Harapan Dunia dan Akhirat dalam Timbangan Al-Qur’an dan As-Sunnah
Oleh: Suko Wahyudi, PRM Timuran Yogyakarta
Harapan adalah bagian dari fitrah manusia. Dengannya seseorang menjalani hidup, menghadapi ujian, dan menata masa depan. Namun, harapan tidak boleh dilepas dari bimbingan wahyu. Harapan yang benar adalah harapan yang dibangun di atas iman, bukan sekadar angan-angan atau dorongan hawa nafsu. Karena itu, Al-Qur’an melarang sikap putus asa dan menegaskan bahwa harapan harus selalu tertuju kepada rahmat Allah. Allah berfirman, “Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah” (Az-Zumar [39]: 53). Putus asa merupakan bentuk buruk sangka kepada Allah dan bertentangan dengan tauhid.
Dalam kehidupan dunia, manusia tentu membutuhkan harapan akan kesejahteraan. Mencari rezeki yang halal, mencukupi kebutuhan keluarga, dan menjaga keselamatan diri adalah bagian dari kewajiban syariat. Islam tidak mengajarkan umatnya untuk meninggalkan dunia. Bahkan, Allah memerintahkan agar dunia dimanfaatkan secara benar. “Dan janganlah kamu melupakan bagianmu di dunia” (Al-Qashash [28]: 77). Ayat ini menunjukkan bahwa dunia memiliki tempat dalam kehidupan seorang muslim, selama ia berada dalam koridor ketaatan.
Rasulullah ﷺ pun mencontohkan kehidupan yang aktif dan produktif. Beliau bekerja, berdagang, memimpin masyarakat, dan mengatur urusan umat, tanpa sedikit pun mengurangi kesungguhan beliau dalam ibadah. Dalam sebuah hadis disebutkan, “Tidaklah seseorang memakan makanan yang lebih baik daripada makanan yang dihasilkan dari kerja tangannya sendiri” (HR Al-Bukhari). Hadits ini menegaskan keutamaan usaha dan kerja yang halal sebagai bagian dari kehidupan seorang mukmin.
Namun, Al-Qur’an juga mengingatkan bahwa dunia bukan tujuan akhir. Dunia bersifat sementara dan penuh ujian. Ketika dunia dijadikan cita-cita tertinggi, ia akan menipu dan melalaikan manusia dari akhirat. Allah berfirman, “Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu” (Al-Hadid [57]: 20). Rasulullah ﷺ bersabda, “Dunia itu terlaknat, dan terlaknat apa yang ada di dalamnya, kecuali zikir kepada Allah, apa yang mendukungnya, orang alim, dan orang yang belajar” (HR At-Tirmidzi). Hadis ini menjadi peringatan agar dunia tidak menguasai hati seorang muslim.
Bahaya terbesar dari keterikatan dunia adalah ketika harta dan keluarga melalaikan seseorang dari ketaatan. Allah memperingatkan, “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah harta bendamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah” (Al-Munafiqun [63]: 9). Rasulullah ﷺ juga bersabda, “Sesungguhnya setiap umat memiliki fitnah, dan fitnah umatku adalah harta” (HR At-Tirmidzi). Harta adalah ujian, bukan jaminan keselamatan.
Di sisi lain, kesalahan juga terjadi ketika seseorang salah memahami orientasi akhirat. Ada yang mengira bahwa mengejar akhirat berarti meninggalkan dunia, enggan bekerja, dan menjauh dari urusan kehidupan. Pemahaman ini tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah. Islam mengajarkan keseimbangan. Setelah menunaikan ibadah, seorang muslim diperintahkan kembali berikhtiar. “Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah” (Al-Jumu’ah [62]: 10).
Ketika sebagian sahabat ingin beribadah secara berlebihan dengan meninggalkan urusan dunia, Rasulullah ﷺ menegur mereka dan bersabda, “Sesungguhnya aku paling takut kepada Allah di antara kalian dan paling bertakwa kepada-Nya. Namun aku berpuasa dan berbuka, aku shalat dan aku tidur, dan aku menikahi wanita. Barang siapa berpaling dari sunnahku, maka ia bukan dari golonganku” (HR Al-Bukhari dan Muslim). Hadits ini menjadi landasan penting dalam memahami keseimbangan hidup seorang muslim.
Al-Qur’an menjelaskan bahwa dunia dan akhirat saling berkaitan. Dunia adalah tempat beramal, sementara akhirat adalah tempat pembalasan. Allah berfirman, “Barang siapa menghendaki keuntungan di akhirat, akan Kami tambahkan keuntungan itu baginya. Dan barang siapa menghendaki keuntungan di dunia, Kami berikan kepadanya sebagian darinya, tetapi dia tidak memperoleh bagian di akhirat” (Asy-Syura [42]: 20). Orientasi hidup menentukan keselamatan atau kerugian manusia.
Keseimbangan ini juga tercermin dalam doa yang diajarkan oleh Allah, “Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, serta lindungilah kami dari azab neraka” (Al-Baqarah [2]: 201). Rasulullah ﷺ sering membaca doa ini, sebagaimana diriwayatkan dalam hadits sahih (HR Al-Bukhari dan Muslim). Ini menunjukkan bahwa doa tersebut mencerminkan manhaj hidup yang lurus.
Kebaikan dunia yang dimaksud bukan sekadar harta, tetapi rezeki yang halal, kesehatan, keamanan, dan kemudahan untuk taat kepada Allah. Adapun kebaikan akhirat adalah keselamatan dari neraka dan masuk ke dalam surga. Semua itu diraih dengan iman dan amal saleh. Allah berfirman, “Barang siapa mengerjakan kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka pasti Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik” (An-Nahl [16]: 97).
Al-Qur’an juga menegaskan bahwa kehidupan ini adalah ujian. Yang dinilai bukan banyaknya harta atau panjangnya usia, tetapi kualitas amal dan keikhlasan. “Dia yang menciptakan mati dan hidup untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang paling baik amalnya” (Al-Mulk [67]: 2). Rasulullah ﷺ bersabda, “Orang yang cerdas adalah orang yang menundukkan hawa nafsunya dan beramal untuk kehidupan setelah kematian” (HR At-Tirmidzi).
Dengan demikian, harapan yang benar adalah harapan yang ditimbang dengan Al-Qur’an dan Sunnah. Dunia dijadikan sarana untuk taat kepada Allah, bukan tujuan akhir. Akhirat dijadikan tujuan utama tanpa meninggalkan kewajiban duniawi. Inilah jalan hidup yang lurus, selamat dari sikap berlebihan dan kelalaian, serta menghantarkan seorang muslim kepada kebahagiaan dunia dan akhirat.


