Toko Warisan

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
108
Ilustrasi

Ilustrasi

Toko Warisan 

Cerpen Imamuzzaman Siddiqi

Saat Azar pensiun dia berniat pulang ke kota asal dan meninggalkan Jakarta. Isterinya setuju. Anak-anaknya yang terebar di beberapa kota juga setuju. Bahkan anak nomor dua sangat setuju karena dia mau pindah ke kota tempat tinggal isterinya dan mau menyerahkan toko warisan keluarga yang sudah habis dikontrak oleh orang lain. 

“Ayah dan ibu bisa mengelola toko itu. Tempatnya kan strategis sekali,” kata Marno, anak kedua itu, ”Masa pensiun bisa dinikmati dengan menunggu toko. Tentu yang bekerja keras karyawan. Ayah dan Ibu tinggal mengontrol atau mengatur kegiatan di toko itu.” 

Ketika di Jakarta berdinas di sebuah kementrian, Azar bersama isteri tinggal di perumahan elit. Isteri Azar menjadi manajer koperasi serba usaha melayani kebutuhan penghuni perumahan. Koperasi ini punya toko serba ada. Pengalaman ini bisa dijadikan rujukan dalam mengelola toko. Azar sendiri di kantornya lebih bergelut dengan angka-angka, catatan akuntansi perkantoran yang banyak berhubungan kegiatan pembinaan di desa terpencil. Dia paham manajemen usaha warung dan toko di desa dan di kota kecamatan di luar Jawa, Termasuk di lokasi transmigrasi yang makin maju ekonominya. 

Begitulah yang terjadi. Setelah pensiun dan kembali ke kota kelahiran dia menerima toko itu dari pengontraknya yang terakhir. Kondisinya memang mengharukan. Toko itu hampir bangkrut karena barang yang dijual di toko berupa kebutuhan hidup sehari-hari ini makin lama makin tidak laku. Begitu keluhan pedagang yang terakhir mengontrak toko itu. 

“Kenapa?” tanya Azar kepada pedagang itu sebelum mereka berpisah. 

“Para pembeli di jalan protokol ini sekarang sudah bukan orang asli kota ini. Yang lewat dan mampir di kawasan ini adalah wisatawan luar kota. Mereka tidak butuh barang kebutuhan sehari-hari,” jawab oang itu,” Kalau bapak sempat mengamati, pedagang yang tidak mau berubah akan bangkrut, adanya perubahan karakter dan profil pembeli di tempat ini sangat berpengaruh sekali.” 

Sebelum memutuskan untuk membuka toko dan mengisi dengan barang dagangan apa yang bisa laku, Azar dan isteri mengamati jalan legendaris yang dulu banyak didatangi warga kota untuk berbelanja. Bahkan Azar ingat, ketika dia masih remaja dia suka mengajak teman-teman sekampung mendatangi jalan ini untuk melihat-lihat barang dagangan dan berbelanja ala kadarnya. Kalau ada barang baru dan merk baru, mereka perbincangkan seru. Tetapi yang dia lihat sekarang sudah berbeda sekali. Toko besar serba ada itu telah tutup, separo pintu dibuka justru untuk tempat lewat orang yang mau mentitipkan sepeda motor. Toko sepatu yang dulu banyak, tinggal satu. Malahan toko buku sudah tidak ada lagi. Toko ini dengan nama yang sama berubah menjadi toko daster dan kerajinan. Tukang cukur legendaris sudah tutup. Penerbit buku sudah berubah menjadi tokobatik. Mall pun tutup. Toko mebel, toko alat tulis, toko bahan bangunan, dan toko alat rumah tangga pun sudah tidak ada lagi, restoran legendaris berubah jadi kantor. 

Azar dan isteri mendatangi toko-toko yang masih bertahan dan sudah mengubah penampilan barang dagangannya itu. 

“Pak, kota ini sudah menjadi kawasan wisata bukan lagi kawasan pendidikan. Pembelanjaan atau konsumen kami adalah wisatawan luar kota. Warga kota ini sudah tidak lagi berbelanja di tempat ini, mereka lebih suka belanja di warung atau mart terdekat dari rumahnya.” 

“Kami beruntung karena kawasan deretan di depan toko ini sudah bersih dari pedagang kaki lima yang menjual batik dan barang kerajinan. Barang yang diperlukan oleh wisatawan. Ganti kami yang menjual batik dan kerajinan itu. Lihat Pak, semua toko yang bisa bertahan hidup karena mau berubah. Berubah menjadi toko batik dan kerajinan. Yang tidak mau berubah pasti tutup dan bangkrut. Toko obat dan toko roti saja mengalami kemunduran.” 

Sepulang seharian mengamati keadaan kawasan pertokoan panjang itu Azar dan isteri justru pusing. Apakah dia dan isteri akan ikut-ikutan membuka toko batik dan kerajinan? Atau usaha lain? 

“Kita mengamati keadaan dulu kalau pas hari libur. Kita lihat apa yang dilakukan oleh para wisatawan itu.” 

Kebanyakan mereka ternyata berjalan-jalan, ngobrol, selfie, dan duduk-duduk di bangku sambil makan nasi boks atau makanan lain, kemudian membuang sampahnya di dekat bangku mereka duduk. Yang panen adalah penjual minuman air mineral. Wisatawan yang kehausan membeli minuman dalam botol. Kalau makanan, telah mereka peroleh dari restoran di luar kota dan penjual oleh-oleh makanan khas dari dekat pantai dan obyek wisata gunung. 

Azar dan isteri masih memerlukan waktu tiga minggu untuk melakukan pengamatan menyeluruh. Mereka mendatangi tempat parkir bis besar dan melihat wisatawan diangkut memakai mobil kecil ke kawasan utama wisata di pusat kota. Mereka tidak berjalan kaki di pendestrian antara lokasi parkir dan area utama wisata. Juga barisan wisatawan yang mengular menuju tempat wisata dari satu titik ke titik lain pun tidak mampir membeli sesuatu. Sedang wisatawan keluarga, dari hotel tempat menginap, menggunakan becak motor dan diarahkan oleh pengemudi becak untuk mengunjungi toko oleh-oleh tertentu dan toko cinderamata tertentu. Mereka tidak bebas memilih toko yang mereka inginkan. 

Dari kotak kardus makanan yang terbuang, mereka menemukan banyak alamat restoran pinggir kota atau luar kota dan ketika mereka hubungi menjelaskan bahwa mereka biasa menerima pesanan dari tour operator atau biro travel kenalan mereka, jauh-jauh hari. Bagitu bus kembali dari pantai atau lokasi wisata yang viral di gunung, mereka mampir di restoran itu mengambil pesanan nasi kotak yang akan mereka makan di kawasan utama wisata kota. 

“Lantas peluang kita di mana? Kita harus menjual apa agar toko kita nanti tetap hidup bahkan bisa berkembang?” tanya Azar kepada dirinya sendiri. 

Sambil terus berpikir mereka mencoba mengamati sekali lagi lalu lalang di muka toko yang belum dibuka itu. Mereka duduk di depan toko itu sambil mendengarkan apa yang dipercakapkan wisatawan. Mereka duduk-duduk seharian dari pagi sampai siang, lalu setelah makan siang mereka melanjutkan duduk-duduk sampai sore, lalu dilanjut sampai malam. 

Marno, anak nomor dua yang sudah pindah kota dan menyerahkan toko itu ke ayah dan ibunya dihubungi. Dia dilapori hasil pengamatan dua orang itu, dan ketika ditanya tentang peluang usaha di tempat itu, anak itu malah tertawa. 

“Saya juga tidak tahu Yah, Bu. Saya memutuskan pindah kota karena di tempat isteri saya ada peluang baru. Ibukota kabupaten baru saja pindah dan di dekat rumah isteri saya banyak gedung baru, di situ ada gedung sekolah favorit yang muridnya banyak. Nah, saya membuka warung soto saat pagi, warung bakso saat siang, dan warung bakmi saat malam. Laku Pak, karena orang-orang atau pegawai kantor, anak sekolah dan warga sekitar pasti butuh makan.” 

Isteri Azar ingat tempat kerjanya di perumahan itu. Warga perumahan butuh makan. dan separo dari tempat usaha koperasi di sana diubah menjadi kantin yang buka hampir duapuluh empat jam. Selalu laku. 

“Sudah ketemu Mas, idenya,” kata istri Azar dengan wajah cerah. 

“Apa?” 

“Kita akan mengubah toko warisan menjadi Warung Sarapan, warung Makan Siang, Makan Malam dan toko oleh-oleh.” 

“Cocok, itu yang belum ada di kawasan ini. Dan saya pernah mendengar bagaimana wisatawan yang jalan-jalan pagi kesulitan mencari tempat sarapan. Kita yang melayani mereka.” 

Suami isteri itu bersalaman, berpandangan dengan sinar mata penuh harapan.• 

Yogyakarta, 21 Oktober 2023.


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Humaniora

Tak Lekang oleh Zaman dan Waktu Oleh: Deni al Asyari Kemarin siang, saya dikirimi oleh Buya Syafii....

Suara Muhammadiyah

30 September 2023

Humaniora

Catatan Sidang Tanwir Kupang: Keramahan NTT dan Peran Muhammadiyah di Tengah Minoritas Oleh : Haidi....

Suara Muhammadiyah

1 January 2025

Humaniora

Sate Klathak Pak Bari; Menikmati Sate di Tengah Pasar Tradisional Oleh: Khafid Sirotudin, ....

Suara Muhammadiyah

7 August 2025

Humaniora

Omon-omon Pak Bei (7): Oleh-oleh Jamnas JATAM Oleh: Wahyudi Nasution KANG NARJO: Selamat ya, Pak B....

Suara Muhammadiyah

24 September 2025

Humaniora

Masa Kecil di Kauman Cerpen Affan Safani Adham Masa kecil saya memang lebih banyak bermain-main di....

Suara Muhammadiyah

19 April 2024