Anakku, Hormatilah Gurumu

Publish

12 November 2025

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
35
Dr Husamah, SPd, MPd

Dr Husamah, SPd, MPd

Anakku, Hormatilah Gurumu

Oleh: Dr Husamah, SPd, MPd, Wakil Dekan I FKIP Universitas Muhammadiyah Malang

Sekolah sejatinya bukan hanya tempat menimba ilmu, tetapi juga rumah kedua tempat karakter, etika, dan budi pekerti ditempa. Di sanalah anak belajar tentang kehidupan, tentang hormat, sopan santun, dan adab. Tapi, mari kita jujur sejenak. Ada sesuatu yang terasa hilang dari ruang-ruang kelas kita hari ini: adab terhadap guru.

Fenomena ini bukan isapan jempol. Dalam beberapa tahun terakhir, berbagai media memberitakan hal yang membuat kita terenyuh. Seorang guru di Gresik ditampar muridnya karena menegur soal tugas. Di Sampang, seorang guru agama ditantang duel oleh siswanya karena ditegur merokok di sekolah. Ada juga siswa di Bekasi yang mencaci maki gurunya di media sosial hingga video itu viral. Ironisnya, bukan hanya siswa, tapi kadang orang tua ikut “menghakimi” guru di ruang publik, seolah guru adalah pelayan, bukan pendidik.

Padahal, dalam tradisi pendidikan Islam dan budaya Timur kita, guru bukan sekadar profesi, tapi peran suci. Rasulullah ﷺ bersabda: "Innama bu’itstu mu’alliman". “Sesungguhnya aku diutus hanyalah sebagai seorang pendidik.” (HR. Ibnu Majah)

Hadis ini menunjukkan bahwa mengajar bukan pekerjaan biasa. Guru adalah pewaris tugas kenabian. Mereka mengajarkan ilmu, menuntun jiwa, dan menanamkan adab. Maka, kehilangan rasa hormat kepada guru bukan hanya masalah perilaku, tapi krisis spiritual dan moral.

Ketika Adab Ditinggalkan

Fenomena siswa yang berbicara dengan nada tinggi kepada guru kini jadi hal yang sering terdengar. “Ah, cerewet amat, Bu!”, ucapan seperti ini yang dulu tabu, kini meluncur ringan dari bibir remaja. Saat guru menegur karena tidak mengerjakan tugas, sebagian malah merasa harga dirinya diserang. Ada yang menunduk, tapi bukan karena malu, melainkan sibuk dengan ponsel.

Lebih parah lagi, media sosial menjadi panggung baru untuk melawan guru. Caption bernada sindiran, meme mengejek, hingga video guru dijadikan bahan lelucon. Seketika, wibawa guru runtuh di mata publik. Dunia digital yang semestinya jadi sarana belajar justru berubah menjadi arena cibiran.

Dampaknya? Proses belajar pun kehilangan ruh. Tidak ada keberkahan dalam ilmu yang diajarkan dengan hati yang tersakiti. Guru mungkin tetap mengajar, tapi doanya tidak lagi penuh harap. Dan anak-anak yang belajar tanpa adab akan kehilangan cahaya ilmu: karena sebagaimana dikatakan ulama, “ilmu tanpa adab adalah petaka”.

Akar Masalah: Dari Rumah dan Lingkungan

Rusaknya adab tidak muncul tiba-tiba. Ada akar yang dalam: dari rumah, lingkungan, dan media. Banyak orang tua yang menyerahkan sepenuhnya pendidikan anak ke sekolah, seolah tanggung jawab moral hanya milik guru. Padahal, rumah adalah madrasah pertama.

Orang tua yang di rumah sering membicarakan kekurangan guru di depan anaknya, tanpa sadar menanamkan benih tidak hormat. “Ah, gurumu itu salah kok!” Kalimat sederhana seperti itu bisa menghapus kepercayaan anak terhadap otoritas moral guru.

Media sosial pun memperparah. Konten yang menormalisasi perilaku kasar, sikap sarkastik terhadap orang tua dan pendidik, menjelma panutan baru bagi remaja. Lingkungan yang lebih menghargai popularitas ketimbang kesantunan melahirkan generasi yang pandai bicara, tapi miskin sopan santun.

Guru Adalah Pewaris Nabi

Guru dalam Islam memiliki derajat tinggi karena perannya sebagai penerus risalah ilmu. Rasulullah ﷺ bersabda: "Laisa minna man lam yuwaqqir kabīranā wa yarham ṣaghīranā wa ya’rif li ‘āliminā ḥaqqah". “Tidak termasuk golongan kami orang yang tidak menghormati yang lebih tua, tidak menyayangi yang lebih muda, dan tidak mengetahui hak ulama.” (HR. Ahmad)

Hadis ini menegaskan bahwa menghormati orang berilmu adalah bagian dari iman. Guru, terutama yang mengajarkan ilmu agama, adalah pewaris para nabi. Maka wajar jika para salaf terdahulu begitu menjunjung tinggi adab terhadap guru.

Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu ‘anhu menceritakan,

“Saat Rasulullah duduk bersama kami di masjid, kami terdiam seolah ada burung di atas kepala kami.” (HR. Bukhari)

Itulah bentuk adab, tenang, fokus, penuh hormat. Ibnu Abbas bahkan pernah menuntun tali kendaraan Zaid bin Tsabit, gurunya, seraya berkata:

“Beginilah kami diperintahkan untuk memperlakukan ulama kami.”

Umar bin Khattab pun berpesan:

“Tawadhu’lah kepada orang yang mengajarimu.”

Bayangkan, para sahabat yang mulia saja begitu tunduk kepada gurunya. Maka bagaimana mungkin kita yang hanya tahu sebagian kecil dari ilmu mereka justru berani bersikap sombong?

Hilangkan Ilmu, Hilanglah Berkah

Dr. Umar As-Sufyani, pernah berkata:

“Jika murid berakhlak buruk kepada gurunya, maka akan hilang keberkahan dari ilmu yang ia pelajari.”

Ilmu yang tanpa adab akan sulit menembus hati. Mungkin pengetahuan melekat di kepala, tapi tak pernah menjadi cahaya yang menerangi hidup. Itulah mengapa Imam Burhanuddin az-Zarnuji, dalam kitab Ta’limul Muta’allim, berkata:

“Seorang pelajar tidak akan mendapatkan ilmu dan manfaatnya kecuali dengan menghormati ilmu, orang yang berilmu, dan guru-gurunya. Tidak sukses orang yang sukses kecuali karena hormat, dan tidak gagal orang yang gagal kecuali karena tidak hormat.”

Demikian pula Syekh Abu Bakar Syatha ad-Dimyathi dalam Kifayatul Atqiya menulis:

“Jadilah orang yang memuliakan gurumu, karena memuliakannya adalah bagian dari memuliakan ilmu. Tidak akan mendapatkan ilmu kecuali dengan memuliakan orang yang berilmu.”

Itulah kunci keberkahan ilmu, bukan sekadar pandai, tapi juga beradab. Sebab ilmu sejati bukan hanya soal hafalan, tapi tentang perubahan hati.

Teladan Ulama dalam Menghormati Guru

Para ulama klasik memberikan contoh luar biasa tentang bagaimana seorang murid memuliakan gurunya.

Al-Imam Asy-Syafi’i pernah berkata:

“Aku membalik lembaran kitab di depan Imam Malik dengan lembut agar beliau tidak mendengar suaranya, karena segan padanya.”

Abdurrahman bin Harmalah berkata:

“Tidak ada seorang pun yang berani bertanya kepada Said bin Musayyib tanpa izin, seperti meminta izin kepada seorang raja.”

Bahkan Ar-Rabi’ bin Sulaiman berkata:

“Demi Allah, aku tidak berani minum air di hadapan Imam Syafi’i karena segan padanya.”

Sungguh, karena adab yang luhur itulah ilmu mereka diberkahi, nama mereka harum sepanjang masa. Dan lihatlah buahnya—keilmuan mereka tak hanya dihafal, tapi dijadikan pedoman hingga berabad-abad.

Kembali pada Akar: Adab Sebagai Pondasi

Kita hidup di zaman yang serba cepat dan instan. Semua ingin hasil tanpa proses, nilai tanpa usaha, ilmu tanpa guru. Padahal, sebagaimana pepatah Arab berkata,

“Man lam yadzuq dzulla ta’allum sa’atan lam yadzuq ‘izzal jahli abadan”. “Barang siapa tidak pernah merasakan rendah hati saat belajar, ia akan selamanya hidup dalam kehinaan kebodohan.”

Adab adalah jembatan antara ilmu dan keberkahan. Tanpa adab, ilmu akan kering dan tak bernilai. Maka, wahai anak-anakku, hormatilah gurumu. Jangan hanya karena ia menegurmu, lalu engkau benci padanya. Ketahuilah, setiap teguran guru adalah tanda cinta, bukan kebencian.

Sayyidina Ali RA bahkan berkata:

“Aku adalah hamba bagi orang yang mengajarkan kepadaku satu huruf. Jika ia mau, ia boleh menjualku; jika ia mau, ia boleh memerdekakanku.”

Kalimat itu menggambarkan betapa besar rasa hormat seorang alim terhadap gurunya—bahkan atas ilmu sekecil satu huruf sekalipun.

Penutup: Ilmu Tanpa Adab Adalah Kegelapan

Anakku, hormatilah gurumu. Sebab doa mereka adalah keberkahan dalam hidupmu. Hormati bukan hanya karena mereka pintar, tapi karena mereka tulus mengajarkanmu tentang kehidupan. Jangan tunggu sampai kehilangan untuk menyadari betapa besar jasanya.

Guru bukan hanya sosok di depan kelas—mereka adalah penuntun jalanmu menuju cahaya. Kalau kamu ingin sukses, berakhlaklah baik kepada guru. Karena doa guru yang tulus mampu menembus langit, sementara ilmu tanpa doa mereka hanya akan jadi tumpukan kata tanpa makna.

Sebagaimana pesan Imam Al-Ghazali: “Ilmu itu cahaya, dan cahaya Allah tidak akan diberikan kepada orang yang durhaka.”

Jadi, anakku, di tengah zaman yang semakin ramai tapi miskin sopan santun ini, kembalilah pada adab. Hormatilah gurumu, cintailah mereka sebagaimana kamu mencintai orang tuamu. Sebab dari merekalah Allah menyalakan lentera masa depanmu.  “Berkah ilmu itu tidak datang dari banyaknya hafalan, tapi dari tulusnya hormat kepada guru.” (hanan)


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Merekat Kerukunan Melalui Simbol Keagamaan Oleh: Dr. Amalia Irfani, M.Si, Dosen IAIN Pontianak/Sekr....

Suara Muhammadiyah

14 November 2024

Wawasan

Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas Pernahkah Anda berpikir apakah....

Suara Muhammadiyah

22 January 2024

Wawasan

Oleh: Donny Syofyan Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas Tulisan ini terkait dengan baga....

Suara Muhammadiyah

5 February 2024

Wawasan

Berdakwah dengan Santun Oleh: Suko Wahyudi. PRM Timuran Yogyakarta  Dakwah merupakan manifest....

Suara Muhammadiyah

17 July 2025

Wawasan

Membangun Ekonomi Muhammadiyah  Oleh: Saidun Derani Tulisan penulis tentang “Memegang d....

Suara Muhammadiyah

13 May 2024

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah