Antara Literal dan Metaforis Memahami Bahaya Riba dalam Al-Qur'an
Oleh: Donny Syofyan/Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
Mari kita selami Surah Al-Baqarah ayat 275, sebuah ayat yang mengundang perenungan mendalam tentang bahaya riba. Ayat ini menggambarkan kondisi orang-orang yang terjerat riba dengan sangat kuat: “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila.”
Perlu diingat, ini hanyalah sebagian kecil dari ayat yang lebih panjang, namun sudah cukup untuk memicu diskusi yang menarik. Ayat ini yang secara harfiah berarti, “Adapun orang-orang yang mengambil bunga riba, mereka tidak akan berdiri kecuali seperti berdirinya seseorang yang dirobohkan oleh sentuhan setan.”
Lalu, apa makna di balik gambaran mengerikan ini? Bagaimana mungkin setan merobohkan seseorang dengan sentuhannya? Para mufasir klasik Al-Qur'an umumnya menafsirkan bahwa ayat ini merujuk pada kerasukan setan. Mereka meyakini bahwa setan bukanlah entitas tunggal, melainkan kumpulan makhluk halus dari jenis jin. Makhluk-makhluk ini, menurut mereka, dapat merasuki manusia, menyebabkan mereka bertindak dan berbicara di luar kendali mereka.
Dalam kondisi ini, orang tersebut dikatakan majnûn, dalam bahasa Arab bermakna gila. Tapi secara etimologis berarti 'kerasukan jin.' Pada zaman dahulu, penyakit mental sering kali diklasifikasikan sebagai kerasukan jin. Pandangan ini pun bertahan dalam tafsir-tafsir klasik Al-Qur'an.
Dengan demikian, mereka menafsirkan bahwa orang yang mengambil riba di dunia ini akan bangkit pada hari kiamat dalam kondisi terhuyung-huyung seperti orang gila, atau bahkan seperti orang yang mengalami kejang epilepsi. Kita juga menemukan gagasan serupa dalam Injil, di mana gejala epilepsi kadang-kadang dianggap sebagai tanda kerasukan setan.
Tafsir klasik ini menggambarkan kondisi orang-orang yang terlibat riba seolah-olah mereka dirasuki oleh kekuatan jahat, suatu gambaran yang sangat dramatis. Namun, benarkah ayat ini harus dipahami secara literal? Sebenarnya, ayat ini bisa diartikan secara lebih metaforis, yaitu orang-orang yang terjerumus dalam riba telah didorong oleh keserakahan yang membutakan mata mereka terhadap keadilan dan kemanusiaan.
Keserakahan ini memicu mereka untuk menindas sesama dengan membebankan bunga pinjaman yang mencekik, memaksa mereka membayar lebih untuk memenuhi kebutuhan dasar. Jadi, ayat ini lebih menekankan pada konsekuensi moral dan sosial dari praktik riba, daripada kondisi metafisik.
Dalam konteks zaman modern, kita melihat adanya pergeseran penafsiran. Banyak terjemahan Al-Qur'an dan tafsir berbahasa Inggris mulai menjauhi gagasan kerasukan jin yang literal. Ini membawa kita pada diskusi yang lebih luas mengenai fenomena kerasukan jin, yang merupakan topik kompleks tersendiri. Namun, jika kita terapkan dalam konteks ayat ini, bayangkan konsekuensinya. Jika seseorang mengklaim melakukan kejahatan karena kerasukan jin, maka secara logis ia tidak bertanggung jawab atas tindakannya. Meskipun pembelaan atas dasar gangguan mental juga diakui dalam sistem hukum modern, namun ada perbedaan mendasar.
Dalam kasus gangguan mental, ahli medis dapat melakukan evaluasi objektif untuk menentukan keabsahan klaim tersebut. Namun, bagaimana jika seseorang mengklaim kerasukan jin? Tidak ada metode ilmiah yang dapat membuktikan atau menyangkal klaim tersebut. Ini akan menimbulkan masalah serius dalam sistem hukum Islam, karena setiap orang dapat mengklaim kerasukan jin untuk menghindari hukuman.
Faktanya, klaim semacam itu jarang diajukan, yang menunjukkan adanya pemahaman umum di kalangan Muslim bahwa fenomena kerasukan jin, seperti yang digambarkan dalam tafsir klasik, tidak lazim terjadi. Namun, di masa lalu, penyakit sering dikaitkan dengan campur tangan kekuatan jahat. Oleh karena itu, kita perlu berhati-hati dalam menerima mentah-mentah tafsir klasik, dan selalu mengedepankan akal sehat dan pemahaman yang kontekstual.
Pandangan yang mengaitkan penyakit dengan campur tangan iblis atau kerasukan jin merupakan warisan dari kepercayaan kuno, dan sayangnya, sebagian pandangan ini masih mewarnai tafsir-tafsir klasik Al-Qur'an. Penting bagi kita untuk menyadari bahwa Al-Qur'an, bagi umat Muslim, adalah firman Allah yang tak terbantahkan. Sementara tafsir, pada dasarnya, adalah upaya manusia untuk memahami dan menjelaskan firman tersebut. Oleh karena itu, kita harus selalu membedakan antara teks suci itu sendiri dan interpretasi yang diberikan oleh manusia.
Dalam konteks ayat ini, penafsiran yang lebih relevan dan sesuai dengan konteks zaman modern adalah sebagai berikut: “Adapun orang-orang yang terjerumus dalam riba, mereka akan bangkit di hari kiamat dalam kondisi yang menyerupai orang yang kehilangan akal sehatnya, yang didorong oleh keserakahan yang membutakan.” Dengan kata lain, ayat ini menggambarkan bagaimana keserakahan yang tak terkendali dapat merusak jiwa manusia, membuatnya berperilaku di luar nalar sehat, dan pada akhirnya, membawa kehancuran pada dirinya sendiri.