Mendorong Moderasi Media dalam Pemenuhan Hak Keberagamaan

Publish

26 April 2025

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
137
Foto Istimewa

Foto Istimewa

JAKARTA, Suara Muhammadiyah - Moderasi beragama menjadi agenda penting dalam menjaga harmoni sosial, kebhinekaan, dan perdamaian di masyarakat Indonesia yang multikultural dan multireligius. Peraturan Presiden (Perpes) Moderasi Beragama Nomor 58 tahun 2023 bahwa Kementerian Agama (Kemenag) RI menjadi institusi yang menjadi leading sector implementasi moderasi beragama yang dengan berkolaborasi antar lintas sektor, termasuk media.

Sub Direktorat Bina Paham Keagamaan Islam Kemenag, Muhammad Syafaat menyampaikan dalam kepemerintahan Menteri Agama, Prof Nasaruddin Umar bahwa moderasi beragama tidak hilang, namun istilahnya berubah menjadi kerukunan, cinta kemanusiaan, dan ekoteologi.

“Istilah kerukunan di zaman Nasaruddin Umar diganti namanya menjadi beragama maslahat yang dicanangkan menjadi jilid kedua yang bukan lagi berfokus pada isu internal umat beragama, antar agama dengan pemerintah, namun isu yang lebih baru yaitu agama dengan lingkungan, agama dengan kemanusiaan,” ujarnya dalam Acara Webinar Media Gathering pada Jumat (25/4/2025).

Ia mengatakan bahwa pelaksanaan kerukunan berpusat di Pusat Kerukunan Umat Beragama dan Badan Pengembangan Moderasi Beragama dan Sumber Daya Manusia (BMB/BPSDM). “Sebanyak 89% umat di Indonesia ini beragama Islam, konflik paling tinggi setelah pasca-reformasi dari umat Islam yang melibatkan agama atau keyakinan. Di situlah kami bekerja untuk menangani konflik-konflik tersebut,” katanya.’

Syafaat menjelaskan dasar hukum moderasi beragama berawal dari Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) bahwa negara menjamin kemerdekaan setiap penduduknya untuk memeluk agamanya dan beribadat berdasarkan agama dan kepercayaannya masing-masing.

Ia menambahkan bahwa dasar hukum tersebut diperkuat dengan adanya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 83 Tahun 2015 tentang Kementerian Agama, Perpres Nomor 18 Tahun 2020 tentang Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, dan Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 18 Tahun 2020 tentang Restra Kementerian Agama 2020-2024.

“Kemenag tidak memiliki standar, nilai, dan hak untuk mendefinisikan, menafsirkan, menerjemahkan, atau memberikan stempel bahwa agama tertentu benar, agama yang lain salah, agama lain dianggap sejalan dengan negara, agama yang lain tidak, itu negara tidak memiliki hak itu,” tegasnya.

Syafaat menyarankan bahwa sebaiknya dalam pemberitaan tidak menggunakan istilah seperti “sesat” dan “menyimpang” dalam memberitakan keragaman agama yang ada di Indonesia. “Ada berita tentang ada aktivitas keberagamaan masyarakat di Sulawesi, ada masyarakat Muslim mengatakan adanya 11 rukun Islam, maka media menyebar informasi diluar Kemenag bentuknya menyimpang atau sesat. Nah ini tidak mungkin kami (kemenag) keluarkan informasi itu,” ucapnya.

Sebagai contoh, ia menyebutkan kasus konflik keberagaman masyarakat di Pandeglang, Banten bahwa terdapat 15 masyarakat yang melakukan mandi di tempat umum dan viral karena pemberitaan menggunakan istilah yang tidak tepat. “Perlunya rekam media mengkonfirmasi kegiatan yang dilakukan tersebut sehingga tidak langsung menyampaikan bahwa ajaran itu sesat, tapi nyatanya mereka sama juga melakukan shalat lima waktu, puasa, hanya saja toharoh (bersuci) ada perbedaan yang tajam,” katanya.

Syafaat menekankan bahwa dalam penulisan berita terkait moderasi beragama, media perlu merujuk pada Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 332 Tahun 2023 tentang Sistem Deteksi Dini Konflik Sosial Berdimensi Keagamaan terutama pada Bab II Prinsip dan Sumber Konflik Sosial Berdimensi Keagamaan dan Bab III Komponen Sistem Peringatan Dini Konflik Sosial Berdimensi Keagamaan.

“Kalau melihat konflik di Pandeglang, Kemenag akan menyampaikan bahwa 15 masyarakat tadi masuk kedalam konflik paham, sikap, dan perilaku keberagamaan,” ujar Syafaat.

Ia menegaskan bahwa untuk mengkonfirmasi konflik keberagaman yang berada di masyarakat hingga tingkat desa, media dapat menghubungi Pranata Humas Kemenag yang tersebar di Indonesia. Saat ini, terdapat 776 Pranata Humas di Kemenag, Bimas Islam tersebar di 512 Kabupaten/Kota, 5.917 KUA di tingkat kecamatan, dan 45 ribu PAI Nasional.

“Dengan tersebarnya kantor Kemenag, rekan-rekam media dapat lebih mudah mencari Informasi mengenai konflik tentang keberagamaan agama,” katanya.

Sementara itu, Anggota Penyusun Panduan Peliputan Media Toleransi, Alvin Nur Choironi menyampaikan bahwa tugas media adalah menjadi resolusi dan meredamkan konflik sehingga kedamaian toleransi umat beragama di Indonesia terus berjalin. Ia menyampaikan bahwa Informasi dari media digunakan dalam mengambil kebijakan untuk menangani konflik. “Maka media punya peran penting untuk mencegah kerusuhan dan kerugian itu terjadi,” katanya.

Alvin menyampaikan dalam konflik yang berkaitan dengan isu moderasi beragama, media perlu menghindari bias Informasi dan menjaga agar pemberitaan tidak memicu kebencian terhadap kelompok tertentu. Hal ini penting karena tujuan dari jurnalisme advokasi adalah mendorong kebijakan pemerintah untuk melindungi korban.

“Media itu jangan mengambil informasi dari akun yang tidak jelas, justru menggali informasi lebih detail di lapangan dan menjadikan korban sebagai narasumber utama, sehingga pihak berwenang dapat mengungkapkan kebijakan yang sesuai,” ujarnya.

“Sehingga konflik ini tidak jadi viral, tidak meluas kemana-mana, dan bisa diselesaikan dengan baik, di sini peran media untuk meredam konflik beragama,” sambungnya.

Alvin mencontohkan salah satu konflik yang pernah terjadi yaitu, kritik dari umat non-Muslim terhadap suara toa Masjid di daerah Sumatera. Menurutnya, media memiliki peran penting dalam meredam konflik tersebut.

“Itu kan panjang konfliknya, harusnya media itu membuat konfliknya semakin menurun. Itu kan sebenarnya konflik antar tetangga, isunya semakin naik karena Miliana sebagai non-Muslim dan toa sebagai bentuk syiar Muslim, kemudian dibawa kemana-mana karena media tidak meredam konflik itu,” katanya.

Ia menekankan bahwa dalam menulis suatu pemberitaan, media harus mendapatkan informasi dari korban, pelaku, saksi mata, pihak berwenang, dan pengamat. Selain itu, penting juga untuk melindungi narasumber, terutama dari kelompok rentan. “Korban harus menjadi narasumber utama, ini penting. Kita perlu melihat perspektif korban, melihat sebelum konflik itu terjadi, sebelum kelompok itu terjadi, jangan sampai karena sulit mencari korban, dan tokoh agama setempat sudah mengumumkan langsung menjadi narasumber utama tanpa mengecek kembali konflik terjadi,” ungkap Alvin.

Alvin mengatakan ketika mencari informasi langsung kelapangan, perlu memiliki perspektif HAM, keberagaman, dan menguasai konteks lokal. “Jangan sampai ketika ke lapangan, langsung aja warga diwawancarai tanpa melihat latar belakangnya, orangnya seperti apa, daerah setempatnya seperti apa, wartawan harus informasi ini,” ucapnya.

Ia menyampaikan bahwa media perlu menghindari enam aspek, yaitu (1) tidak memahami agama dan tafsir kelompok yang diliput; (2) melibatkan tafsir dan kepercayaan pribadi; (3) melakukan stereotyping dan melibatkan prasangka; (4) menampilkan judul dan diksi provokatif mengandung SARA dalam penulisan berita; (5) motivasi misi/dakwah/penyebaran agama; dan (6) tidak sensitif terhadap istilah dan simbol agama.

“Jangan sampai satu kata yang ada di berita menjadi landasan kelompok tertentu untuk mengintimidasi, memberikan ancaman, melakukan kekerasan terhadap kelompok yang lain,” ujar Redaktur Islami.co.

Alvin menyampaikan perlunya melindungi diri saat mencari informasi langsung kelapangan diantaranya menjaga dari kekerasan, terdapat jaminan kesehatan, kondisi fisik sehat dan siap, memahami budaya lokal, mempersiapkan akomodasi, dan kewaspadaan terhadap ancaman digital.

Senada, Aktivis Inklusi Sosial, Abi Setio Nugroho menyampaikan bahwa masyarakat sipil memiliki fungsi sebagai penyeimbang negara dan penyambung kelompok rentan serta berperan sebagai agen transformasi sosial dan politik dalam konteks kebebasan Beragama dan berkeyakinan (KBB). “Dalam isu kebebasan beragama, masyarakat sipil menjadi intermediary antara masyarakat korban intoleransi dan pengambil kebijakan,” ucapnya.

Ia menyampaikan bahwa fenomena konflik antara moderasi dan realitas intoleransi yang tercantum dalam Perpres Nomor 58 Tahun 2023 dan PJMP masih terdapat ketimpangan antara dokumen kebijakan dan realitas. “Kita contohkan pada kasus GKI Yasmin, Gereja di Cilegon, dan Ahmadiyah di Kuningan Sukabumi, Lombok, dan Sintang ini menunjukkan kegagalan negara dalam menjamin hak beragama, yang kemudian diangkat oleh media dan masyarakat sipil,” katanya.

Abi menyampaikan perlu peran strategis dari media dan masyarakat sipil diantaranya Majelis Ulama Indonesia (MUI), Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Wahid Foundation, dan Gusdurian Networking yang aktif memproduksi narasi tanding dan konten digital bernuansa toleransi.

“AJI dan LBH Pers telah mencatat bahwa peliputan yang tidak sensitif kerap memperburuk stigmatisasi terhadap minoritas agama, dan laporan dari SETARA Institute tahun 2023 terdapat 180 pelanggaran KBB dan 61 persen diangkat pertama kali oleh media,” ungkapnya.

Ia menyampaikan terdapat studi dalam pemberitaan keberagaman, diantaranya riset dari Centre for Innovation Policy and Governance (CIPG) dan Google tahun 2020 dengan topik “Memahami Dunia Digital” menemukan bahwa konten toleransi lebih banyak dikonsumsi, tapi kalah cepat dari konten kebencian dalam algoritma.

“Pelenitian dari Paramadina, YLBHI, ICRS, dan CRCS UGM, The Asia Foundation, dan Oslo Coalition for Freedom of Religion of Belief pada tahun 2022 dengan judul Refleksi Advokasi yang menyoroti lemahnya kapasitas jurnalis memahami isu KBB, sehingga seringkali bias dalam peliputan,” ujar Abi.

Ia menyampaikan tantangan yang dihadapi media yaitu fragmentasi narasi media yang berbeda-beda dalam memaknai isu agama, ancaman jurnalis melalui digital, dan lemahnya perlindungan hukum terhadap pelanggaran hak minoritas agama sebagai narasumber. “Undang-Undang Pers belum cukup melindungi jurnalis dari ancaman ketika mengangkat isu sensitif keagamaan, minimnya pendanaan dari media dan godaan mengejar traffic untuk memperbanyak pengunjung,” katanya.

Abi menyarankan bahwa perlunya penguatan kapasitas media melalui pelatihan jurnalis tentang peliputan berbasis HAM dan pluralisme, serta penyusunan panduan liputan sensitif terhadap isu keagamaan. “Advokasi kebijakan perlu merevisi kebijakan penyiaran agar sensitif pada KBB, dan mendorong pemerintah daerah menyusun acuan penanganan intoleransi berbasis pelaporan media dan masyarakat sipil,” katanya.

“Perlu juga koalisi media dan masyarakat sipil, dan platform kerja yang kolaboratif untuk membangun media yang menayangkan konten lintas agama, suku, gender, dan keyakinan,” lanjutnya. (n)

 


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Berita

BREBES, Suara Muhammadiyah - MI Muhammadiyah Al Mujahidin Kluwut (MIM MUJAKU) sukses menggelar rangk....

Suara Muhammadiyah

23 March 2025

Berita

MEDAN, Suara Muhammadiyah  –  SD Muhammadiyah 3 Tanjung Sari, Medan, menggelar kegia....

Suara Muhammadiyah

7 March 2024

Berita

BANTUL, Suara Muhammadiyah - Pasca Rapat Kerja PRM Tamantirto Utara beberapa waktu yang lalu, langsu....

Suara Muhammadiyah

28 September 2023

Berita

KARANGANYAR, Suara Muhammadiyah- Ketua PP Muhammadiyah Bidang Sosial dan Kesehatan Agus Taufiqurahma....

Suara Muhammadiyah

17 September 2024

Berita

BANJARMASIN, Suara Muhammadiyah – Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Muhammad Saad Ibrahim meng....

Suara Muhammadiyah

2 January 2025

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah