YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah - ama Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) kembali terukir dalam sejarah. Salah satu alumninya, Emir Gemilang Jayaringga, berhasil menembus salah satu institusi pendidikan paling prestisius di dunia, Harvard University, untuk jenjang Master. Pencapaian Emir ini tidak hanya menjadi tonggak sejarah bagi Emir pribadi dan UMY saja, tetapi juga mematahkan stigma lama bahwa lulusan fakultas kedokteran hanya terpaku pada praktik medis semata.
Emir, sapaan akrabnya, lulus dari jurusan Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK) UMY pada tahun 2018. Ia secara resmi akan menempuh studi di program Master of Science in Global Health Delivery di Harvard University pada Agustus 2025. Jurusan yang Emir ambil berfokus pada kedokteran sosial termasuk aspek-aspek sosial yang menghambat layanan kesehatan (Social Determinants of Health) yang selaras dengan minatnya sejak S1 di bidang global health.
Perjalanan Emir menuju Harvard tidaklah mulus. Setelah menyelesaikan pendidikan sarjana di bidang Kedokteran, Emir memilih untuk mengambil gap year selama satu tahun sebelum melanjutkan ke program profesi dokter. Masa koas yang ia mulai pada 2019 pun sempat tertunda akibat pandemi COVID-19. Setelah melalui berbagai kendala, Emir akhirnya berhasil menyelesaikan program profesi dan resmi menyandang gelar dokter pada Januari 2022.
"Waktu itu sempat jadi pertanyaan juga saat wawancara dengan LPDP (Lembaga Pengelola Dana Pendidikan), kenapa koas saya lama sekali. Tapi saya jelaskan, itu bukan empat tahun, melainkan dua setengah tahun karena sempat dirumahkan akibat COVID," terang Emir, menjelaskan perjalanan studinya yang panjang.
Dari American Corner ke Harvard: Membangun Titik Temu Global Health
Ketertarikan Emir pada global health bermula saat Ia aktif dalam kegiatan-kegiatan hubungan internasional selama kuliah di UMY, seperti menjadi tim debat bahasa Inggris yang mewakili UMY di Tingkat nasional maupun provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Model United Nations (MUN), hingga menjadi asisten praktikum diplomasi. Ia melihat adanya titik temu antara ilmu kedokteran dan hubungan internasional dalam bidang ini.
Titik balik krusial dalam perjalanan Emir dimulai pada tahun 2015, saat ia menjadi relawan di American Corner UMY. Di sana, Emir menginisiasi beragam program, termasuk Psychology Club dan Telinga Hati, sebuah inisiatif yang berfokus pada destigmatisasi kesehatan mental dan HIV-AIDS. Program inilah yang membukakan pintu bagi Emir untuk mengikuti program fellowship Young Southeast Asia Leaders Initiative (YSEALI) di Amerika Serikat (AS). Selama fellowship, Emir ditempatkan di Partnership Health Center (PHC) di Missoula, Montana, sebuah kota kecil di bagian Barat negara bagian tersebut. Bersama tim PHC, Emir melakukan penjangkauan ke daerah terpencil untuk meningkatkan partisipasi tes HIV. Selain itu, Ia juga aktif berdiskusi tentang layanan kesehatan mental di Montana bersama Integrated Behavioral Health Department di PHC.
Sepulang dari fellowship di AS, Emir berhasil mendapatkan pendanaan untuk proyek perdananya, inisiatif Telinga Hati yang Ia bentuk. Proyek ini merupakan hasil kolaborasi antara Telinga Hati, American Corner UMY, dan Komunitas Dokter Tanpa Stigma. Kegiatan yang diadakan meliputi Workshop Mendengarkan Aktif (Active Listening) bagi peer-counselor dan mahasiswa jurusan kesehatan di UMY, Seminar Kesehatan Mental, serta sesi klarifikasi nilai untuk 30 tenaga kesehatan di wilayah DIY.
"Program Telinga Hati ini landasannya masih community-lead project , makanya saya kira saya perlu menimba ilmu lagi, dan kebetulan program Global Health Delivery ini memang cocok dengan apa yang sedang saya kerjakan,” jelasnya.
Ia menyadari bahwa sebagai lulusan universitas swasta seperti UMY, peluang untuk dilirik Harvard terkesan lebih kecil dibandingkan universitas negeri ternama lainnya. Namun, tekadnya tak goyah. "Sampai saat ini kata dosen saya, mungkin belum ada alumni UMY yang kuliah di Harvard," tambahnya, menegaskan bahwa pencapaiannya bisa jadi adalah yang pertama.
Untuk mewujudkan mimpinya, Emir memilih jalur beasiswa LPDP jalur Perguruan Tinggi Utama Dunia (PTUD), yang memungkinkan pendaftar mengantongi Letter of Acceptance (LoA) dari kampus tujuan terlebih dahulu sebelum mendaftar beasiswa.
"Karena menurut saya Harvard ini kampus yang prestisius, dan juga sangat objektif terutama mereka kalau melihat sisi leadership calon mahasiswa yang menjadi daya jual untuk bisa diterima, jadi saya pikir saya coba mencari LoA-nya Harvard dulu baru daftar LPDP," kenang Emir.
Selama di UMY, Emir tidak hanya fokus pada akademik. Ia aktif di Student Exchange Committee Muhammadiyah Medical Student Activities (SECO MMSA), dan mengurus program pertukaran pelajar internasional. Namun, Ia menekankan bahwa dukungan paling signifikan dalam membentuk pola pikirnya datang dari kelas tutorial bahasa Inggris di FKIK UMY, yang membantunya terbiasa dengan materi medis berbahasa Inggris dan berkomunikasi dengan pasien.
Selain itu, Emir juga tiga kali didukung oleh FKIK UMY untuk mengikuti lomba internasional, termasuk Student English Speech Competition 2016 yang diadakan di Deagu Health College, Korea Selatan, di mana Emir berhasil menembus ke babak semifinalis di kompetisi tersebut. Di tahun berikutnya, Emir mengikuti kompetisi yang sama di Siam University di Thailand, serta Indonesian Medical Model United Nations (IMMUN) yang diadakan di Universitas Yarsi di Jakarta. Kegiatan-kegiatan ini, menurutnya, sangat membantunya dalam membentuk pola pikir analitis, yang berbeda dari pola pikir saintifik yang dominan di kedokteran.
"Di FKIK kita lebih banyak scientific, harus evidence-based. Tapi di ilmu sosial, kita bisa membuat hipotesis-hipotesis yang lebih luas. Kegiatan-kegiatan seperti MUN dan debat memberikan saya pola pikir analitik yang baik," ujarnya.
Kontribusi Setelah Harvard: Mengintegrasikan Layanan Kesehatan Mental Penyandang HIV/AIDS
Setelah menyelesaikan studinya di Harvard, Emir berencana untuk memberikan kontribusi nyata di Indonesia. Ia mengajukan proyek pionir untuk mengintegrasikan layanan kesehatan mental dalam layanan HIV/AIDS di puskesmas atau community health center , dimulai dengan pilot project di Yogyakarta.
"Kita ingin memengaruhi kebijakan policy makers untuk memberikan pedoman spesifik tentang bagaimana memberi dukungan psikososial dan penanganan tantangan kesehatan mental pada teman-teman ODHIV," papar Emir, optimis bahwa proyek ini akan membantu mengurangi stigma dan meningkatkan pemahaman tentang kasus-kasus kesehatan yang kompleks. Proyek ini akan dijalankan melalui inisiatif Telinga Hati yang telah Ia bentuk sebelumnya.
Emir melihat pencapaiannya sebagai sebuah kesempatan bagi UMY untuk terus mendukung alumni berprestasi. Ia sangat mengapresiasi adanya Alumni Awards yang menunjukkan bahwa alumni masih dianggap sebagai bagian penting dari UMY.
Namun, Ia juga menyoroti adanya ketimpangan dukungan untuk kegiatan internasional di fakultas-fakultas tertentu yang lebih antusias dibanding fakultasnya sendiri. Padahal, menurutnya, mengirim mahasiswa ke ajang internasional dapat membuka jaringan luas dan mempromosikan UMY, terutama program unggulan milik MMSA UMY seperti International Tropical Medicine Summer School yang telah belasan tahun menjadi medical summer school terbesar di Indonesia.
Emir berharap pencapaiannya di Harvard tidak akan menjadi yang terakhir bagi alumni UMY. "Saya berharap saya tidak akan menjadi yang terakhir. Di FKIK UMY, banyak sekali teman-teman atau adik-adik saya yang memang punya kemampuan, dan sayang sekali jika tidak kita tunjukkan," tegasnya.
"Jika saya bisa berkompetisi dengan orang-orang dari kampus top seperti UI, UGM, UNAIR, dan lainnya, kenapa tidak? Banyak anak-anak di UMY yang sebenarnya jauh lebih baik dari saya. Saya harap dengan kehadiran saya di Harvard, mereka bisa termotivasi dan terpanggil, ternyata alumni UMY juga mampu ke Harvard," tutup Emir, penuh harap. (FU)