ARAB SAUDI, Suara Muhammadiyah – Lantunan talbiyah melangit di tengah sengatan matahari yang mencapai 50 derajat Celsius. Ratusan ribu jamaah haji Indonesia bersama jutaan jamaah haji seluruh dunia memenuhi Padang Arafah pada 9 Dzulhijjah 1446 H. Bak ilustrasi padang mahsyar, lautan manusia berpakaian ihram putih, tak ada kasta, semua sama.
Alhajju Arafah, haji itu Arafah, melaksanakan wukuf merupakan rukun haji. Puncak dari ibadah dari rukun Islam kelima ini menjadi bagian dari proses transformasi spiritual menuju puncak penghambaan yang sesungguhnya, di mana setiap detiknya sarat dengan makna dan pelajaran hidup.
Menteri Agama RI Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA, sebagai Amirul Hajj yang memimpin rombongan dengan pesan mendalam tentang makna sejati wukuf. Penyelenggaraan ibadah haji tahun ini menghadapi ujian yang begitu kompleks dan multidimensional. Tidak hanya harus berhadapan dengan cuaca ekstrem yang menyengat, panitia penyelenggara juga harus menghadapi perubahan kebijakan mendadak dari Pemerintah Arab Saudi yang seringkali datang tanpa pemberitahuan sebelumnya.
Setidaknya ada enam regulasi baru yang diterapkan secara mendadak, dan yang membuat situasi semakin menantang adalah fakta bahwa tiga di antaranya berubah hanya dalam tempo 24 jam, menuntut adaptasi cepat dari seluruh tim penyelenggara. Sistem penyelenggaraan yang kini lebih terbuka—mulai dari pemilihan maskapai penerbangan, pengaturan akomodasi hotel, penyediaan katering, hingga penataan transportasi—menambah panjang daftar tantangan yang harus dihadapi dengan penuh kesabaran dan kecermatan.
Namun, di balik segala kesulitan itu, Nasaruddin Umar dengan penuh keyakinan melihat adanya "tangan-tangan Tuhan" yang senantiasa bekerja. Ia menceritakan berbagai keajaiban yang terjadi di luar perhitungan manusia, seperti ketersediaan tenda cadangan untuk 15.000 jemaah yang tiba-tiba disediakan di saat-saat kritis, atau dispensasi khusus yang diberikan hanya untuk Indonesia dimana ambulans diperbolehkan melintas di kawasan Mina—sebuah fasilitas yang tidak diberikan kepada negara-negara lain. "Kami menyadari sepenuhnya bahwa tanpa pertolongan Allah, mustahil semua tantangan ini bisa kami atasi dengan baik," ujar Nasaruddin dengan mata berkaca-kaca, menggambarkan betapa perjalanan spiritual ini penuh dengan tanda-tanda kebesaran Ilahi.
Miniatur Padang Mahsyar dan Momentum Taubat Sejati
Arafah, dalam penjelasan mendalam Nasaruddin Umar, bukan sekadar lokasi ritual belaka. Tempat seluas 14 km² ini adalah sebuah ruang suci yang menjadi miniatur Padang Mahsyar sekaligus momentum untuk bertaubat secara hakiki. Secara harfiah, wukuf berarti "berhenti", namun maknanya jauh lebih dalam dari sekadar berhenti secara fisik. Ini adalah momen untuk menengadah ke langit biru yang tak bertepi, mengakui dengan sepenuh hati keterbatasan diri sebagai hamba, dan memohon ampunan dengan penuh penyesalan. "Di sinilah kita diingatkan bahwa kehidupan dunia hanyalah sementara, dan bahwa kita semua akan berdiri di hadapan Allah suatu hari nanti," ucap Nasaruddin dengan suara yang bergetar penuh penghayatan.
Ia menjelaskan lebih lanjut bahwa panas terik Arafah yang mencapai 50 derajat Celsius sebenarnya adalah latihan rohani untuk menghadapi hari akhir. "Jika hari ini kita mengeluh karena panasnya Arafah, bayangkan bagaimana nanti di Padang Mahsyar dimana matahari hanya sejengkal di atas kepala," tuturnya mengingatkan. Nasaruddin menekankan bahwa di Arafah inilah doa-doa diijabah dengan mudah, dan kesalahan-kesalahan diampuni dengan kemurahan Allah. Namun ia juga mengingatkan bahwa wukuf hanyalah tahap awal dari perjalanan spiritual haji. Kesempurnaan haji yang sebenarnya baru akan tercapai ketika jemaah sampai pada tahap "wushul"—sebuah puncak penyatuan diri dengan nilai-nilai ketuhanan dimana seorang hamba benar-benar larut dalam penghambaan yang total.
Dalam konteks spiritual, wushul merujuk pada pencapaian tertinggi dalam hubungan seorang hamba dengan Tuhannya. Kata ini berakar dari "washalah", yang berarti mencapai puncak. Konsep ini bisa diibaratkan seperti seorang pendaki gunung yang tidak berhenti di lereng atau "leher" gunung (yang disebut wukuf), melainkan terus beranjak hingga ke puncak tertinggi. Sama halnya, seorang Muslim didorong untuk tidak hanya sekadar "berdiri di tempat" dalam ibadahnya, tetapi melanjutkan perjalanan spiritualnya hingga mencapai puncak, yaitu wushul.
Ini berarti menyembah Tuhan hingga mencapai esensi dan kedekatan tertinggi. Ketika seseorang sudah berada di puncak, apakah ia masih perlu mendaki lagi? Pepatah sufi menggambarkan ini dengan indah: "Jika air hujan sudah turun ke laut, menyatu dengan air laut, ia bukan lagi air hujan, melainkan sudah menjadi bagian dari laut." Artinya, ketika seseorang telah mencapai tingkat wushul, ia tidak lagi merasa terpisah, melainkan telah menyatu dengan sifat-sifat Allah, menyesuaikan diri dengan akhlak dan karakteristik-Nya. Pada tingkatan ini, ia berada pada puncak spiritual.
Pencapaian wushul diharapkan akan mendorong seseorang untuk menyesuaikan diri dengan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta'ala, meneladani akhlak-Nya. Kita bisa melihat bagaimana akhlak Allah tercermin dalam Asmaul Husna. Sesungguhnya Allah itu Maha Baik (Al−Khayr) dan tidak akan pernah menerima orang yang tidak melakukan kebaikan. Demikian pula, Allah itu Maha Indah (Al−Jamil) dan tidak akan menerima sesuatu yang tidak indah. Realisasi dari sifat Al−Jamil ini harus tercermin dalam setiap perilaku sehari-hari, bahkan dalam hal-hal terkecil.
Apakah sampah kita masih dibuang sembarangan? Mari kita sadari bahwa "Innallaha Jamil", Allah itu Maha Indah, hingga ke hal sekecil-kecilnya. Apakah handuk bekas mandi kita simpan tidak rapi? Ingatlah, Allah mencintai keindahan. Alangkah indahnya jika handuk bekas mandi kita rapikan pada gantungannya, bukan sekadar dilempar. Apakah pakaian kita lemparkan di sembarang tempat, di kasur? Ingatlah pesan-pesan Allah dan Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam: "Innallaha Jamil", Allah itu Maha Indah, dan "Innallaha Thoyyib", Allah mencintai yang baik.
Karena itu, mari kita berubah. Tidak ada artinya kita melakukan haji, atau amalan-amalan lain, jika tidak membawa perubahan dalam diri kita. Jika sebelumnya kita mudah marah, mari kita berusaha menjadi Haji Mabrur dengan mengurangi rasa amarah kita. Jika tadinya kita hanya sabir, mari kita tingkatkan diri menjadi sabur. Apa bedanya? Sabir adalah ketika kita membalas kebaikan dengan kebaikan dan keburukan dengan keburukan (ibaratnya, "air susu dibalas air susu, air tuba dibalas air tuba"). Ada juga Al-Masabir, yaitu membalas kebaikan dengan keburukan ("air susu dibalas air tuba"). Namun, sabur adalah tingkatan yang lebih tinggi, yaitu membalas keburukan dengan kebaikan ("air tuba dibalas air susu"). Ini adalah salah satu Asmaul Husna Allah yang terakhir, As−Sabur. Mari kita naik kelas dari sabir menjadi sabur.
Demikian pula, jika selama ini kita hanya mukhlis, mari kita meningkat menjadi mukhlas. Apa perbedaannya? Mukhlis adalah orang yang masih mengingat kebaikan-kebaikan yang telah ia lakukan. Namun, mukhlas adalah mereka yang sudah melupakan kebaikannya sendiri, karena semuanya telah diserahkan kepada Allah. Mereka merahasiakan semua kebaikan yang mereka lakukan. Mari kita naik kelas lagi, dari syukur menjadi syakur. Jika syukur hanya berarti mensyukuri nikmat Allah, syakur adalah mensyukuri apapun yang datang dari Allah, apakah itu penderitaan, kekecewaan, musibah, atau penyakit. Mereka yang syakur yakin bahwa Allah itu Maha Baik, tidak mungkin mendatangkan sesuatu yang tidak baik; pasti ada hikmah di baliknya. Orang yang mensyukuri semuanya itulah asyakur. Bahkan, asyakur ini lebih tinggi lagi pada puncaknya, yaitu tidak bekerja karena menanti hikmah, melainkan karena sepenuhnya berserah diri. Orang yang masih bekerja karena menanti hikmah masih berada pada derajat syakur, bukan asyakur, karena "sedikit hambaku yang sampai di tingkat syukur, lebih banyak lagi tidak bersyukur." Mari kita meningkatkan diri kita dari ikhlas menjadi mukhlis, dan seterusnya.
Penyelenggaraan haji tahun ini tidak lepas dari kerja sama erat antara pemerintah Indonesia dan Arab Saudi. Selain penyediaan tenda cadangan yang mendadak namun tepat waktu, Pemerintah Saudi menunjukkan perhatian khusus dengan memberikan berbagai kelonggaran bagi jemaah Indonesia. Para jemaah yang terlambat tiba di Arafah karena berbagai kendala teknis tetap mendapatkan pelayanan maksimal, termasuk bantuan perlengkapan ibadah lengkap mulai dari sajadah hingga tempat makanan dan minuman.
Fleksibilitas yang diberikan Saudi Arabia terlihat jelas dalam kebijakan terkait pelaksanaan badal (perwakilan) bagi jemaah yang sakit. Meskipun aturan umum secara ketat melarang tanazul (perpindahan cepat ke Mina), Indonesia mendapatkan pengecualian khusus setelah melalui pembicaraan intensif. "Ini adalah bukti hubungan istimewa antara kedua negara," kata Nasaruddin. Bahkan untuk jemaah yang terbaring di rumah sakit, pemerintah Saudi mengizinkan pelaksanaan wukuf melalui sistem taukil (perwakilan) dengan syarat-syarat tertentu, menunjukkan pemahaman yang mendalam terhadap kondisi khusus jemaah Indonesia.
Dalam khutbahnya yang menyentuh hati, Nasaruddin Umar menekankan bahwa hakikat haji mabrur tidak diukur saat berada di Tanah Suci semata, melainkan pada perubahan sikap dan perilaku setelah kembali ke tanah air. Dengan gaya bahasa yang puitis namun tegas, ia mengajak seluruh jemaah untuk meneladani sifat-sifat Allah dalam Asmaul Husna—seperti kesabaran (ash-shabur), rasa syukur (asy-syakur), dan keikhlasan (al-mukhlas) dalam kehidupan sehari-hari.
"Jika dulu kita mudah terpancing emosi dan marah, kini saatnya belajar menjadi pribadi yang lebih sabar. Jika sebelumnya kita hanya bersyukur saat mendapatkan nikmat dan kesenangan, kini mari latih diri untuk tetap bersyukur bahkan dalam menghadapi cobaan dan kesulitan," pesannya. Nasaruddin menggambarkan proses peningkatan diri ini sebagai tangga spiritual dimana setiap jemaah diajak untuk naik tingkat demi tingkat, dari sekadar sabar menjadi sangat sabar (shabur), dari bersyukur (syakur) menjadi sangat bersyukur, dan dari ikhlas (mukhlish) menjadi benar-benar ikhlas (mukhlash).
Usai melaksanakan wukuf dengan khidmat, perjalanan spiritual jemaah haji Indonesia berlanjut ke Muzdalifah untuk melaksanakan mabit (bermalam), kemudian menuju Mina untuk melontar jumrah. Seluruh tim kesehatan, pembimbing, dan petugas lapangan terus siaga memberikan pendampingan maksimal, terutama kepada jemaah lanjut usia dan mereka yang memiliki kondisi kesehatan khusus. Protokol kesehatan dan keselamatan diterapkan dengan ketat namun tetap manusiawi, menyesuaikan dengan kondisi fisik masing-masing jemaah.
Di tengah segala keterbatasan dan tantangan yang ada, semangat jemaah haji Indonesia tetap menyala-nyala. Ini adalah perjalanan spiritual yang tak hanya membersihkan dosa-dosa masa lalu, tapi juga mengasah ketahanan jiwa dan mental untuk menghadapi kehidupan yang penuh ujian. Momentum haji ini sebagai titik balik perubahan hidup serta transformasi menuju kehidupan yang lebih baik dan berkah. (Riz)