BANDUNG, Suara Muhammadiyah – Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah sekaligus Ketua Badan Pembina Harian Universitas Muhammadiyah Bandung Dadang Kahmad menegaskan pentingnya konsep takzim sebagai fondasi akhlak dalam kehidupan umat Islam.
Takzim bermakna memuliakan, menghormati, dan menjaga adab kepada sesama tanpa merendahkan siapa pun. Konsep ini mengajarkan seseorang untuk melihat orang lain lebih mulia daripada dirinya sendiri. Sebaliknya, kesombongan adalah sifat yang membawa manusia pada kehinaan, sebagaimana dicontohkan dalam kisah iblis yang menolak sujud kepada Nabi Adam.
Dalam Islam berkemajuan, nilai takzim tidak hanya diterapkan kepada sesama manusia, tetapi kepada seluruh makhluk ciptaan Allah. Penghormatan tertinggi diberikan kepada Allah SWT melalui ketaatan dan tauhid yang murni. Sementara penghormatan kepada Rasulullah SAW diwujudkan melalui kecintaan dan keteladanan terhadap akhlaknya.
Penghormatan kepada guru dilakukan dengan menaati ajaran dan nasihat yang baik tanpa melampaui batas kemanusiaan. Penghormatan tidak boleh meniadakan harga diri seseorang. Bentuk penghormatan seperti mencium tangan masih diperbolehkan selama tidak merendahkan diri atau bertentangan dengan akal sehat.
Adapun takzim kepada orang tua diwujudkan melalui ketaatan dan doa, sedangkan kepada sesama manusia diwujudkan dengan tidak merendahkan siapa pun, apa pun latar belakang sosialnya.
"Takzim merupakan bagian integral dari ajaran Islam dan menjadi pondasi pembentukan karakter umat. Tidak ada satu pun ajaran Islam yang membenarkan penghinaan terhadap orang lain," ujar Dadang seperti dikutip dalam agenda TV Muhammadiyah pada Selasa (9/12/2025).
Dadang menegaskan bahwa konsep takzim berkaitan erat dengan nilai-nilai kemanusiaan universal. Prinsip ini dikenal sebagai golden rule, yakni memperlakukan orang lain sebagaimana kita ingin diperlakukan.
Siapa yang menghormati orang lain akan mendapatkan penghormatan, dan siapa yang memberi akan menerima lebih banyak. Ajaran serupa ditemukan dalam berbagai agama, termasuk dalam Injil, yang sama-sama mengajarkan penghormatan dan kebaikan antarsesama.
Dalam perspektif Islam berkemajuan, takzim harus dilandasi moralitas luhur dan tauhid yang murni sebagai energi untuk memajukan umat, bukan sekadar ritual pasif. Budaya lokal dapat mempengaruhi cara seseorang menghormati guru atau orang tua selama tidak melanggar prinsip Islam.
Dadang menegaskan bahwa umat Islam tidak boleh mengkultuskan siapa pun, termasuk nabi, guru, atau ulama. Nabi Muhammad pun adalah manusia biasa yang menerima wahyu, bukan makhluk yang serba tahu atau memiliki kekuatan gaib. Oleh karena itu, kritik yang santun kepada guru atau ulama diperbolehkan selama tetap menjaga adab dan kesopanan.
Sebagai langkah konkret menanamkan budaya takzim, Muhammadiyah terus mengajarkan akhlak Islam di sekolah dan majelis pengajian. Nilai-nilai yang ditekankan meliputi keimanan yang kuat, kesabaran, kejujuran, ketaatan pada aturan, kedermawanan, serta kerendahan hati untuk mengakui kesalahan.
"Kita harus memahami bahwa sesungguhnya kemuliaan seseorang tidak ditentukan oleh status sosial, namun ditentukan oleh ketakwaannya, dan bahwa Allah juga hanya menilai akhlak terbaik dari hamba-hamba-Nya," tandas Dadang. *


