Ahlul Kitab dan Makanan Halal

Publish

30 April 2025

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
36
Foto Istimewa

Foto Istimewa

Ahlul Kitab dan Makanan Halal

Oleh: Donny Syofyan/Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas

Mari kita telaah sebuah ayat penting dari Surah Al-Maidah (5), ayat 5. Ayat ini menyatakan, “Pada hari ini dihalalkan bagimu segala yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Kitab itu halal bagimu.” Namun, pemahaman terhadap ayat ini seringkali menimbulkan pertanyaan: Apa sebenarnya makna di baliknya, dan mengapa sering terjadi kesalahpahaman?

Ayat tersebut secara eksplisit menyatakan, “Pada hari ini, hal-hal yang baik diizinkan bagimu.” Dari konteksnya, jelas bahwa yang dimaksud adalah hal-hal yang baik untuk dikonsumsi. Selanjutnya, ayat tersebut menegaskan, “Dan makanan orang-orang ahli kitab diizinkan untuk kamu makan.” Lalu, siapa yang dimaksud dengan 'orang-orang Ahli kitab'? Secara umum, ini merujuk pada umat Yahudi dan Kristen, yang memiliki kedekatan teologis dengan umat Islam. Kisah-kisah dari Alkitab juga banyak ditemukan dalam Al-Qur'an, dan kita meyakini Tuhan yang sama. Dalam hal ini, Al-Qur'an memberikan izin bagi umat Islam untuk mengonsumsi makanan yang disembelih oleh orang-orang ahli kitab.

Namun, di sinilah muncul kerancuan. Beberapa umat Islam berpendapat bahwa sembelihan harus dilakukan dengan menyebut nama Allah ('Bismillah') dan oleh seorang Muslim agar dagingnya halal. Pendapat ini sebagian besar didasarkan pada penafsiran Surah Al-An'am (6), ayat 121, yang berbunyi, “Janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya.”

Untuk memahami ayat 5 dari Surah Al-Maidah (5) secara komprehensif, kita perlu merangkai seluruh ayat dalam Al-Qur'an yang berkaitan dengan konsumsi daging. Dari sini, terungkap bahwa umat Yahudi dan Kristen, secara umum, tidak menyembelih hewan atas nama selain Tuhan. Dalam praktik mereka, khususnya umat Kristen, tidak ada penyebutan nama apa pun saat penyembelihan. Penelitian kecil saya menunjukkan bahwa hanya satu aliran dalam Yudaisme yang memiliki ritual serupa dengan pengucapan berkat saat penyembelihan. 

Namun, penting untuk dicatat, berkat tersebut tidak ditujukan kepada entitas selain Tuhan. Mereka menggunakan istilah 'Hashem' dalam bahasa Ibrani, yang bermakna 'nama', sebagai penghormatan, menghindari penyebutan nama Tuhan secara langsung karena dianggap sakral. Tradisi ini mencerminkan penghormatan dan kekhusyukan mereka. Dalam beberapa kasus, mereka menggunakan kalimat tidak langsung atau menyebut Tuhan sebagai 'nama' untuk mengungkapkan tindakan-Nya.

Lalu, bagaimana ini selaras dengan ajaran Al-Qur'an? Dalam Surah Al-Baqarah ayat 173 dinyatakan, “diharamkan bagimu bangkai (maita)”. Tentu, hewan yang disembelih pun mati, tetapi 'maita' di sini memiliki konotasi khusus. Selain itu, 'dam' (darah) juga diharamkan, begitu pula 'lahmal khinzir' (daging babi) dan ‘wamaa uhilla bihi lighairillah’ (apa yang dipersembahkan kepada selain Tuhan). Penyembelihan untuk berhala termasuk dalam kategori ini. Hal serupa ditemukan dalam 1 Korintus 8:6, yang menyinggung tentang makanan yang dikorbankan untuk berhala. Bagi sebagian umat Islam, mengonsumsi daging semacam itu dianggap sebagai partisipasi dalam penyembahan berhala. Oleh karena itu, Al-Qur'an menetapkan empat hal yang diharamkan.

Inti dari pembahasan kita terletak pada pemahaman mengenai penyembelihan yang dipersembahkan kepada selain Tuhan. Karena umat Yahudi dan Kristen meyakini Tuhan yang sama dengan kita, mereka tidak menyembelih atas nama entitas lain. Meskipun ada perbedaan teologis, seperti keyakinan sebagian umat Kristen terhadap Trinitas dan ketuhanan Yesus, praktik penyembelihan mereka tetap berpusat pada Tuhan yang Esa. 

Hal ini melandasi pemahaman bahwa Surah Al-Maidah (5) ayat 5 memberikan landasan hukum yang luas, bahwa makanan dari Ahlul Kitab adalah halal, selama memenuhi standar ‘thayyib’ (hal yang baik dan suci). 'Thayyib' di sini mencakup segala sesuatu yang baik dan murni, selaras dengan prinsip-prinsip Islam.

Dengan kata lain, kehalalan makanan Ahlul Kitab diatur oleh irisan antara apa yang mereka sembelih dengan ketentuan ' Thayyib' yang berlaku dalam Islam. Tentu saja, prinsip umum melarang konsumsi makanan yang buruk atau haram. Fokusnya adalah pada kehalalan yang murni dan baik, sesuai dengan perspektif Islam.

Penting untuk dipahami bahwa kehalalan ini memiliki batasan. Misalnya, meskipun daging sembelihan Ahlul Kitab pada umumnya halal, daging babi tetap haram bagi umat Islam, karena jelas tidak termasuk dalam kategori ' Thayyib '. Jadi, dapat disimpulkan bahwa daging sembelihan Ahlul Kitab adalah halal bagi umat Islam, selama memenuhi kriteria 'Taiba' yang ditetapkan oleh syariat.

Tentu saja, pertanyaan yang lebih luas muncul: bagaimana kita menempatkan 'Ahlul Kitab' dalam konteks masyarakat modern, katakanlah di Eropa atau Amerika Serikat? Apakah konsep 'Ahlul Kitab' masih relevan? Apakah masyarakat umum di sana dapat dikategorikan sebagai masyarakat Ahlul Kitab?

Pertanyaan ini mengemuka karena dua alasan utama. Pertama, kecenderungan masyarakat modern yang semakin sekuler, dengan meningkatnya ateisme dan agnostisisme, bahkan di kalangan masyarakat yang mayoritas beragama Kristen. Namun, para ulama Islam memberikan pandangan yang bijak: kita harus berpegang pada keadaan umum dan yang tampak, tanpa terjebak dalam analisis yang terlalu mendalam hingga mengharamkan segala sesuatu. Misalnya, di negara-negara mayoritas Muslim, kita mengasumsikan bahwa daging yang dijual di sana halal, tanpa perlu menyelidiki keyakinan setiap penjual daging.

Kedua, ada kekhawatiran mengenai perbedaan teologis antara umat Islam dan Kristen, khususnya keyakinan Kristen terhadap Trinitas. Namun, penting untuk diingat bahwa perbedaan ini sudah ada sejak zaman Nabi Muhammad SAW. Al-Qur'an sendiri mencatat keyakinan Trinitas dan ketuhanan Yesus. Namun, Al-Qur'an tetap memperlakukan Ahlul Kitab dengan hormat dan mengakui kehalalan makanan mereka. Oleh karena itu, prinsip yang sama seharusnya tetap berlaku hingga saat ini.


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Memaknai Cakra Manggilingan dengan Menyelami R Ng Rangga Warsita Oleh: Rumini Zulfikar, Penasihat P....

Suara Muhammadiyah

6 February 2025

Wawasan

Idul Fitri dan Keadilan Sosial Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas ....

Suara Muhammadiyah

10 April 2024

Wawasan

Mengenal Nilai-Nilai Islam dalam Kehidupan Masyarakat Jepang Oleh: Lady Nubailah Wahdah/Kader ....

Suara Muhammadiyah

14 April 2025

Wawasan

Sepeda adalah Vitamin Ekonomi Berkelanjutan Oleh: Miqdam A Hashri, M.Si, C.LQ, Anggota LDK PP ....

Suara Muhammadiyah

30 August 2024

Wawasan

Blue Economy dari Sudut Pandang Islam Oleh: Amrullah, Dosen Perbankan Syariah, Universitas Ahmad Da....

Suara Muhammadiyah

18 July 2024

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah