Antara Izin Bersyarat dan Realitas Poligami
Oleh: Donny Syofyan/Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
Saya kembali hendak membahas isu poligami. Allah berfirman, “Jika kamu khawatir tidak akan dapat berlaku adil terhadap anak-anak yatim, maka nikahilah perempuan-perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau perempuan-perempuan (budak) yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat aniaya” (QS 4:3). Ayat ini sering digunakan sebagai dukungan untuk praktik poligami."
Sebenarnya, perlu ditegaskan di sini bahwa istilah 'poligami' memiliki cakupan makna yang lebih luas. Secara teknis, ia dapat mengacu pada praktik seorang pria memiliki banyak istri (poligini) atau seorang wanita memiliki banyak suami (poliandri). Namun, dalam tradisi klasik Islam-Yahudi, poliandri—yaitu, seorang wanita yang memiliki banyak suami—dilarang keras. Sebaliknya, poligini—seorang pria yang memiliki hingga empat istri—diizinkan dalam batas tertentu. Meskipun demikian, dalam percakapan sehari-hari, istilah 'poligami' seringkali digunakan sebagai sinonim untuk 'poligini,' terutama dalam konteks diskusi Islam.
Penting untuk ditekankan bahwa Al-Qur'an sendiri tidak serta merta memberikan izin yang bersifat umum dan tanpa syarat untuk praktik poligami, seperti yang kerap dipahami dalam hukum Islam klasik. Perlu kita ingat bahwa hukum Islam klasik merupakan hasil dari perpaduan antara wahyu Al-Qur'an, tradisi lisan (Hadits), serta penafsiran dan elaborasi para ulama Muslim sepanjang sejarah. Al-Qur'an, dalam kasus ini, menyajikan izin bersyarat. Yaitu, 'Jika kamu khawatir tidak akan dapat berbuat adil terhadap anak-anak yatim, maka nikahilah perempuan-perempuan yang cocok untukmu, dua, tiga, dan empat.'
Frasa 'nikahilah ibu-ibu anak yatim' mungkin menangkap esensi terdalam dari ayat ini. Bayangkan konteks masyarakat awal Islam, di mana sistem kesejahteraan negara modern belum berkembang. Siapa yang bertanggung jawab untuk merawat anak-anak yatim, terutama ketika banyak umat Muslim yang berasal dari kalangan ekonomi lemah? Banyak dari mereka adalah kaum Muhajirin—para migran yang meninggalkan harta benda dan kemewahan di kampung halaman mereka, Makkah, demi menghindari penganiayaan. Mereka tiba di Madinah dengan tangan hampa, terkadang hanya dengan pakaian di badan mereka.
Dalam periode awal pembentukan masyarakat Muslim di Madinah, di mana Nabi Muhammad SAW menghabiskan 10 tahun terakhir hidupnya, sistem pemerintahan yang mapan untuk memberikan perlindungan kepada kelompok rentan—terutama anak-anak yatim—belum sepenuhnya terbentuk. Oleh karena itu, Al-Qur'an memberikan perhatian khusus pada tanggung jawab individu untuk merawat mereka. Salah satu bentuk kepedulian yang dianjurkan adalah dengan menikahi istri-istri dari para pejuang yang gugur dalam pertempuran. Perlu diingat bahwa pada masa itu, masyarakat Muslim menghadapi ancaman serius dari kekuatan musuh yang berupaya untuk memusnahkan komunitas Muslim dan keyakinan mereka. Akibatnya, banyak pria Muslim kehilangan nyawa mereka dalam upaya mempertahankan perbatasan masyarakat Islam.
Situasi ini menimbulkan pertanyaan penting: Bagaimana kita harus menangani situasi anak-anak yatim yang kehilangan ayah mereka dalam perang, dan bagaimana pula dengan para janda yang ditinggalkan? Ayat ini menawarkan solusi praktis yang tampaknya dapat menyelesaikan dua masalah sekaligus. Dengan menikahi para janda, seorang pria dapat memberikan perlindungan dan perawatan kepada anak-anak yatim mereka. Namun, perlu diakui bahwa para janda pada masa itu mungkin memiliki keraguan untuk menikah lagi, karena fokus utama mereka adalah untuk membesarkan dan merawat anak-anak mereka.
Oleh karena itu, penekanan utama dari ayat ini adalah pada kesejahteraan anak-anak yatim. Jika seseorang khawatir bahwa ia tidak akan mampu memenuhi kebutuhan dan hak-hak anak yatim dengan adil, maka dianjurkan untuk menikahi perempuan lain, dua, tiga, atau empat. Hal ini dianggap sebagai tindakan yang lebih tepat untuk memastikan terpenuhinya keadilan.
Namun, jika seseorang merasa khawatir bahwa ia tidak akan mampu memenuhi tanggung jawab yang berat ini dengan adil, maka lebih baik untuk menikahi hanya satu perempuan. Tindakan ini dianggap sebagai cara terbaik untuk memastikan keadilan. Untuk memahami nuansa dari ayat ini secara utuh, perlu kita renungkan makna aslinya dalam bahasa Arab. Jika seseorang khawatir bahwa ia tidak akan mampu berbuat adil terhadap anak yatim, dalam konteks di mana mungkin ada situasi di mana anak-anak yatim diabaikan atau ditelantarkan oleh masyarakat secara keseluruhan, maka apa yang dapat dilakukan oleh individu? Salah satu tindakan yang dianjurkan adalah untuk menikahi ibu dari anak-anak yatim tersebut, dengan demikian memberikan perlindungan kepada para janda dan anak-anak yatim mereka.
Dalam konteks ini, pernikahan seorang pria dengan ibu-ibu yatim dapat dilihat sebagai sebuah solusi. Langkah ini tidak hanya memberikan perlindungan dan perawatan kepada para janda dari rekan seperjuangan yang telah meninggal, tetapi juga secara otomatis mengamankan masa depan anak-anak yatim mereka. Namun, Al-Qur'an secara eksplisit mengingatkan bahwa bahkan tindakan mulia ini harus dilakukan dengan sangat hati-hati. Ketidakadilan dapat muncul dalam berbagai bentuk. Potensi ketidakadilan tidak terbatas pada perlakuan yang tidak setara terhadap istri-istri yang mungkin ada. Lebih jauh lagi, terdapat risiko ketidakadilan terhadap diri sendiri.
Penting untuk dipahami bahwa ajaran Islam, di samping mendorong perbuatan baik, ibadah yang tekun, dan doa-doa tambahan, juga menekankan pentingnya menjaga kesejahteraan diri. Kesehatan fisik, mental, dan emosional adalah hak individu yang harus dihormati. Oleh karena itu, kita tidak boleh berlebihan dalam mengejar satu aspek positif dengan mengorbankan keseimbangan yang lain.
Mengambil tanggung jawab tambahan dengan menikahi istri kedua, ketiga, atau bahkan keempat, dengan tujuan merawat para wanita dan anak-anak ini, bukanlah tugas yang ringan. Beban tanggung jawab ini mungkin terlalu berat untuk ditanggung oleh sebagian orang. Oleh karena itu, seorang pria harus dengan serius mempertimbangkan kemampuan dirinya untuk bertindak adil. Apakah ia dapat memperlakukan dirinya sendiri dengan baik? Apakah ia dapat memperlakukan semua istri dengan adil dan hormat? Apakah ia mampu membangun hubungan yang bermakna dan sehat dengan semua individu yang terlibat? Dan yang terpenting, bagaimana dengan anak-anak?
Seperti yang kita ketahui, tantangan dalam mengasuh dan merawat anak-anak dalam satu rumah tangga saja sudah besar. Bayangkan kesulitan dan kompleksitas yang meningkat secara eksponensial jika seorang pria harus mengelola dua, tiga, atau empat rumah tangga dengan anak-anak di masing-masingnya. Dalam konteks modern, hal-hal seperti janji temu dokter yang tak terhitung jumlahnya dapat menjadi sangat memberatkan.
Oleh karena itu, ada risiko nyata bahwa seorang pria yang mencoba untuk mengambil tanggung jawab tambahan ini mungkin tidak dapat memenuhi kebutuhan semua pihak. Ia mungkin gagal merawat dirinya sendiri dengan baik, mungkin tidak mampu memperlakukan para istri dengan adil, dan mungkin tidak dapat memberikan perhatian dan waktu berkualitas yang dibutuhkan oleh setiap anak. Beban yang terlalu berat dapat membuatnya terpecah dan kelelahan. Itulah sebabnya Al-Qur'an memberikan peringatan yang jelas.
Apabila akhirnya seseorang khawatir tidak akan mampu memenuhi tuntutan keadilan dalam mengambil langkah besar untuk melakukan kebajikan ini, maka solusi yang dianjurkan adalah untuk tetap pada pernikahan monogami. Ayat tersebut kemudian menegaskan bahwa pilihan ini merupakan jalan yang paling tepat untuk menghindari penyimpangan dari prinsip keadilan. Memang, jika kita merenungkan dengan seksama, ayat ini secara mendasar berpusat pada konsep keadilan yang mutlak. Kata 'adil' atau padanannya menggunakan berbagai istilah yang kaya makna dalam bahasa Arab.
Dengan demikian, jelaslah bahwa keadilan merupakan inti dari pesan yang ingin disampaikan oleh ayat ini. Namun, ironisnya, ketika beberapa ulama Muslim menafsirkan ayat ini seolah-olah memberikan kebebasan mutlak kepada seorang pria untuk menikahi hingga empat wanita sekaligus tanpa memperhatikan syarat, ketentuan, atau bahkan mempertimbangkan masalah keadilan yang mendasar, saya berpendapat bahwa mereka sebenarnya telah menyimpang jauh dari maksud ayat itu sendiri dan, oleh karena itu, melakukan kesalahan dalam penafsirannya.
Penting untuk selalu diingat bahwa ayat tersebut diawali dengan sebuah syarat yang krusial: 'Jika kamu khawatir bahwa kamu tidak akan berbuat adil terhadap anak-anak yatim, maka nikahilah perempuan-perempuan yang cocok untukmu, dua dan tiga dan empat.' Sayangnya, 'jika' ini seringkali diabaikan dalam diskusi mengenai ayat tersebut."
Maka syarat fundamental ini cenderung dilupakan ketika ayat ini dibahas. Akibatnya, praktik yang muncul di era modern, di mana poligami dilakukan secara umum tanpa memperhatikan batasan, seringkali membuahkan ketidakadilan yang signifikan. Kita sering menyaksikan langsung dampak buruk dari hal ini. Kia berinteraksi dengan komunitas dan menghadapi masalah nyata di lapangan, dan kita sering menjumpai luka mendalam dan kesulitan yang muncul, terutama bagi istri pertama.
Oleh karena itu, kita harus selalu mengedepankan prinsip keadilan. Kita perlu menyadari bahwa izin ini diberikan pada saat dan dalam konteks tertentu, ketika ada kebutuhan mendesak untuk itu. Situasi khusus pada saat itu, terutama kematian banyak pria Muslim dalam pertempuran dan kebutuhan untuk merawat anak-anak yatim mereka, harus dipahami sebagai latar belakang penting. Tentu ada banyak aspek lain yang bisa dibahas, tetapi saya percaya bahwa wacana yang berkembang saat ini telah mencapai kesimpulan yang masuk akal: kita harus memperhatikan dengan cermat makna harfiah ayat tersebut dan menghindari penafsiran yang keliru.