Kelompok Salafi  dan Pudarnya Kesalehan Sosial

Publish

26 April 2024

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
540
Foto Penerbit SM

Foto Penerbit SM

Kelompok Salafi  dan Pudarnya Kesalehan Sosial

Oleh: Muhammad Utama Al Faruqi, Demisioner Sekretaris Umum PCIM Arab Saudi 2017-2018

Salah satu dampak terbukanya akses informasi yang lebih leluasa, sekaligus dampak adanya media sosial yang berkembang dan mampu diakses sekaligus diisi oleh semua orang, tanpa kriteria yang ketat, aturan yang rinci dan informasi yang kurang selektif adalah bertambahnya variasi dan berkembangnya dinamika pemahaman beragama umat Islam di tanah air. 

Sehingga setiap orang kini, siapa saja, dimana saja mampu menjadi hakim, ulama, pendakwah, mufti (pemberi fatwa) hingga qadhi (pemberi putusan hukum /qadha’) dengan bermodal perangkat elektronik, jaringan internet dan akun media sosial atau website. Akun media sosial yang jumlahnya hampir tak terhitung itu seringkali muncul tidak dengan nama aslinya, akan tetapi cukup massif menyebar berbagai informasi, bahkan bermodalkan copy-paste.

Informasi-informasi tersebut, terlebih khusus yang bertemakan pemikiran dan madzhab beragama menjadi sangat mudah diakses oleh siapapun, tanpa filter kritis dalam alam pikiran para pengaksesnya. Media sosial seolah menjadi pasar ideologi yang sangat bebas, bahkan setiap orang sadar atau tidak sadar kemudian menjual waktu yang berharga, kepedulian sosial hingga akal sehatnya dengan ideologi yang bahkan dirinya belum tentu paham dengan arah ideologi tersebut. Lantas membawanya pada berbagai tindakan yang bernuansa merusak yang seringkali berada di luar kuasa kesadarannya.

Sehingga tibalah banyak orang yang meniadakan nalar kritis dan kesadaran sosial pada sebuah titik dimana kesalehan atribut menjadi jauh lebih penting daripada kesalehan ritual dan kesalehan sosial. 

Dimana atribut berupa penampilan atau pakaian yang mudah dibeli dengan harga tertentu menjadi identitas atau pertanda bahwa seseorang telah dijamin surga, lebih daripada mereka yang giat dan rajin beribadah, terlebih lagi berada di tengah-tengah kaum yang membutuhkan untuk menebar manfaat dan kebahagiaan. 

Mengenal Kelompok Salafi

Salafi, atau lebih tepatnya kelompok Salafi dalam pembahasan ini lebih mengarah pada varian baru yang muncul dan berkembang di Indonesia sejak tahun 90-an hingga hari ini. 

Penamaan Salafi sendiri sepertinya secara spesifik mungkin lebih tepat jika menyebut bahwa Nashiruddin al-Albani adalah yang memulai menyebut dirinya dan siapapun yang sepemikiran dengannya sebagai penganut Salafi hingga “keharusan” menisbatkan diri termasuk dalam penamaannya dengan nama Salafi. Sehingga banyak ditemukan pengikutnya kemudian menyematkan namanya dengan penisbatan seperti as-Salafi, al-Atsari, dan semisalnya, dan bukan merupakan nama aslinya. 

Kelompok Salafi berkembang pesat di tanah air sejak mereka secara massif memanfaatkan jaringan internet dan media sosial, dan dikenal tidak kenal kompromi dalam menyerang para “senior” mereka dalam dakwah Islam di tanah air, dalam hal ini adalah Nahdhatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. 

Sehingga label-label seperti “ahlul bid’ah” dan semisalnya yang disematkan pada kelompok lain yang berbeda cukup mudah ditemukan dalam kajian-kajian Salafi periode awal.  Meskipun pada beberapa kurun waktu terakhir label-label itu jarang ditemukan secara eksplisit, tentu saja sebagai strategi dakwah mereka agar mudah merekrut pengikut baru, dan melakukan infiltrasi di tengah-tengah basis kompetitornya. 

Sebagian ustadz dan muballigh (di) Muhammadiyah memberikan penghormatan yang tinggi pada kelompok ini, bahkan seringkali melebihi pada tokoh yang lebih layak dihormati dalam etika organisasi, serta tidak banyak yang mampu mengkritiknya secara eksplisit, mungkin karena khawatir diberi label-label tertentu pula oleh kelompok ini. 

Antara “Sunnah” dan Sosial

Ada beberapa tema besar kajian kelompok Salafi yang menjadi ciri khasnya. Selain yang bersifat ideologis seperti “Mulia dengan Manhaj Salaf”, hingga yang mengukuhkan identitas dan atribut bagi pengikutnya, seperti “Hukum Bercelana Isbal” dan semisalnya.

Karena kelompok ini mudah dikenali di masyarakat dengan ciri khas penampilannya, seperti celana cingkrang atau menggantung di atas kaki, jenggot panjang yang bahkan seringkali kurang tapi, begitupun cadar bagi kaum wanitanya. Penampilan yang cenderung monoton bagi kaum muda dan kaum tuanya,  gaya bicara dan gaya bahasa yang kaku serta mimik wajah yang kaku sekaligus datar juga kerapkali menjadi ciri khas yang juga mudah ditemui.

Identitas yang tampak pada atribut dan penampilan ini sering juga menjadi dasar boleh tidaknya berinteraksi sosial. Sehingga pakaian yang harganya terjangkau dan mudah dibeli itu menjadi “dasar yang cukup kuat” untuk bersikap selektif dalam mengucapkan salam, bersalaman, bekerja sama, berdialog dan bercengkrama. 

Sehingga mereka yang berpakaian layaknya masyarakat biasa atau “orang awam” dalam pandangan sempit mereka, sekalipun lebih rapi dan formal, seolah tidak mendapatkan hak sebagai makhluk sosial yang layak dijadikan mitra.  Tidak ada salam, tidak ada sapa, lebih-lebih memberikan bantuan kepada mereka yang berbeda.

Inipun nanti akan dibantah, karena mereka sebatas kelompok yang tidak terorganisir sehingga tidak layak disebut sebagai “organisasi”. Perilaku mereka sekalipun seperti terarah, tapi tidak ada koordinasi. Sehingga sering pula tindakan atau perkataan sebagian orang kelompok ini, terbantahkan sendiri oleh pernyataan kontradiktif sebagian orang dalam satu kelompok yang sama. 

Kelompok ini cukup keras dalam mempermasalahkan kain sekian senti di bawah mata kaki, tetapi kurang peduli dengan perampasan hak milik dan tanah yang bermeter-meter jumlahnya. Begitupun pakaiannya panjang, jubah, gamis dan cadar tapi tidak menutup aib saudaranya yang tak sekelompok, bahkan mencelanya dan menjadikan bahan tertawaan. Cadar menjadi kewajiban bagi para wanitanya, tapi aib orang lain, apalagi yang berbeda sah saja jika menjadi bahan pembicaraan, jenggot yang panjang dan lebat juga menjadi identitas, tetapi senyum yang diberikan pun masih sangat selektif.

Tidak hanya itu, merapatkan shaf shalat menjadi keharusan walau menjadikan orang lain di kanan-kirinya tidak nyaman. Tetapi terdapat jarak yang sangat jauh dalam shaf sosial, tidak rapat, tidak lurus dan menebar permusuhan. Musik haram mutlak, begitu juga “haramnya” irama kehidupan yang muncul dari indahnya berbagi pada sesama manusia lantas menjadi hampa tanpa makna.  

Merebaknya dakwah Salafi dan beberapa kali beberapa waktu terakhir secara eksplisit mulai berani menyerang Muhammadiyah perlu mendapat perhatian penting. Karena “mulai berani” itu menandakan bahwa mereka sudah merasa memiliki “kuasa”. Setidaknya perlu direspon dengan menjadikan varian unik satu ini sebagai obyek penelitian dan memberikan solusi praktis yang tidak sebatas deskripsi tentang alam pikiran kelompok ini yang khas. 

Semakin beragama, semakin rajin pula ibadahnya, juga semakin tinggi pula kesalehan sosialnya, dan itulah identitas umat Islam yang jauh lebih penting daripada sebatas atribut yang mudah dibeli dengan harga terjangkau. 


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Mubalig Hijrah, Kaderisasi dan Dakwah Global Oleh: Elis Zuliati Anis, Dosen Universitas Ahmad Dahla....

Suara Muhammadiyah

5 April 2024

Wawasan

Menyelamatkan Homo Digitalis dari Kehidupan Inersia Oleh: Agusliadi Massere Era digital hari ini a....

Suara Muhammadiyah

12 November 2023

Wawasan

Oleh: Dr H Amirsyah Tambunan, MA Ketua Majelis Pendayagunaan Wakaf Pimpinan Pusat Muhammadiyah Beg....

Suara Muhammadiyah

13 February 2024

Wawasan

"Mencari Simpati Hati dan Suara Pemilih" Oleh: Rumini Zulfikar Pemilu Tahun 2024 saat ini memasuk....

Suara Muhammadiyah

1 December 2023

Wawasan

Mempromosikan Budaya Hijau, Inovasi, dan Kerjasama Oleh: Agus setiyono Dalam era ketidakpastian pe....

Suara Muhammadiyah

13 November 2023

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah