Perubahan Penting dalam Aturan Penyelenggaraan Haji pada UU 14 Tahun 2025
Oleh: Aris Rakhmadi, Dosen UMS, S3 DIFA-UAD, Bersertifikat Sebagai Pembimbing Manasik Haji professional Kemenag RI
Perubahan regulasi haji melalui UU Nomor 14 Tahun 2025 lahir dari kebutuhan mendesak untuk menyempurnakan tata kelola haji di Indonesia. Selama bertahun-tahun, antrean jemaah terus memanjang hingga puluhan tahun di beberapa provinsi, sementara distribusi kuota belum sepenuhnya mencerminkan panjangnya waiting list di daerah. Ketidakseimbangan ini tak lagi dapat diatasi oleh kerangka hukum sebelumnya. Di sisi lain, kebijakan haji–umrah di Arab Saudi berubah cepat, mulai dari digitalisasi layanan hingga penataan visa, sehingga Indonesia perlu menyesuaikan regulasi agar tetap relevan dan responsif.
Masyarakat juga menuntut penyelenggaraan haji yang lebih transparan, modern, dan inklusif. UU 8/2019 menjadi fondasi yang baik, tetapi masih menyisakan celah, seperti perlindungan jemaah umrah mandiri, penguatan ekosistem ekonomi haji, dan ketidakoptimalan distribusi kuota. Karena itu, UU 14/2025 tidak hadir sebagai revisi administratif semata, tetapi sebagai penyempurnaan menyeluruh agar penyelenggaraan haji lebih adil, adaptif, dan memiliki dampak yang lebih luas bagi umat Islam Indonesia.
Salah satu perubahan mendasar adalah hadirnya dua visi tambahan yang menggeser cara pandang terhadap haji. Selain pelayanan dan kemandirian jemaah, kini negara menekankan pentingnya ekosistem ekonomi haji melalui penyediaan makanan berbahan baku nusantara, pemanfaatan asrama haji sebagai aset produktif, serta transportasi yang lebih efisien. Artinya, penyelenggaraan haji ditempatkan sebagai ruang pemberdayaan ekonomi umat dan penguatan industri nasional. Pada saat yang sama, dihadirkan pula visi peradaban dan keadaban yang menekankan bahwa haji harus melahirkan jemaah yang berperan sosial sepulang dari Tanah Suci, sebagaimana teladan KH Ahmad Dahlan dan KH Hasyim Asy’ari yang sepulang haji menjadi pelopor gerakan pembaruan.
Sejumlah pembaruan teknis dalam UU 14/2025 juga berdampak langsung pada pemerataan dan kepastian keberangkatan. Kuota haji provinsi kini ditetapkan dengan mempertimbangkan panjang daftar tunggu, bukan hanya jumlah penduduk muslim. Ketentuan ini memberi keadilan bagi daerah dengan antrean panjang. Kuota tambahan juga tidak lagi diputuskan sepihak oleh menteri, tetapi harus dibahas bersama DPR agar lebih transparan. Pada aspek pembiayaan, proses pembahasan BPIH dipercepat dari 60 hari menjadi 30 hari untuk memastikan kepastian pelunasan dan kesiapan teknis jemaah.
Selain itu, perlindungan administrasi jemaah diperkuat melalui aturan pelimpahan porsi yang kini dapat diberikan kepada saudara seayah atau seibu, sehingga lebih fleksibel bagi keluarga yang tidak memiliki ahli waris langsung. Ribuan nomor porsi yang mengendap selama lima tahun (porsi batu) dapat ditertibkan, dilimpahkan, atau dibekukan agar kuota kembali produktif. UU ini juga memperpanjang masa tunggu pendaftaran kembali bagi jemaah yang sudah berhaji dari 10 menjadi 18 tahun, sebagai strategi pemerataan kesempatan beribadah di tengah tingginya minat masyarakat.
Regulasi baru ini juga mengedepankan pelayanan yang lebih inklusif bagi kelompok rentan. Jemaah penyandang disabilitas kini mendapat prioritas kuota bersama pendampingnya setelah pelunasan tahap pertama. Umrah mandiri memperoleh payung hukum yang lebih jelas, termasuk perlindungan bagi jemaah yang sakit atau wafat di Tanah Suci. Pengelolaan DAM diatur jauh lebih akuntabel melalui lembaga resmi seperti Adahi atau BAZNAS, sementara penugasan pendamping dari KBIHU diperketat demi menjamin kualitas pembimbingan selama proses ibadah.
Dimensi inovasi ekonomi menjadi salah satu keunikan UU ini. Pesawat carter yang sebelumnya kembali dengan kondisi kosong kini dapat mengangkut wisatawan dari Arab Saudi ke Indonesia, sehingga lebih efisien dan memberikan nilai tambah bagi sektor pariwisata nasional. Saat pesawat kembali ke Arab Saudi, kapasitas kosong dapat diisi oleh jemaah umrah, menciptakan rantai mobilitas yang lebih produktif dan ekonomis. Asrama haji juga diberi ruang untuk menjadi pusat kegiatan ekonomi dan pemberdayaan UMKM melalui penyediaan konsumsi berbahan baku nusantara. Langkah-langkah ini membuka peluang ekonomi baru dan memperluas manfaat haji bagi masyarakat luas.
Rangkaian perubahan tersebut menunjukkan bahwa penyelenggaraan haji Indonesia sedang memasuki fase baru yang lebih modern, inklusif, dan berorientasi pada kemaslahatan umat. Penataan kuota, percepatan pembahasan biaya, perlindungan kelompok rentan, pemberdayaan ekonomi haji, serta penguatan nilai peradaban menjadi fondasi penting bagi sistem haji yang lebih berkeadilan dan berkelanjutan. Dengan regulasi baru yang lebih matang ini, ibadah haji diharapkan tidak hanya menjadi perjalanan spiritual, tetapi juga pengalaman yang menghasilkan kemandirian, kepedulian sosial, dan kontribusi nyata bagi pembangunan umat.


