Tawasul Sang Penjual Sayur

Suara Muhammadiyah

Penulis

1
147
Ilustrasi

Ilustrasi

Tawasul Sang Penjual Sayur 

Oleh Babay Parid Wazdi, Kader Muhammadiyah dan Aktifis IPM 1988-1991

Aku masih ingat bau tanah sawah yang dibajak petani pagi itu, saat langkah kecilku menapaki jalan tanah menuju sekolah SD. Aku dan Bapakku masuk ruangan kepala sekolah, Pak Darkat namanya. Ada ritual kecil syarat masuk SD di kampung kami yakni, melingkarkan tangan ke kepala, jika tangan sudah mencapai kuping, baru kami bisa diterima di sekolah. Tahun sebelumnya aku gagal dalam melakukan prosesi ritual itu sehingga belum boleh masuk SD. Tahun ini aku optimis bisa. 

Aku masuk SD tahun 1979, usiaku sudah menginjak delapan tahun. Sudah terlalu tua untuk ukuran jaman sekarang, namun tidak tua untuk ukuran jaman itu. Kami tidak mengenal taman kanak-kanak, tidak pula listrik, apalagi jalan beraspal dan air PAM. Sekolahku bernama SD Kalibuaya III, namanya saja terdengar seperti sekolah di ujung hutan Amazon. Dari hampir seratus murid kelas satu, hanya dua puluh orang yang bertahan hingga kelas enam. Banyak teman-temanku yang berhenti sekolah, entah karena jarak yang terlalu jauh, jalan yang becek dan rusak, atau karena mereka harus ikut orang tua ke sawah. Ironi memang tapi itu kenyataan. Apakah sekarang Indonesia masih seperti itu. Mungkin dikampungku tidak, tapi pengalamanku keliling Kabupaten & Kota di Sumut rasanya kejadian seperti ini masih aku temui terutama di Nias.

Hanya orang yang nekat, kemauan kuat atau sedikit “gila“ yang bisa meneruskan sampai sekolah ke jenjang S1, karena mayoritas penduduk juga berpikir untuk apa sekolah tinggi. Toh akhirnya nganggur juga. Sama-sama pergi ke ARAB.

Namun orang tuaku berbeda. Ayah dan ibuku, petani sederhana yang hidup dari tanah sawah dan jual beras. Beliau percaya bahwa sekolah adalah jalan pengabdian kepada Tuhan dan bangsa. “Sekolah tinggi itu harus,” kata ayah, “entah nanti jadi apa, yang penting kau jangan berhenti berjuang.” Itulah kira-kira visi-misi orang tuaku. 

Aku sadar betul untuk menggapai cita-cita itu tidak mudah. Sebagai petani orang tuaku kerja keras, putar otak, kalau jadi petani saja penghasilan hanya empat bulan sekali, untuk makan tiap hari pasti tidak cukup. Jadilah kami punya sepuluh ekor bebek, tiap hari kami bisa panen telor bebek. Dikumpulkan kemudian dijual ke pasar atau sebagian dikonsumsi. Jadilah pula kami punya kambing, sementara aku menjadi tangan kecil yang ikut menolong. Sore hari aku menggiring bebek pulang, menjaga kambing di padang, dan bahkan  menjadi “dukun bayi” bagi kambing yang hendak melahirkan.

Memelihara anak kambing sampai dewasa, mengobati bebek yang lumpuh, sampar dan penyakit lainnya menjadi ilmu yang aku kuasai sampai sekarang. Ketika aku memberikan penyuluhan pertanian kepada petani & peternak di Sumut, bolehlah aku disebut jagonya. Para Bupati pun heran.

Selain menggiring bebek dan gembala kambing pekerjaan rutin aku adalah jual sayur di hari minggu. Bapak ku menanam dua batang pohon kelewih, semacam sukun, buahnya bulat, namun ada bijinya seperti nangka. Di Jawa Barat buah itu untuk sayur asam. Juga menanam kangkung di kolam. Sekitar seminggu sekali aku petik buah kelewih itu, dan aku petik kangkung lalu diikat. Harga buah kelewih satu biji dua puluh lima rupiah, satu ikat kangkung sepuluh rupiah. Harga nasi uduk polos waktu itu sekitar lima puluh rupiah, jadi setiap jualan aku bisa dapat uang lima ratus rupiah sampai seribu rupiah. Lumayan untuk bekal aku sekolah selama satu minggu.

Selain ikut gembala kambing, giring bebek dan jual sayur, ada lagi aktivitasku bantu orang tua yakni basmi hama tikus. Ini seru tapi cukup berat karena kami menjaga kebun sayur terutama terong, mentimun, dan kacang panjang  agar tidak diserbu tikus dimalam hari. Dengan tongkat kayu di tangan, aku dan ayah berkeliling di bawah cahaya lampu petromak. Bisa dari habis magrib sampai larut malam kadang menginap di saung di tepi sawah. Satu malam kami bisa membasmi ratusan ekor tikus. Melelahkan, tapi itu bentuk cinta kami pada komitmen dengan cita-cita yang tinggi. Dengan cara manual ini sayuran kami cukup aman dari gangguan tikus. Kami masih bisa panen cukup lumayan. 

Masa kecil yang penuh pengabdian terhadap orang tua ini, pengabdian yang ter-memori indah dalam pikiranku, walaupun kami jauh dari kota. Kebahagian atas pengabdian yang guyub dengan orang tua begitu membekas di hati.  Ini suatau kemewahan yang luar biasa. Semoga ini menjadi amal jariah bagi kedua orang tua ku, terang di alam kuburnya telah mengajariku perjuangan hidup, kejujuran, pengabdian untuk Bangsa ini. Jauh dari bermewah-mewahan apalagi dari praktek suap menyuap, jual beli hukum dan jabatan, dan korupsi.

Aku tuliskan cerita ini bukan bermaksud ria terhadap amal. Aku tuliskan semata-mata mengikuti ajaran Nabi tentang Tawasul. Aku tuliskan kisah ini sebagai bagian dari membela diri atas dakwaan, karena membela diri itu salah satu ajaran dari Islam dalam surah Yusuf. Korupsi itu berawal dari jalan pikir rakus yang sesat, lalu jalan tindak yang sesat juga dan jadi perilaku bahkan kebiasaan, budaya dan sistem yang sesat.

Kini, dalam sunyi ruang tahanan ini, kenangan masa kecil itu datang silih berganti. Aku teringat wajah ibu yang menatapku dari pintu dapur, dengan tangan yang masih basah mencuci beras. Teringat bapak yang memikul rumput untuk kambing dengan napas terengah.
Dari mereka aku belajar arti kemerdekaan: bukan hanya bebas dari jeruji, tapi bebas dari kebohongan dan bebas dari kerakusan.

Ya Allah, melalui amal pengabdian yang pernah Engkau izinkan kulakukan untuk kedua orang tuaku, lapangkanlah jalan pembebasanku dari tuntutan dan dakwaan ini. Sebab Engkau Maha Tahu siapa yang berjalan di jalan lurus, dan siapa yang sesat oleh kerakusan dan dunia.

Aku berdoa melalui wasilah amal solehku pada kedua orang tuaku dan amal solehku atas jalan pikir yang lurus, bukan jalan pikir yang sesat (korup). Bebaskan aku dari segala fitnah sosmed, tuntutan, tuduhan ataupun dakwaan yang saat ini aku alami. 

Hanya kepadaMu aku luncurkan doa hanya kepadaMu aku pasrahkan diriku, hanya kepadaMu aku berserah diri, hanya kepadaMu aku bertawakal. Dan sesungguhnya  Pertolongan Allah itu DEKAT (Al-Baqoroh 214).

Salemba, 27 September 2025

*Penulis adalah Direksi Bank DKI (2018-2022) dan Dirut Bank Sumut (2023 sd 2025). Esay ini merupakan bagian dari Manifesto yang berjudul Tawasul Sang Burung Pipit, The Bright Way to Freedom and Faith yang saya ketik dan edit dari tulisan tangan Ayah saya

Salam, Ahmad Raihan Hakim (Alumni SMA Muhammadiyah 3 Jkt tahun 2018)


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Oleh: Mahli Zainuddin Tago Ballroom Dormitory UMY, Senin 30 Desember 2024. Ratusan hadirin memenuhi....

Suara Muhammadiyah

17 January 2025

Wawasan

Manifestasi Tanpa Syariat: Ilusi Spiritual di Era Digital Oleh : Rusydi Umar, Dosen FTI UAD, Anggot....

Suara Muhammadiyah

2 October 2025

Wawasan

Ibu Cerdas Penentu Generasi Unggul Indonesia Emas 2045 Oleh: Amalia Irfani, LPPA PWA Kalbar Menont....

Suara Muhammadiyah

25 December 2023

Wawasan

Menasihati Tetangga yang Mengalami Stres Oleh: Mohammad Fakhrudin Uraian di dalam kajian ini merup....

Suara Muhammadiyah

31 July 2025

Wawasan

Palestina selalu di Hati Oleh: Donny Syofyan Seiring dengan genosida yang dilakukan Israel di Gaza....

Suara Muhammadiyah

15 November 2023