Menyigi Dinamika Penamaan Anggota Muhammadiyah Jawa Lewat Pendekatan Onomastik

Publish

3 June 2025

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
61
Foto Istimewa

Foto Istimewa

YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah - Pusat Pendidikan dan Pelatihan (Pusdiklat) Tabligh Institute Muhammadiyah menggelar seminar hasil riset bertajuk “The Waves of Modernist Javanese Muslims: An Onomastic Approach to the Dynamics of Muhammadiyah Members in Java” atau “Gelombang Muslim Jawa Modernis: Pendekatan Onomastik terhadap Dinamika Anggota Muhammadiyah di Jawa”, pada Senin (2/6).

Riset ini disampaikan oleh Dr Askuri, MSi, dan Fathurrahman Kamal, Lc, MSI, serta dibahas secara kritis oleh Dr Mu’arif, sejarawan Muhammadiyah sekaligus Redaktur Eksekutif Suara Muhammadiyah.

Askuri memaparkan bahwa selama lima bulan terakhir, tim riset dari MyPoliceTablet melakukan kajian mendalam terhadap dinamika penamaan anggota Muhammadiyah di wilayah Jawa, bukan semata-mata sebagai pulau geografis, melainkan entitas kultural yang unik. Riset ini mencoba mengungkap jejak identitas kultural dan religius warga Muhammadiyah melalui pendekatan onomastik, yakni kajian ilmiah terhadap nama.

Riset ini dilatarbelakangi oleh polemik seputar survei dari lembaga Denny JA menjelang Pemilu 2024 yang menyebutkan penurunan jumlah pengikut Muhammadiyah dari 9,4% menjadi 5,7% dalam 18 tahun terakhir. "Hasil survei tersebut tidak sepenuhnya akurat karena tidak memperhitungkan kompleksitas spektrum afiliasi Muhammadiyah yang mencakup kader, anggota inti (pemilik KTA/NPM), warga, dan simpatisan. Penggunaan jumlah peserta shalat Id sebagai tolok ukur keanggotaan dianggap tidak mewakili realitas," katanya.

Askuri melanjutkan, dalam riset terhadap 312.546 nama anggota Muhammadiyah di wilayah Jawa (kecuali Madura), ditemukan lima kategori besar dalam pola penamaan, yaitu Lower Class yang merupakan nama khas rakyat jelata, bersifat lokal dan sederhana; Lower Class Arabic yang merupakan nama Arab yang diserap dalam bahasa Jawa, seperti “Amat”, “Kemat”; High Class (Priyayi) yaitu nama aristokrat khas kalangan terdidik atau birokrat; Arabic-Javanese Hybrid yaitu kombinasi unsur Arab dan Jawa; serta Super Hybrid yang merupakan campuran tiga unsur atau lebih: Arab, Barat, dan lokal.

"Statistik menunjukkan bahwa pada dekade 1940-an, sekitar 85% nama anggota Muhammadiyah bercorak Arab. Dekade 1970-an mencatat lonjakan nama hybrid Arab-Jawa, sementara era 2000-an ditandai oleh maraknya nama super hybrid seperti Yasmin Almira Brindia Siva," terangnya.

Riset juga memetakan dinamika penamaan dalam tiga gelombang keanggotaan Muhammadiyah di Jawa, yakni Gelombang I pada 1970-an yang didominasi nama hybrid Arab-Jawa sebagai bentuk rekonsiliasi pasca 1965, Gelombang II pada 1980-an yang ditandai dengan maraknya nama khas kelas bawah seiring ekspansi dakwah ke wilayah abangan, serta Gelombang III pada 2000-an yang memperlihatkan munculnya nama super hybrid akibat birokrasi modern dan pengaruh globalisasi.

"Penelitian ini juga mengungkapkan varian subkultur penamaan berdasarkan wilayah, antara lain Nagarikum (Yogyakarta, Solo) dan Mataram Wetan (Jawa Timur Selatan) yang dominan dengan nama Arab, Banyumasan dan Pasisiran yang kuat dengan pengaruh priyayi, serta Sabrangwetan (Tapal Kuda) yang minim pengaruh abangan maupun priyayi.," bebernya.

Mu’arif sebagai pembahas menyampaikan bahwa nama bukan sekadar identitas, melainkan juga representasi kelas sosial dan kosmologi berpikir masyarakat. Ia mencontohkan penggunaan nama seperti “Selamat” sebagai bentuk harapan keselamatan atau “Buang” agar terhindar dari bahaya.

Menurutnya, tradisi pemberian dan penggantian nama di masyarakat Muhammadiyah sangat beragam. Contohnya, nama “Gustur” yang terkesan merujuk pada Gus Dur, padahal hanyalah hasil dari penyingkatan nama “Agus Turmudi”. Di sisi lain, banyak tokoh Muhammadiyah berperan besar meskipun memiliki nama khas Jawa, seperti Kasman Singodimedjo, Suktiman Wirjosandjojo, dan Kartosudarmu.

“Nama tidak akan berarti apa-apa jika tidak disertai dengan kiprah nyata. Sebaliknya, banyak tokoh dengan nama yang sangat Jawa justru berada di garda depan gerakan Muhammadiyah,” ujar Mu’arif.

Riset ini juga menyinggung dampak kebijakan politik kolonial dan Jepang terhadap struktur Muhammadiyah, termasuk kebijakan Staat van Oorlog pada 1941 yang menyebabkan pembagian organisasi ke dalam tiga wilayah besar (Daeratul Kubro): Jawa–Madura, Sumatra, dan Kalimantan–Sulawesi. Struktur ini menyesuaikan dengan sistem wilayah operasi militer Jepang untuk menghindari kecurigaan terhadap Muhammadiyah sebagai kekuatan terorganisir.

Seminar ini menegaskan pentingnya kajian multidisipliner, termasuk linguistik dan sejarah, dalam membaca dinamika sosial keagamaan Muhammadiyah. Identitas dalam Muhammadiyah tidak bersifat esensialis, tetapi terus berkembang seiring gelombang sosial, politik, dan budaya yang melanda masyarakat Jawa. (n)


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Berita

 BANDARLAMPUNG, Suara Muhammadiyah - Pimpinan Wilayah  Pemuda Muhammadiyah (PWPM) Lampung ....

Suara Muhammadiyah

31 January 2024

Berita

JAKARTA, Suara Muhammadiyah - Peryarikatan Muhammadiyah di lingkungan Pimpinan Cabang Muhammadiyah D....

Suara Muhammadiyah

29 January 2024

Berita

MEDAN, Suara Muhammadiyah -  Ketua Umum Pimpinan Pusat 'Aisyiyah Dr. Salmah Orbayinah M.Apt men....

Suara Muhammadiyah

22 December 2024

Berita

GOWA, Suara Muhammadiyah – Pondok Pesantren (Ponpes) Darul Fallaah Unismuh Makassar di Bissolo....

Suara Muhammadiyah

27 January 2025

Berita

GORONTALO, Suara Muhammadiyah - Dalam menjalankan misi UMGO Peduli pada korban banjir di Provinsi Go....

Suara Muhammadiyah

12 July 2024

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah