Babi, Alkohol, dan Akal Sehat (Bagian 2)
Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
Dampak alkohol meluas jauh melampaui tubuh individu, menyentuh inti masyarakat. Konsumsi alkohol sering kali menjadi katalisator bagi kerugian sosial yang masif: mulai dari peningkatan risiko kecelakaan fatal hingga kasus kekerasan dalam rumah tangga. Daftar bahaya sosialnya terus bertambah. Oleh karena itu, bagi umat Islam, larangan dalam Al-Qur'an (yang secara tegas menyebutnya sebagai perbuatan setan, Surah Al-Ma'idah 5:90) berfungsi sebagai perlindungan Ilahi. Islam mempersiapkan para pengikutnya untuk menjadi teetotaler—pantang total. Dengan melarangnya sejak awal, Muslim tidak perlu bergumul dengan pertanyaan 'kapan harus berhenti?'. Jawabannya adalah: berhenti di titik awal, jangan pernah memulainya sama sekali. Ini adalah kunci untuk mencapai kesuksesan spiritual dan sosial yang dijanjikan dalam Al-Qur'an.
Mungkin ada yang berpendapat, 'Mengapa Islam begitu keras? Bukankah saya boleh bersenang-senang? Menariknya, larangan ini bukanlah monopoli Islam. Jika kita menoleh ke tradisi agama lain, kita menemukan kesamaan yang mencolok.
Ambil contoh Buddhisme. Dari Lima Sila (Panca Sila) dasar, empat di antaranya sejalan dengan perintah moral universal (mirip dengan Sepuluh Perintah Alkitab, seperti larangan membunuh, mencuri, berbohong, dan perzinahan). Namun, yang mengejutkan, sila kelima adalah larangan untuk menjauhi minuman yang memabukkan (alkohol). Dalam konteks Buddhisme, ini menempatkan larangan alkohol pada tingkat moralitas yang sama pentingnya dengan dasar-dasar etika universal lainnya. Meskipun praktik antar sekte dapat berbeda, penempatan larangan ini menegaskan bahwa ajaran untuk menjauhi alkohol memiliki akar yang dalam dan dihormati di luar dunia Islam.
Jejak pantangan alkohol tidak berhenti pada Islam dan Buddhisme; ia menyebar luas di antara tradisi iman lainnya. Banyak penganut Hindu, terutama yang tradisional, menganut keyakinan bahwa alkohol berbahaya dan memilih untuk menghindarinya sebagai bagian dari praktik spiritual mereka. Dalam Yudaisme, meskipun ritual Paskah (Seder Pesach) secara tradisional melibatkan anggur, banyak komunitas Yahudi modern—bahkan di kalangan Ortodoks—mengganti anggur dengan jus anggur atau menganut prinsip pantangan total (teetotalism) sebagai sebuah keutamaan.
Sementara inti dari keyakinan Kristen adalah larangan keras terhadap kemabukan (drunkenness), yang dipandang negatif dalam Alkitab. Sementara perjamuan Ekaristi/Komuni melibatkan setetes anggur atau, di banyak denominasi, jus anggur, banyak kelompok Kristen mengambil langkah lebih jauh. Beberapa denominasi besar, seperti kelompok tertentu dari Baptis, Metodis, Advent Hari Ketujuh, dan Gereja Yesus Kristus dari Orang-Orang Suci Zaman Akhir (Mormon), dikenal dan dihormati karena komitmen mereka terhadap pantangan total dari alkohol.
Jelas bahwa umat Islam tidak sendirian dalam prinsip menjauhi alkohol. Namun, poin terpentingnya adalah: seseorang tidak perlu menjadi pemeluk agama untuk mengakui bahayanya. Larangan alkohol adalah masalah kepraktisan universal. Kerugiannya sangat nyata: merusak kesehatan individu, menghancurkan tatanan keluarga, memicu kekerasan sosial, dan menyebabkan pemborosan finansial yang signifikan. Dengan mengenali dan menghindari kerugian-kerugian ini, kita hanya bertindak berdasarkan akal sehat dan menjaga kesejahteraan—sebuah kebenaran yang melampaui kitab suci apa pun.
Singkatnya, ketika seseorang mungkin beralih ke alkohol untuk mencari ketenangan palsu, atau mencoba melupakan kekhawatiran sesaat, Islam menawarkan jalur yang jauh lebih tinggi dan berkelanjutan. Umat Muslim diajarkan untuk mencari kedamaian dan kenyamanan sejati melalui meditasi, doa khusyuk di hadapan Tuhan, dan membaca Al-Qur'an. Dengan demikian, tidak ada kebutuhan untuk mencari penghiburan dari zat yang memabukkan.
Larangan ganda terhadap babi dan alkohol, yang berakar pada bahaya kesehatan historis (babi) dan bahaya kesehatan-sosial yang abadi (alkohol), melayani tujuan yang lebih besar. Al-Qur'an menanamkan rasa harga diri dan martabat yang mendalam pada umat Islam.
Larangan ini menciptakan batas yang jelas: 'Saya tidak makan itu, saya tidak menyentuh itu, saya tidak minum itu.' Ini bukan sekadar aturan, melainkan afirmasi dari harga diri tinggi dan komitmen untuk melestarikan tubuh dan pikiran.
Secara linguistik dan teologis, larangan alkohol memiliki makna yang sangat mendalam. Dalam bahasa Arab, alkohol disebut khamr (خمر). Kata ini berasal dari akar kata yang sama dengan khimar (خمار)—penutup kepala wanita. Makna tersiratnya jelas: alkohol dilarang karena ia 'menutup' atau 'mengaburkan' akal.
Bagi seorang Muslim, intelek (akal) adalah salah satu karunia terbesar dari Tuhan. Melindungi akal berarti melindungi kemampuan kita untuk membuat penilaian yang waras, berpikir jernih, dan menjalani hidup dengan rasionalitas. Roh di balik larangan ini bukanlah untuk mencabut kenikmatan, melainkan untuk mempertahankan kenikmatan sejati yang datang dari penggunaan intelek yang jernih dan tidak tertutup. Inilah yang memungkinkan kita untuk bertindak lurus, membuat keputusan yang benar, dan sepenuhnya menikmati buah dari penilaian yang rasional.
 
                             
                                    
 
                                    

