Berhentilah Menipu Rakyat
Oleh: Dr. Ijang Faisal, M.Si, Kepala LPPM Universitas Muhammadiyah Bandung
Sudah terlalu lama rakyat disuguhi narasi bahwa pejabat negara bekerja dengan gaji kecil. Slip gaji resmi yang terlihat sederhana kerap dipakai untuk membangun kesan bahwa jabatan publik dijalani dengan penuh pengorbanan. Namun kenyataan jauh berbeda. Di balik angka kecil itu tersembunyi deretan tunjangan berlapis dengan berbagai istilah, yang nilainya bisa berkali lipat dari gaji pokok.
Data Kementerian Keuangan (2023) menunjukkan, penghasilan pejabat publik tidak hanya terdiri dari gaji, tetapi juga tunjangan keluarga, jabatan, perumahan, hingga tunjangan kinerja yang bisa mencapai 5–10 kali lipat dari gaji pokok. Kasus viral tunjangan perumahan DPR RI pada 2025 hanyalah satu potret kecil dari praktik besar yang sering tersembunyi. Setiap anggota DPR RI menerima sekitar Rp70 juta per bulan untuk tunjangan perumahan, meski banyak di antara mereka telah memiliki rumah pribadi. Setelah publik memprotes, tunjangan itu memang dihentikan sementara, tetapi praktik serupa tetap berlanjut dalam bentuk lain dengan nama yang berbeda.
Fenomena ini bukan hanya terjadi di pusat, melainkan juga di daerah. Lembaga Kajian Tata Kelola (2024) mencatat DPRD provinsi, kabupaten, dan kota menikmati berbagai tunjangan tambahan: komunikasi intensif, transportasi, perumahan, hingga aspirasi. Di Jawa Barat, misalnya, anggota DPRD provinsi bisa menerima lebih dari Rp50 juta per bulan, padahal gaji pokok mereka hanya sekitar Rp4–5 juta. Artinya, tunjangan justru melampaui gaji, bahkan melebihi penghasilan pejabat eselon II yang berada di bawahnya.
Situasi serupa juga dialami pejabat eksekutif di daerah. Tunjangan kinerja, jabatan, rumah dinas, mobil dinas semuanya dibiayai oleh APBD, yang sejatinya bersumber dari pajak rakyat. Ironisnya, ketika rakyat masih harus bergulat dengan mahalnya harga sembako, biaya kesehatan, dan ongkos pendidikan, pejabat justru hidup nyaman di balik kata tunjangan. Jurang empati antara penguasa dan yang dikuasai pun semakin melebar.
Legalitas Bukan Alasan Menipu Rakyat
Memang benar, semua tunjangan pejabat dilegitimasi regulasi: mulai dari UU No. 17 Tahun 2014 hingga Peraturan Presiden tentang tunjangan kinerja ASN. Tetapi legalitas tidak selalu sejalan dengan moralitas, karena yang hilang adalah ruh keadilan.
Anggota DPR RI, misalnya, pada 2025 hanya bergaji pokok sekitar Rp4,2 juta. Namun di luar itu, mereka memperoleh tunjangan perumahan Rp70 juta per bulan, tunjangan komunikasi, dan fasilitas lain. Legal? Ya. Tapi pantas? Belum tentu. Fenomena serupa juga terjadi di DPRD kabupaten/kota mereka berlomba membesarkan tunjangan yang membuat publik semakin sulit percaya.
Ini bukan sekadar masalah administrasi, tetapi soal etika. Dalam teori etika publik, praktik menampilkan gaji pokok yang kecil sambil menyembunyikan realitas tunjangan besar disebut misleading disclosure: penyampaian informasi menyesatkan meski secara hukum sah. Dampaknya lebih berbahaya, karena perlahan pejabat terjebak hidup dalam “gelembung kesejahteraan” yang menjauhkan mereka dari realitas rakyat yang sesungguhnya.
Bank Dunia (2024) menegaskan: salah satu hambatan kebijakan sosial di negara berkembang adalah rendahnya empati elite terhadap rakyat miskin. Bagaimana mungkin lahir kebijakan adil, bila realitas kesulitan rakyat tak pernah mereka rasakan? Yang ada mereka pejabat jauh dari kata sulit.
Integritas, Kunci Mengembalikan Kepercayaan
Masalah tunjangan bukan sekadar soal angka, melainkan soal integritas. Regulasi dapat mengatur besaran gaji dan fasilitas, tetapi tanpa integritas, aturan hanyalah topeng formalitas.
Pakar tata kelola pemerintahan Robert Klitgaard (2018) mengingatkan, birokrasi sehat dibangun di atas prinsip accountability dan restraint: keberanian pejabat membatasi diri dari fasilitas berlebihan. Di tengah ketimpangan sosial yang nyata, BPS mencatat indeks gini Indonesia pada 2024 berada di angka 0,388, artinya keadilan harus ditempatkan di atas kepentingan pribadi.
Transparansi mutlak diperlukan. Seluruh komponen penghasilan pejabat baik gaji maupun tunjangan harus diumumkan terbuka agar rakyat tahu ke mana uang mereka dialirkan. KPK sejak 2022 sudah mendorong transparansi belanja aparatur negara untuk mencegah moral hazard. Tanpa keberanian memangkas tunjangan yang tidak relevan, sulit berharap pejabat menjadi teladan.
Francis Fukuyama (1995) menegaskan, modal sosial berupa kepercayaan publik adalah fondasi institusi politik. Tanpa kepercayaan rakyat, legitimasi pemerintahan rapuh meski dukungan hukum formal tampak kuat. Transparency International (2023) juga mencatat Indonesia masih berada di peringkat 110 dari 180 negara dalam Indeks Persepsi Korupsi, indikasi tersebut menunjukan bahwa integritas pejabat publik masih menjadi pekerjaan rumah besar bagi bangsa ini.
Teladan Kesederhanaan, Bukan Kemewahan
Bangsa ini membutuhkan pemimpin sederhana, jujur, dan terbuka bukan pejabat yang lihai menyembunyikan kesejahteraan dengan istilah teknis: komunikasi, representasi, kinerja, atau sejenisnya. LIPI (2022) menegaskan bahwa jarak sosial antara elite politik dan rakyat adalah faktor utama rendahnya kualitas demokrasi.
Sejarah telah memberi teladan. Soekarno kerap menekankan, jabatan publik adalah amanah dengan tanggung jawab moral, bukan sekadar akses kekuasaan. Kesederhanaan pemimpin justru menjadi perekat moral bangsa.
Karena pada akhirnya, rakyat bisa bersabar dalam kesulitan, tetapi rakyat tidak bisa ditipu selamanya. Sekali kepercayaan hilang, ia tidak akan mudah kembali. Tidak ada regulasi yang bisa menggantikannya. Hanya integritas dan keteladanan yang mampu mengembalikan harapan rakyat.
Berhentilah menipu rakyat. Sebab kepercayaan adalah modal utama kepemimpinan, dan jika hilang, ia akan sulit dipulihkan kembali. Wallahu’alam