Muhammadiyah, Buruh, dan Jalan Ketiga Ekonomi Umat
Oleh: Amir Hady, Sekretaris PWM Kaltim
Tanggal 1 Mei, dunia memperingati Hari Buruh Internasional atau May Day. Di Indonesia, peringatan ini bukan sekadar seremoni tahunan, melainkan momen reflektif atas kondisi riil pekerja dan angkatan kerja kita. Dalam konteks ini, pernyataan Ketua PWM Jawa Tengah, Dr. KH. Tafsir, MA., dalam suatu kesempatan menyampaikan bahwa Muhammadiyah kini ditantang untuk memberi solusi terhadap peluang berusaha dan ketenagakerjaan, menjadi sangat penting untuk dikaji lebih dalam.
Pernyataan tersebut bukan sekadar respons atas situasi kekinian, melainkan seruan tajdid terhadap cara pandang gerakan Islam dalam menghadapi realitas ekonomi umat. Sebab, pengangguran, pekerja informal tanpa jaminan, dan keterbatasan akses modal menjadi problem nyata yang menggerus daya hidup masyarakat.
Dari Dakwah Kultural Menuju Dakwah Ekonomi
Muhammadiyah selama ini dikenal tangguh dalam membangun amal usaha di bidang pendidikan, kesehatan, dan sosial. Namun dalam bidang ekonomi, peran Muhammadiyah belum sekuat di sektor lainnya. Padahal, kemiskinan dan pengangguran bukan hanya masalah teknis ekonomi, tapi juga tantangan dakwah.
Dalam konteks dakwah bil hal, upaya menciptakan lapangan kerja dan membina jiwa wirausaha sejatinya adalah bagian dari pembebasan umat. Dakwah bukan hanya mengajak ke masjid, tetapi juga mengajak ke lumbung, ke pasar, ke bengkel, ke kebun, ke dunia nyata kehidupan umat. Di sinilah perlunya Muhammadiyah membangun wajah baru dakwah ekonomi—yang memuliakan kerja, membangun kemandirian, dan menjadikan warga Muhammadiyah bukan sekadar pencari kerja, tetapi pencipta kerja.
Dalam realitas hari ini, kaum buruh dan pekerja kecil sering kali terjepit antara kepentingan modal besar dan lemahnya perlindungan negara. Muhammadiyah dapat hadir sebagai jalan ketiga—mengembangkan ekosistem ekonomi umat berbasis solidaritas, keadilan, dan kemandirian.
Ini bukan mimpi kosong. Muhammadiyah memiliki modal sosial dan institusional: ribuan masjid, sekolah, kampus, BTM, koperasi, serta komunitas yang militan dan loyal. Aset-aset ini jika disinergikan, akan menjadi sumber daya strategis dalam menciptakan peluang kerja: dari pelatihan keterampilan, pemberdayaan UMKM, pengembangan pertanian terpadu, hingga inkubasi bisnis berbasis pesantren dan komunitas.
PWM misalnya, dapat memulai dengan membangun Pusat Dakwah Ekonomi Muhammadiyah —menjadi ruang kolaborasi antara ulama, cendekiawan, pengusaha, dan generasi muda untuk menciptakan lapangan kerja baru. Tentu dengan semangat keikhlasan, profesionalisme, dan kebermanfaatan untuk umat.
Di banyak daerah, permasalahan ketenagakerjaan memiliki wajah lokal: petani yang kekurangan lahan, buruh tambang yang tidak punya jaminan, pemuda desa yang menganggur, ibu rumah tangga yang tidak punya penghasilan tetap. Di sinilah Muhammadiyah perlu membumikan gerakan ekonomi yang sesuai karakter lokal.
Di desa bisa dikembangkan koperasi tani dan pasar syariah. Di kota bisa dikembangkan inkubasi digital dan bisnis halal. Di kampus bisa dibangun unit usaha mahasiswa yang produktif. Dan di pesantren, bisa dikembangkan ekonomi kreatif berbasis keterampilan santri.
Hari Buruh bukan hanya saatnya membela nasib buruh, tetapi juga saatnya memikirkan akar dari ketimpangan itu. Muhammadiyah bisa menjadi pelopor gerakan ekonomi umat yang menjawab masalah dari akarnya: memperkuat mental kewirausahaan, menyediakan pendampingan usaha, dan menghadirkan sistem ekonomi alternatif berbasis nilai Islam yang membebaskan dan memberdayakan.
Dengan cara ini, kita tidak hanya memperingati Hari Buruh, tapi juga menghadirkan hari-hari penuh berkah bagi para pekerja, pengusaha kecil, dan seluruh lapisan masyarakat. Muhammadiyah bukan sekadar gerakan amal, tapi juga gerakan kerja—yang melahirkan solusi, bukan sekadar simpati.
Selamat Hari Buruh 1 Mei 2025. Muhammadiyah untuk buruh, umat, dan kemajuan bangsa.