Mengurai Kemuliaan Ibu dari Ayat-Ayat Penciptaan

Publish

13 December 2025

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
99
Foto Ilustrasi

Foto Ilustrasi

Mengurai Kemuliaan Ibu dari Ayat-Ayat Penciptaan

Oleh: Wakhidah Noor Agustina, S.Si., Sekretaris Majelis Ekonomi dan Ketenagakerjaan PDA Kudus dan Guru Biologi SMA Negeri 2 Kudus

Perayaan Hari Ibu sering kali menyoroti curahan kasih sayang, waktu, dan bimbingan yang kita terima setelah kita dilahirkan. Padahal, kehormatan luar biasa seorang ibu dalam Islam berlandaskan pada dimensi spiritual dan fundamental, yaitu proses pembentukan manusia itu sendiri. Allah SWT menegaskan dalam Surah Al-Mu'minun ayat 13, "Kemudian Kami menjadikannya air mani (nutfah) di dalam tempat yang kokoh (qarārim makīn)." Ayat yang ringkas namun mendalam ini memperkenalkan istilah Al-Qur'an القرَار المَكِين (al-qarārim makīn), merujuk pada rahim ibu.

Rahim adalah lebih dari sekadar organ biologis; ia adalah sistem perlindungan sempurna dan amanah suci yang dianugerahkan oleh Allah kepada wanita. Di dalam "tempat yang kokoh" inilah, kehidupan yang paling rentan—setetes nutfah—dijaga dan dikembangkan, aman dari segala bahaya. Sejak detik awal penciptaan, ibu telah memegang peran sebagai pelindung utama eksistensi manusia, membuktikan bahwa kedudukannya jauh melampaui seremoni duniawi. Dari sinilah, kewajiban bakti kepada orang tua (birrul walidain) seorang anak, khususnya kepada ibunya, dimulai dalam syariat Islam.

Jika القرَار المَكِين melambangkan perlindungan, maka Surah Luqman ayat 14 mengungkapkan biaya dari perlindungan tersebut: "Dan Kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada kedua orang tuanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah (wahnan 'alā wahnin)..." Frasa وَهْنًا عَلَىٰ وَهْنٍ (wahnan 'alā wahnin)—kelemahan yang berkelanjutan—adalah deskripsi yang sangat puitis dan akurat mengenai perjuangan biologis ibu selama masa kehamilan. Sejalan dengan tahapan pembentukan janin yang dijelaskan dalam Al-Qur'an (mulai dari nutfah, 'alaqah, hingga muḍghah), beban fisik dan biologis yang ditanggung ibu terus meningkat secara drastis.

Kesulitan ini melampaui rasa lelah biasa; ia mencakup penipisan nutrisi, perubahan hormonal ekstrem, dan tekanan pada fisik ibu, seperti tulang punggung. Melalui frasa ini, Allah SWT secara jelas menjustifikasi mengapa perintah berbakti, terutama kepada ibu, berada di posisi tertinggi dalam tatanan syariat. Perjuangan fisik yang berlipat ganda ini, yang puncaknya adalah risiko nyawa saat melahirkan, menjadi alasan utama mengapa Rasulullah SAW, dalam hadisnya, menganugerahkan hak bakti tiga kali lipat kepada ibu sebelum ayah—sebuah pengakuan abadi atas jasa beliau sejak awal mula keberadaan kita.

Surah Al-Ahqaf ayat 15 semakin memperkuat alasan prioritas ibu dengan merincikan pengorbanan yang harus ditanggungnya: "...Ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan." Ayat ini secara eksplisit mengidentifikasi tiga periode krusial yang menuntut kesulitan (kurhan) dan durasi waktu yang panjang: mengandung, melahirkan, dan menyusui/menyapih (minimal 30 bulan). Tiga pengorbanan utama ini—yang semuanya melibatkan tekanan fisik dan emosional yang besar—merupakan landasan syar'i dan logis bagi hadis terkenal dari Abu Hurairah.

Dalam hadis tersebut, ketika ditanya tentang orang yang paling berhak diperlakukan baik, Nabi SAW menjawab "Ibumu" sebanyak tiga kali, baru kemudian menyebut ayah. Prioritas tiga kali lipat ini merupakan pengakuan Ilahi terhadap peran ibu dalam melestarikan eksistensi manusia, mulai dari fase penciptaan (qarārim makīn) hingga fase pertumbuhan awal. Oleh karena itu, bakti yang ditunjukkan seorang anak adalah wujud rasa syukur yang diwajibkan, meskipun tidak akan pernah sebanding dengan setiap tetes perjuangan yang telah dicurahkan ibu.

Setelah merenungkan keajaiban qarārim makīn dan pengorbanan wahnan 'alā wahnin dan kurhan dalam pengasuhan awal, kewajiban kita disimpulkan dalam sebuah wasiat abadi pada bagian akhir Surah Luqman ayat 14: "(wasiat Kami): Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu. Hanya kepada-Ku lah tempat kembalimu." Ayat penutup ini secara mutlak menempatkan kewajiban berbakti kepada ibu—yang berkorban sejak proses penciptaan—sejajar dengan kewajiban bersyukur kepada Allah sebagai Sang Khalik.

Ini mengukuhkan bahwa memuliakan ibu bukanlah sekadar budaya atau etika sosial semata, melainkan merupakan tuntutan keimanan dan bentuk nyata syukur atas kehidupan yang diamanahkan melalui rahimnya. Ketika kita berbakti kepada ibu, kita tengah melaksanakan salah satu bentuk syukur tertinggi kepada Allah SWT, mengingat kepada-Nya lah kita akan kembali untuk mempertanggungjawabkan seberapa baik kita mengamalkan wasiat suci ini.


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Ikhtiar Awal Menuju Keluarga Sakinah (12) Oleh: Mohammad Fakhrudin dan Iyus Herdiana Saputra Di da....

Suara Muhammadiyah

23 November 2023

Wawasan

Muhammadiyah Minangkabau: Satu Abad Refleksi dan Arah Masa Depan Oleh: Riki Saputra, Rektor Univers....

Suara Muhammadiyah

27 November 2025

Wawasan

Oleh: Pradana Boy ZTF, Dosen Fakultas Agama Islam, Universitas Muhammadiyah Malang. Malam itu saya ....

Suara Muhammadiyah

22 May 2025

Wawasan

Oleh Bahrus Surur-IyunkKetua Pimda 225 Tapak Suci Sumenep Madura  Hari itu, datang surat berbe....

Suara Muhammadiyah

21 August 2024

Wawasan

Hari Pelajar Internasional: Menumbuhkan Kemandirian Ekonomi Berlandaskan Nilai Islam Oleh : Tutut D....

Suara Muhammadiyah

17 November 2025