaman. Demokrasi menjanjikan kebebasan berpendapat, tetapi praktiknya sering selektif. Ada suara yang dilindungi, ada yang diawasi. Ada yang disebut kritis, ada yang dicap gaduh.
Di desa dan pinggiran kota, demokrasi sering hadir sebagai ritual lima tahun sekali. Baliho memenuhi jalan, janji diproduksi massal. Setelah itu, sunyi. Jalan tetap rusak, layanan publik jalan di tempat, dan warga kembali mengurus hidupnya sendiri. Kesetaraan politik tidak otomatis menjelma menjadi kesetaraan sosial. Hak memilih tidak serta-merta berarti hak menentukan arah.
Yang lebih problematis, demokrasi kerap dipakai untuk membenarkan ketidakadilan. Atas nama suara mayoritas, kebijakan yang merugikan kelompok rentan dilegalkan. Legalitas menjadi tameng moral. Demokrasi lalu berubah wajah: dari ruang deliberasi menjadi alat legitimasi. Dari janji emansipasi menjadi bahasa sopan bagi dominasi.
Di sini, demokrasi kehilangan dimensi etiknya. Ia tetap bekerja sebagai sistem, tetapi gagal sebagai cita-cita. Kita sibuk menghitung suara, tetapi lupa mendengar. Kita merayakan partisipasi, tetapi menutup mata pada ketimpangan yang membuat partisipasi itu timpang sejak awal.
Barangkali yang perlu dipertanyakan bukan apakah demokrasi berjalan, melainkan untuk siapa ia bekerja. Jika demokrasi hanya efektif bagi mereka yang sudah kuat, maka kesetaraan tinggal mitos. Sebuah cerita yang diulang agar ketimpangan terasa wajar.
Demokrasi seharusnya bukan sekadar prosedur menang kalah. Ia adalah upaya terus-menerus untuk memastikan yang lemah tidak selalu kalah. Tanpa keberanian mengoreksi relasi kuasa, demokrasi hanya akan menjadi upacara berkala yang rapi, sah, dan kosong.
Janji kesetaraan akan terus terdengar indah. Tetapi selama ia tidak menyentuh realitas hidup warga yang paling rentan, demokrasi akan tetap menjadi janji yang pandai berbicara, namun gagap ketika diminta membuktikan diri.


