YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah - Perubahan iklim saat ini merupakan keniscayaan yang tengah dihadapi oleh penduduk bumi. Termasuk, memicu terjadinya bencana hidrometeorologi, yang kini dampaknya dirasakan penduduk bumi.
"Perubahan iklim banyak terjadi perubahan dalam jangka panjang pada pola cuaca dan temperatur bumi yang berlangsung selama puluhan hingga ratusan tahun," kata Rahmawati Husein saat Muhasabah Muhammadiyah Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Yogyakarta di Masjid Noor Pakuningratan Yogyakarta, Ahad (7/12).
Dewan Pakar Lembaga Resiliensi Bencana (LRB) Pimpinan Pusat Muhammadiyah itu menyebut, perubahan iklim berpokok pangkal pada peningkatan suhu rata-rata global, perubahan intensitas curah hujan, perubahan angin, musim, kelembapan, perubahan kondisi air laut dan atmosfer, intensitas dan frekuensi bencana hidrometeorologi.
Di samping itu, faktor lain yang menjadi biang keladinya yaitu efek gas rumah kaca, pemanasan global, dan kerusakan fungsi hutan, gas buangan industri. Di samping itu, juga adanya penggunaan CFC berlebihan, penumpukan sampah, dan pembuangan gas kendaraan.
"Jadi pubahan iklim itu nyata adanya, bukan hanya karangan. Atau hanya katanya para ahli. Kita sebagai bagian dari jama'ah Muhammadiyah berpengetahuan, yakni memahami alam semesta dan perubahan tersebut," ungkapnya.
Perubahan iklim menyebabkan terjadinya bencana hidrometeorologi. Antara lain dan sudah terbukti adalah banjir bandang yang terjadi di Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Aceh.
"Ini tidak main-main jumlah korbannya sudah sangat tinggi, belum lagi yang masih hilang, dan banyak yang mengungsi," jelasnya.
Tidak hanya itu, bencana hidrometeorologi bentuknya berupa longsor, kekeringan, cuaca ekstrem, angin puting beliung, dan gelombang tinggi dan abrasi. Karena itu, Rahmawati menggarisbawahi bahwa sekarang ini Indonesia sedang darurat hidrometeorologi.
"Jumlah bencana hidrometeorologi 90% dari bencana yang terjadi di Indonesia. Setiap tahun itu naik," bebernya.
Di situlah penting diletakkan mitigasi dan kesiapsiagaan terhadap potensi bencana. Dengan prinsip antisipatif (kenali risiko lebih awal), tanggap cepat (respons berdasarkan peringatan dini), belajar dari pengalaman, inklusif (melibatkan semua kelompok), berbasis data dan sains, serta berorientasi pada keselamatan jiwa.
"Kesiapsiagaan penting karena itu merupakan serangkaian persiapan dan tindakan terorganisir yang dilakukan individu, keluarga, masyarakat, hingga pemerintah untuk mengantisipasi, menanggapi, dan pulih dari bencana," terangnya.
Dengan orientasi utamanya mengurangi korban jiwa, cidera, dan kerugian material. Inilah bentuk ikhtiar nyata yang mesti kita lakukan sebagai bentuk kesiapsiagaan, mitigasi, dan upaya pencegahan.
"Dalam konteks bencana; mitigasi, edukasi, perencanaan keluarga, dan evakuasi merupakan bentuk ikhtiar," tandasnya.
Dalam kesempatan itu, salah satu jamaah Hariss Syarif Usman bertukar pandangan, agar bencana hidrometeorologi yang mengoyak Sumatera ditetapkan sebagai bencana nasional. Menurutnya, kondisi di sana sangat menyesakan dada. (Cris)


