Percaya Diri

Publish

6 May 2025

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
182
Foto Istimewa

Foto Istimewa

Oleh: Suko Wahyudi, PRM Timuran Yogyakarta

Percaya diri adalah sikap fundamental yang seharusnya melekat dalam diri setiap Muslim. Namun, kepercayaan diri dalam perspektif Islam tidak bersumber dari ego atau superioritas personal. Ia tidak muncul dari perasaan lebih unggul dari sesama, melainkan berakar dari kesadaran mendalam bahwa dirinya berada di atas jalan kebenaran yang ditegakkan oleh langit dan bumi atas izin Allah SwT.

Islam tidak sekadar mengajarkan konsep diri yang positif, tetapi juga menyandarkan harga diri manusia pada relasi vertikalnya dengan Tuhan. Dalam hal ini, kepercayaan diri bukan hanya persoalan mental, melainkan cerminan dari tauhid dan keimanan. Ia tumbuh seiring dengan kekuatan hubungan spiritual seorang hamba dengan Rabb-nya.

Dari Abu Hurairah RA, ia berkata bahwa Nabi SaW bersabda, “Allah Ta’ala berfirman: Aku sesuai persangkaan hamba-Ku. Aku bersamanya ketika ia mengingat-Ku. Jika ia mengingat-Ku saat bersendirian, Aku akan mengingatnya dalam diri-Ku. Jika ia mengingat-Ku di suatu kumpulan, Aku akan mengingatnya di kumpulan yang lebih baik daripada pada itu (kumpulan malaikat).” (HR. Bukhari-Muslim).

Seorang Muslim yang memiliki keyakinan teguh akan selalu merasa tenang dan percaya diri karena menyadari bahwa Allah senantiasa membersamai langkahnya. Keyakinan ini menjadi daya dorong yang luar biasa dalam menjalani hidup, sekalipun kehidupan dipenuhi dengan tantangan dan ketidakpastian.

“Dan jika hambaKu senantiasa mendekatkan diri kepadaKu dengan ibadah-ibadah tambahan (nawafil/nafilah), maka Aku pasti mencintainya. Jika Aku telah mencintainya maka Akulah pendengarannya yang dengannya dia mendengar, (Akulah) penglihatannya yang dengannya dia melihat, (Akulah) tangannya yang dengannya dia memegang, dan (Akulah) kakinya yang dengannya dia berjalan, Jika dia meminta Aku kabulkan dan jika dia memohon perlindungan Aku pasti melindunginya”. (HR. Bukhari)

Kepercayaan diri sejati tumbuh dari pemahaman bahwa Allah adalah penolong, pelindung, dan pembela bagi hamba-Nya yang beriman. Maka menjadi kewajiban bagi setiap mukmin untuk meyakini bahwa dirinya sedang menapaki jalan yang diridhai oleh Allah, sebuah jalan yang luhur, mulia, dan penuh berkah.

Allah pelindung orang yang beriman. Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya (iman). Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya adalah setan, yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan. Mereka adalah penghuni neraka. Mereka kekal di dalamnya. (Al-Baqarah [2]: 257)

Tanpa ketundukan kepada nilai-nilai ilahiah, manusia akan kehilangan pondasi harga diri yang kokoh. Umar bin Khathab pernah menegaskan identitas keimanan yang tak tergantikan: "Kami adalah kaum yang dimuliakan oleh Allah dengan Islam. Barang siapa mencari kemuliaan di luar Islam, niscaya Allah akan menghinakannya." Kalimat ini adalah pernyataan filosofis sekaligus deklarasi iman tentang sumber hakiki dari kehormatan manusia.

Sikap percaya diri yang dilandasi iman ini tidak hanya bersifat teoritis, tetapi tercermin nyata dalam kehidupan para nabi dan orang-orang shalih, yang kisahnya diabadikan dalam Al-Qur'an sebagai teladan abadi umat manusia.

Salah satu narasi paling menyentuh tentang percaya diri yang dibangun di atas fondasi iman adalah kisah ibu Nabi Musa. Ketika kondisi mengharuskan ia mengambil keputusan besar demi keselamatan anaknya, Allah mengilhaminya agar menghanyutkan bayi Musa ke Sungai Nil. Allah berfirman: Dan Kami ilhamkan kepada ibunya Musa, "Susuilah dia, dan apabila engkau khawatir terhadapnya maka hanyutkanlah dia ke sungai…" (Al-Qashash [28]: 7).

Apa yang dilakukan ibu Musa bukanlah tindakan sembrono, melainkan ekspresi terdalam dari tawakal dan kepercayaan kepada janji Allah. Andai ia tidak memiliki keyakinan yang kuat, niscaya ia takkan mampu menyerahkan anaknya kepada aliran sungai yang tak pasti. Namun iman telah menjadikannya tegar dalam pengorbanan.

Kisah kepercayaan diri yang luar biasa juga tercermin dalam peristiwa pelarian Nabi Musa bersama Bani Israil dari kejaran Fir’aun. Saat mereka dihadapkan pada pilihan antara lautan yang membentang dan tentara Fir’aun yang semakin mendekat, pengikut Musa panik dan berkata: “Kita benar-benar akan tersusul.” (Asy-Syu’ara [26]: 61).

Namun Nabi Musa tidak terguncang oleh ketakutan. Ia menjawab dengan penuh ketegasan: “Sekali-kali tidak akan tersusul; sesungguhnya Tuhanku bersamaku, Dia akan memberi petunjuk kepadaku.” (Asy-Syu’ara [26]: 62). Kepercayaan dirinya bukan bersumber dari logika duniawi, tetapi dari keimanan yang tak tergoyahkan kepada janji Tuhan.

Apa yang diyakini Nabi Musa membuahkan mukjizat: laut terbelah, dan mereka menyeberang dengan selamat. Di sinilah kepercayaan diri menjadi bentuk tertinggi dari spiritualitas, yakin pada pertolongan Allah bahkan ketika jalan keluar belum tampak di hadapan mata.

Sikap semacam ini tidak hanya dimiliki oleh para nabi, tetapi juga diwarisi oleh para sahabat Nabi Muhammad SaW. Salah satunya adalah Abu Darda’. Ketika mendengar bahwa kampungnya dilanda kebakaran, ia dengan tenang berkata bahwa rumahnya tidak akan terbakar. Bukan karena ia merasa spesial, melainkan karena keyakinannya pada sabda Nabi.

Abu Darda’ senantiasa mengamalkan doa yang diajarkan Rasulullah SaW: “Dengan nama Allah yang tidak memudharatkan dengan nama-Nya sesuatu pun yang ada di bumi dan di langit, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” Ia membacanya tiga kali setiap pagi dan sore, dan ia meyakini janji Rasul bahwa siapa yang membacanya akan dilindungi dari segala keburukan.

Kepercayaan diri Abu Darda’ bukan ilusi. Ia lahir dari penghayatan mendalam terhadap ajaran Nabi dan pengalaman spiritual yang konsisten. Doa menjadi pelindung batin, sementara iman menjadi sumber kekuatan untuk menghadapi kenyataan hidup.

Dengan demikian, kepercayaan diri dalam Islam bukan sekadar sikap optimis, melainkan bentuk ketundukan kepada kehendak Ilahi yang menyatu dalam laku hidup sehari-hari. Ia bukan berasal dari keyakinan terhadap kemampuan diri semata, tetapi dari keimanan yang kokoh kepada Allah yang Mahaperkasa.

Marilah kita sebagai Muslim menumbuhkan kepercayaan diri yang berakar pada pemahaman terhadap ajaran Allah dan Rasul-Nya. Sebab, hanya dengan sandaran yang kuat pada wahyu, seseorang dapat berdiri tegak di tengah guncangan zaman, menghadapi dunia dengan dada lapang dan hati yang tenteram.


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Ramadhan dan Serangan Israel Oleh: Teguh Pamungkas, Warga Muhammadiyah Kalsel Kebiadaban tentara I....

Suara Muhammadiyah

8 April 2024

Wawasan

Memegang Mushaf Al-Qur'an saat Shalat Tarawih Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Unive....

Suara Muhammadiyah

29 March 2024

Wawasan

Banggalah Menjadi Pencerah: Refleksi Hari Guru Oleh: Dr. Husamah, S.Pd., M.Pd., Guru dan Pendidik c....

Suara Muhammadiyah

25 November 2024

Wawasan

Menafsir Ulang Kecantikan dalam Jejak Ketauladanan Kartini dan Pejuang Perempuan Muhammadiyah Oleh:....

Suara Muhammadiyah

21 April 2025

Wawasan

Integritas dalam Sistem Politik Oleh: Saifullah Bonto, Demisioner Ketum PC IMM Kab. Pangkajene, Mah....

Suara Muhammadiyah

13 January 2024

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah