Menulis Babad Sejarah Desa
Oleh: Rimini Zulfikar, Penasehat PRM Troketon Pedan, Klaten
"Sebuah peradaban yang dihasilkan dari akal budi manusia akan mempunyai nilai sejarah yang tinggi. Maka sebagai bentuk rasa tanggung jawab, diperlukan penulisan sejarah secara objektif."
Kita mungkin tidak asing mendengar ungkapan seperti Babad Tanah Leluhur (film), Babad Jawa, Babad Mataram Kuno, dan lain sebagainya.
Pengertian babad dalam beberapa literatur diungkapkan sebagai hasil sastra klasik yang menceritakan sejarah, mitos, legenda, dan budaya dalam sebuah wilayah atau kerajaan.
Suatu ketika, Mbah Nini berbincang santai bersama rekannya. Dari obrolan itu, muncul keinginan untuk menulis babad atau sejarah asal-usul sebuah kampung.
Beberapa pekan yang lalu, penulis (Mbah Nini) mendapat pertanyaan dari seseorang bernama Nur Muhammad Mustafa. Ia bertanya,
"Jika Panjenengan itu putra asli daerah (pribumi), berarti tahu babad atau sejarah desa ini, Mas?"
Lalu penulis menjawab, "Ya, tahu, tinggal dari versi yang mana, Pak. Karena sejarah Desa Troketon ini ada beberapa versi."
Versi pertama: Nama Troketon diambil dari seorang tokoh bernama Trokecu, yang konotasinya adalah seorang begal (tokoh yang kurang baik).
Versi kedua: Jika dirunut dari peninggalan situs Sumur Pakubuwana di dekat TPA Troketon, ada hubungannya dengan Kraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Kala itu, PB II berkuasa dan selama masa pemerintahannya, sang raja membangun pesanggrahan (tempat peristirahatan) untuk kunjungan kerja ke daerah. Saat ini, tinggal situs-situs itu yang tersisa. Demikian penjelasan Mbah Nini.
Beberapa tahun yang lalu, tepatnya medio 2017–2018, penulis menulis sebuah babad cerita kampung Keron dengan judul "Pesan untuk Para Pejabat yang Berwenang". Tulisan itu dimuat di media online Peduli Klaten, mengangkat akar sejarah sebuah kampung/dukuh, yaitu Dukuh Keron.
Lalu pada tahun 2022–2023, penulis menulis sejarah Desa Troketon dengan judul "Batara Katong Menjadi Troketon", bersama 18 penulis se-Kabupaten Klaten. Naskah itu dibukukan. Meskipun masing-masing penulis mengangkat cerita dan tema berbeda, semua tetap berkaitan dengan kehidupan desa.
Sebelumnya, pada Desember 2022, penulis juga menulis Jejak Sejarah Muhammadiyah Troketon.
Sebuah pengalaman yang sangat berharga, karena dari situ penulis dapat mengenali babad atau sejarah asal-usul dukuh/desa serta menelusuri jejak sejarah organisasi dakwah seperti Muhammadiyah di tingkat akar rumput.
Babad adalah cerita tentang perjalanan sejarah di masa lampau.
Seperti halnya akhir-akhir ini, pemerintah melalui Kementerian Kebudayaan memiliki gawe besar, yaitu ingin menulis ulang sejarah Indonesia—mulai dari pra-kemerdekaan, kemerdekaan, hingga pasca-kemerdekaan (Orde Lama, Orde Baru, Reformasi).
Tantangan dan Peluang dalam Menulis Babad
Ketika penulis (Mbah Nini) mencoba menulis sebuah babad (sejarah) suatu kampung atau desa, ada tantangan besar, yaitu mengatur waktu untuk melakukan wawancara dengan narasumber yang kompeten, mempersiapkan poin-poin yang berkaitan dengan bahan sejarah.
Tantangan ini justru menjadi semangat tersendiri dalam proses penulisan cerita sejarah.
Suatu pengalaman: ketika menulis asal-usul Kampung Keron, penulis harus menahan kantuk saat menggali informasi melalui tutur lisan dari sesepuh—Pak Abdul Basar, Pak Rabinik, dan Pak Sahlan—hingga pukul 02.00 WIB. Penulis juga harus mencatat dengan tulisan tangan, kemudian mencari sumber-sumber lain untuk menambah informasi primer, bahkan menyalinnya larut malam.
Selain itu, tantangan lain adalah harus mengunjungi makam atau situs sebagai objek tulisan. Ketika menulis babad Troketon, penulis mengunjungi situs seperti Sumur Pakubuwono, Batu Pendawa Lima, Makam Trokecu, Makam Ki Barat Ketiga, dan Makam Mbah Demang.
Wawancara juga dilakukan dengan keturunan pelaku sejarah, seperti keluarga Mbah Demang dan tokoh masyarakat yang pernah menjabat Kepala Desa Troketon, seperti almarhum Pak Paiman.
Saat menulis Jejak Sejarah Muhammadiyah Troketon, wawancara dilakukan kepada tokoh atau sesepuh seperti Pak Abdul Basar dan lainnya, yang menjadi pelaku sejarah maupun keluarga dari para tokoh Muhammadiyah.
Di balik berbagai tantangan itu, muncul dorongan untuk mengeksplorasi nilai-nilai peradaban manusia. Penulisan babad juga memberikan dampak positif, seperti menyelamatkan warisan sejarah dan memperkuat literasi. Hasil tulisan bisa menjadi kekayaan intelektual penulis, terutama jika dipublikasikan, baik melalui media cetak maupun daring.
Seperti yang dialami penulis ketika tulisan Jejak Sejarah Muhammadiyah Troketon dipublikasikan di Suara Muhammadiyah Online. Prosesnya panjang, sekitar enam bulan.
Meskipun penulis tidak memiliki latar belakang jurnalistik, dengan modal nekat dan tekad, proses itu menjadi peluang untuk mengembangkan potensi terpendam, serta menjadi bentuk ikhtiar mendokumentasikan sejarah, baik asal-usul kampung maupun organisasi.
Ke depan, generasi penerus akan memiliki referensi dan pemahaman yang utuh. Jika abad-abad lalu saja bisa dilacak, maka saat ini, dengan dukungan teknologi dan dokumentasi, lebih memungkinkan.
Penulisan ini juga menjadi wasilah untuk memberikan kontribusi nyata kepada lingkungan dan persyarikatan.
Sebagai bentuk kontribusi kepada desa, pada tahun 2024, buku yang berisi cerita tentang Troketon telah diserahkan dan diterima langsung oleh Kepala Desa yang menjabat saat ini.