MBG Momentum Edukasi Makan Sehat Bagi Generasi
Oleh: Amalia Irfani, Dosen IAIN Pontianak/Sekretaris LPP PWM Kalbar
MBG masih hangat dibicarakan oleh segenap rakyat Indonesia, tidak hanya karena memunculkan masalah seperti keracunan makanan tetapi juga memicu berbagai patologi sosial. Misalnya kecurangan dalam distribusi, mengutip Kompas.com (1/10/2025), ditemukan setidaknya delapan masalah oleh Ombudsman semenjak program MBG dilaksanakan. Diantaranya distribusi makanan yang belum tertib dan membebani guru disekolah serta sistem pengawasan yang belum terintegrasi, namun masih bersifat reaktif, dan belum sepenuhnya dapat berbasis data.
Dari fakta tentang MBG yang menunai polemik tersebut, refleksi dalam bentuk perbaikan harus serta merta dilakukan, karena persoalan MBG tidak hanya sekedar penilaian rakyat terhadap kinerja pemerintah, tetapi juga penilaian dunia internasional terhadap program khusus di ranah pendidikan Presiden Prabowo dan diluncurkan sejak januari 2025. Silang pendapat memang tidak dapat terelakkan. Keluhan tidak hanya datang dari masyarakat seperti orang tua, guru, tetapi juga dari pemimpin nomor satu yakni Gubernur. Gubernur Kalimantan Barat Ria Norsan dilansir dari detik.com mengaku pusing karena koordinator MBG kebanyakan, ia pun menyoroti keluhan masyarakat ke Pemprov, padahal MBG program pemerintah pusat.
Masalah keracunan menjadi salah satu perhatian besar dan terjadi di seluruh pelosok negeri yang sudah menerima MBG. Pontianak Post misalnya menyoroti jumlah keracunan dalam sepekan terdapat 45 pelajar keracunan (2/10/2025), angka yang terlalu fantastis untuk sebuah program dengan embel-embel perbaikan gizi bagi anak sekolah untuk menghindari stunting. Tidak sedikit siswa yang akhirnya harus dirawat di RS dan tidak dapat menjalani aktifitas belajar karena sakit.
Kondisi demikian sebenarnya, malah menambah kerepotan orang tua, si anak pun tidak hanya kehilangan waktu belajar tetapi juga akan mengurangi stamina tubuh, karena efek keracunan makanan bagi anak bukanlah hal remeh. Tidak sedikit pula orang tua yang kuatir, bingung dan berharap program MBG jika diteruskan harus segera dievaluasi agar tujuan program sesuai dengan harapan.
Refleksi MBG
Terlepas dari banyaknya pro kontra yang berseliweran di jagad maya, MBG sebagai program perbaikan gizi generasi untuk mengentaskan stunting harus sepenuhnya diapresiasi. Namun tentu dengan syarat dan ketentuan berlaku.
Kita boleh belajar dengan bangsa lain yang jauh sebelum MBG dijadikan program unggulan pendidikan, telah lebih dulu menjadikan makan di sekolah sebagai program Pendidikan nasional. Jepang misalnya, menerapkan makan bergizi di sekolah jauh sebelum perang dunia kedua di beberapa sekolah, dan dijadikan program nasional sejak perang dunia kedua. Makan Bergizi Sekolah (Kyuushko) di Jepang dikhususkan untuk tingkat SD, SMP dengan pengelolaan langsung pihak sekolah, dibawah pengawasan ahli gizi untuk menjaga kualitas makanan sesuai dengan usia tumbuh kembang anak.
Aoki Takenonu dari Chiba University, Jepang dalam kegiatan Kuliah Pakar (30/9/2025) yang diadakan oleh Magister Sosiologi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), menjelaskan bagaimana Makan Bergizi Sekolah (MBS) bisa bertahan dari 1889 hingga sekarang. Program MBS ala Jepang sejak diawal kemunculannya bertujuan untuk memberikan makanan sehat dan layak bagi siswa sekolah. Namun seiring waktu berkembang menjadi media edukasi ke murid tentang makanan sehat seimbang untuk menjaga kesehatan tubuh sesuai usia. Para murid juga diajak berkenalan dengan berbagai jenis bahan pangan, apa fungsi dan manfaatnya bagi tubuh hingga bagaimana cara pengelolaannya jika dimasak.
Dalam penjelasannya, Aoki Takenonu juga mengakui begitu banyak masalah yang muncul saat program Kyuushko diterapkan, tetapi bisa diselesaikan, karena program Makan Siang Sekolah dipantau langsung oleh pemerintah dan diawasi komite sekolah. Pemerintah pun lanjutnya juga menjadikan program MBS sebagai edukasi dan sosialisasi ke siswa berbagai makanan sehat dengan menanamkan cinta produk lokal atau produksi makanan lokal.
Aoki Takenonu pun memberikan refleksi saat ditanya bagaimana penilaiannya tentang MBG di Indonesia yang banyak membuat murid sekolah keracunan karena makanan basi. Menurutnya, evaluasi harus terus dilakukan mulai dari persiapan dana memadai, melibatkan langsung ahli gizi agar keracunan tidak terjadi. Juga menjaga pasokan bahan makanan sesuai yang dibutuhkan untuk menghindari pembusukan.