YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah - Perkembangan ekonomi digital di Indonesia telah melahirkan fenomena gig economy, yakni sistem kerja fleksibel berbasis platform digital yang kini menjadi tumpuan hidup bagi jutaan masyarakat. Meskipun menawarkan peluang besar, khususnya bagi generasi muda, sistem ini juga menghadirkan tantangan baru dalam hal perlindungan sosial dan keadilan ekonomi.
Hal tersebut disampaikan oleh Prof. Dr. Endah Saptutyningsih, S.E., M.Si., Kaprodi Magister Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) sekaligus pakar ekonomi lingkungan, dalam wawancara daring pada Sabtu (8/11).
Menurut Prof. Endah, gig economy merupakan sistem pekerjaan yang tidak bergantung pada hubungan kerja tetap, di mana seseorang memperoleh penghasilan dari tugas atau proyek tertentu melalui platform digital seperti Gojek, Grab, Shopee, hingga TikTok.
“Hubungan kerja dalam gig economy sangat fleksibel. Mereka dibayar berdasarkan pekerjaan, bukan gaji bulanan. Namun, fleksibilitas ini juga berarti tidak adanya jaminan sosial dan kepastian kerja,” jelas Endah.
Ia menambahkan, ratusan ribu masyarakat Indonesia kini bergantung pada platform digital untuk memperoleh penghasilan, mulai dari kurir, desainer lepas, hingga kreator konten.
“Meskipun disebut sebagai mitra, para pekerja masih berada dalam posisi lemah karena perusahaan platform yang menentukan tarif, sistem kerja, hingga pemberian sanksi,” terangnya.
Meski demikian, fenomena ini juga membawa dampak positif. Gig economy memberikan kesempatan bagi anak muda dan mahasiswa untuk memperoleh penghasilan tambahan tanpa membutuhkan modal besar, sekaligus meningkatkan produktivitas melalui layanan digital seperti logistik dan e-commerce.
Prof. Endah juga menilai bahwa dengan kebijakan yang tepat, gig economy dapat mendukung transisi menuju ekonomi hijau, misalnya melalui penggunaan kendaraan listrik oleh pengemudi ojek online.
Lebih lanjut, Endah menegaskan pentingnya regulasi ketenagakerjaan yang adaptif, agar fleksibilitas kerja digital tetap diiringi perlindungan dasar bagi pekerja. Ia juga menyoroti perlunya pengakuan terhadap kategori baru “pekerja berbasis platform” dalam hukum ketenagakerjaan Indonesia.
“Regulasi harus mengatur kewajiban perusahaan platform untuk membayar iuran jaminan sosial, memberikan akses terhadap data pekerjaan, memastikan portabilitas ketika pekerja berpindah platform, serta mendorong transparansi algoritme dan biaya platform,” paparnya.
Dalam konteks pendidikan tinggi, Prof. Endah menegaskan bahwa kampus memiliki peran strategis dalam menyiapkan mahasiswa menghadapi dunia kerja yang semakin dinamis.
Program Studi Magister Ekonomi UMY, lanjutnya, telah mengarahkan pembelajaran untuk menjawab tantangan ekonomi modern, termasuk ekonomi digital dan ekonomi hijau.
“Perguruan tinggi harus memperkaya kurikulum dengan literasi ekonomi digital, kewirausahaan kreatif, dan kerja lepas. Selain itu, perlu menghadirkan praktisi yang mampu memberikan pelatihan hukum dan keuangan digital,” jelasnya.
Melalui riset dan kolaborasi multidisiplin, Magister Ekonomi UMY berkomitmen menyiapkan lulusan yang adaptif, beretika, dan siap menghadapi perubahan struktur kerja global.
“Gig economy bukan sekadar tren sesaat, melainkan bagian dari wajah baru ketenagakerjaan Indonesia. Ke depan, kombinasi antara teknologi hijau, perlindungan sosial, dan fleksibilitas kerja akan menjadi kunci dalam menciptakan sistem ekonomi yang adil dan berkelanjutan,” pungkas Endah. (Jeed)


