Atur Pambagyo Harjo

Publish

11 May 2025

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
433
Doc. Istimewa

Doc. Istimewa

Oleh: Khafid Sirotudin, Ketua Bidang Diaspora Kader MPKSDI PP Muhammadiyah

Hari ini, Sabtu 10 Mei 2025, saya diminta H Djunaidi dan Hj Djamilatun, paklik (paman) kami menjadi “talanging atur” dalam tasyakuran “ngundhuh mantu” di Weleri. Ada dua tugas saya, yaitu “pasrah tampi” pengantin dan “atur pambagyo harjo”. Sepekan lalu, Mukhlis putranya telah menikah dengan Fitri Indah Sari di Kerawang, Jawa Barat.

Dalam tradisi Jawa, atur pambagyo harjo bermakna sambutan atau ucapan selamat datang untuk para tamu undangan dan hadirin dalam sebuah acara formal (upacara adat, walimatul ‘ursy, resepsi pernikahan). Talanging atur berarti menyampaikan pesan atau ucapan dari shahibul hajat (pemilik kegiatan). Semacam juru bicara atau duta komunikasi pemilik hajatan

Ngundhuh mantu merupakan rangkaian tradisi pernikahan adat Jawa yang diselenggarakan keluarga mempelai pria, yang dilaksanakan (umumnya sepekan) setelah akad nikah dan resepsi di keluarga mempelai wanita (besan). Ngundhuh mantu berarti upacara “mengambil” (menerima) pasangan pengantin, yang menandai penerimaan resmi mempelai wanita ke dalam keluarga besar mempelai pria.

Sejujurnya saya grogi menjadi talanging atur. Lebih nyaman dan tanpa beban jika saya diminta menyanyikan sebuah lagu untuk menghibur hadirin. Saya lebih kuat mental dan pikiran ketika diminta ceramah, berorasi di depan demonstran, mengisi seminar atau berdiskusi panel selama dua jam live streaming. Dibandingkan mewakili keluarga untuk “pasrah tampi pengantin” dan “atur pambagyo harjo” yang masing-masing hanya butuh waktu sepuluh menit.

Meski bukan yang pertama kali –seingat saya pernah 2-3 kali– tetapi saya sudah cukup lama tidak melakoni diri menjadi “talanging atur” dalam upacara pernikahan ala adat Jawa. Apalagi 25 tahun lalu, saya tidak khatam (tuntas, selesai) saat mengikuti Kursus Pranatacara (Pembawa Acara) dan Pamedhar Sabda (Public Speaking) berbahasa Jawa yang diadakan Permadani (Persaudaraan Masyarakat Budaya Nasional Indonesia) Kabupaten Kendal.

Sebagai wujud “birrul walidain” kepada sesepuh, akhirnya saya sanggupi tugas dari keluarga besar Bani Abdul Rahman, trah keluarga Ibu dari Klaten yang telah bermukim selama 60 tahun di Kampung Solo (Kampung Klenteng, Pecinan), Dukuh Kedonsari, Desa Penyangkringan, Kecamatan Weleri, Kabupaten Kendal. Apalagi keluarga besan berasal dari Kerawang Jawa Barat. Sehingga memantapkan diri kami menggunakan “Bahasa Campursari” Indonesia-Jawa. Tentu saya malu jika keluarga besan berasal dari Yogyakarta atau Surakarta yang berbahasa Jawa Kromo Inggil (bahasa Jawa yang paling tinggi derajatnya).

Kami pernah menghadiri undangan resepsi pernikahan dari teman pengusaha di Semarang yang menggunakan tiga bahasa: Indonesia, Inggris dan Mandarin. Putrinya mendapatkan suami warga negara Tiongkok, teman kuliah di Singapura. Usut punya usut, keluarga besan hanya bisa berbahasa Mandarin, teman saya tidak bisa berbahasa Inggris apalagi Mandarin, sementara teman-teman pasangan pengantin yang hadir kebanyakan berbahasa Inggris. Saya tidak tahu saat mengikrarkan akad nikah apakah memakai bahasa Inggris atau Mandarin.

Walakin, tugas sebagai talanging atur hari ini dapat saya laksanakan dengan sebaik-baiknya. Meski awalnya sedikit nervous, selanjutnya lancar jaya laksana memberikan kultum (kuliah tujuh menit). Kultum adalah “Tradisi Muhammadiyah” semacam memberikan kata pengantar (prolog), pidato iftitah atau pengantar kegiatan pada berbagai forum rapat, musyawarah, pengajian dan arisan ibu-ibu ‘Aisyiyah, Organisasi Otonom (Ortom) dan AUM (Amal Usaha Muhammadiyah). Kultum berisi narasi, pesan dan hikmah kehidupan. Kultum sebagai pengingat peserta yang hadir untuk saling ta’aruf (mengenal), tafahum (memahami), ta’awun (bersinergi), takaful (mengayomi).

Saya baca salah satu wasiat KHA Dahlan terkait diaspora kader, yang menyatakan : “Kelak anak kita akan tersebar bukan sadja di seluruh Indonesia, kemungkinan djuga di seluruh dunia, dan bukan sadja dibenum karena keahliannja atau untuk menuntut ilmu pengetahuan, tapi kemungkinan djuga karena hubungan dengan perkawinan”. (Riwayat Hidup KHA Dahlan. 1968, Yunus Salam, Djakarta : Penerbit Depot Pengadjaran Muhammadiyah. Cetakan ke-2 hal.52).

Sejalan dengan firman Allah, yang artinya :

“Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan. Kemudian Kami menciptakan (menjadikan) kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kalian saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Teliti”. (Qs. Al-Hujurat : 13).


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Humaniora

Melihat dari Dekat Negeri Tiongkok Melalui Provinsi Xinjiang dan Guangdong (1) Oleh: Ahmad Dahlan, ....

Suara Muhammadiyah

28 August 2024

Humaniora

Sedekah Sumber Berkah  Oleh: Sringatin  Sedekah merupakan kata yang tidak asing lagi di ....

Suara Muhammadiyah

4 May 2024

Humaniora

Oleh: Cristoffer Veron P Hidup ini sarat dengan teka-teki. Tidak ada yang tahu dalam diri setiap in....

Suara Muhammadiyah

20 December 2023

Humaniora

Cerpen: Suratini Eko Purwati Ada tetangga, penduduk asli kampung menjual rumah keluarga dan ada pen....

Suara Muhammadiyah

8 September 2023

Humaniora

Suasana pagi Jumat, pada penghujung bulan Dzulqa’dah tertanggal 7 Juni 2024, terlihat sebanyak....

Suara Muhammadiyah

7 June 2024

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah