Bukan Konflik, tapi Harmoni: Memahami Evolusi dalam Kacamata Islam

Publish

13 October 2025

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
37
Foto Istimewa

Foto Istimewa

Bukan Konflik, tapi Harmoni: Memahami Evolusi dalam Kacamata Islam

Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas

Pertanyaan besar yang sering muncul adalah: Apakah Islam dan teori evolusi bisa berjalan beriringan? Banyak orang merasa keduanya tidak kompatibel, dan ada dua alasan utama untuk pandangan ini.

Sebagian orang beranggapan bahwa karena sains dapat menjelaskan kemunculan kehidupan dan keragaman spesies hanya melalui evolusi—tanpa menyebutkan Tuhan—itu berarti Tuhan tidak ada. Namun, pemahaman ini keliru. Sains tidak bertujuan membuktikan keberadaan sesuatu, melainkan mencoba membantah hipotesis.

Seperti yang dijelaskan oleh filsuf sains Karl Popper, sebuah hipotesis baru menjadi teori ketika telah diuji berkali-kali dan tidak berhasil dibantah. Namun, sebuah teori, termasuk teori evolusi, bukanlah fakta absolut. Teori tetap terbuka untuk dipertanyakan, diuji ulang, dan bahkan bisa saja diganti di masa depan.

Oleh karena itu, sains tidak bisa membantah keberadaan Tuhan atau kekuatan supernatural, karena hal-hal tersebut tidak berada dalam ranah yang bisa diuji oleh metode ilmiah. Sains bisa mendeskripsikan proses evolusi, misalnya bagaimana satu organisme berubah secara bertahap menjadi spesies baru, tetapi sains tidak dapat memastikan apakah ada entitas ilahi yang membimbing seluruh proses tersebut. Sains tidak memiliki wewenang untuk menjawab pertanyaan tentang Tuhan.

Di sisi lain, ada penganut agama yang merasa ajaran suci mereka bertentangan dengan evolusi. Mereka mungkin menafsirkan teks-teks agama secara harfiah, seperti ayat yang menyatakan bahwa setiap spesies bereproduksi menurut jenisnya.

Penafsiran ini memunculkan perbedaan antara mikro-evolusi (perubahan kecil di dalam satu spesies, yang bisa diterima) dan makro-evolusi (perubahan besar yang menghasilkan spesies baru, yang tidak diterima). Dalam pandangan ini, evolusi besar-besaran tidak mungkin terjadi. Akibatnya, mereka merasa harus memilih salah satu: evolusi atau penciptaan, tidak keduanya. Pemikiran ini menciptakan dikotomi yang tidak perlu, padahal ada kemungkinan besar keduanya bisa saling melengkapi.

Dalam dunia Islam, perdebatan tentang evolusi bukanlah hal baru. Ada ketegangan antara dua pandangan: sains yang melihat evolusi sebagai proses alami tanpa intervensi Tuhan, dan ajaran Islam yang menekankan bahwa penciptaan sepenuhnya berasal dari Tuhan.

Namun, banyak pemikir Muslim berpendapat bahwa kedua pandangan ini tidak harus saling bertentangan. Mereka menawarkan gagasan yang menarik: Tuhan bisa jadi menggunakan evolusi sebagai mekanisme-Nya untuk menciptakan kehidupan. Dalam konteks ini, evolusi bukanlah proses buta dan acak, melainkan sebuah proses yang dibimbing secara ilahi. Dari sudut pandang ilmuwan, evolusi mungkin terlihat seperti kebetulan, tetapi bagi seorang Muslim, itu adalah bukti dari kebijaksanaan dan kuasa Tuhan yang mengarahkan setiap perubahan.

Banyak cendekiawan Muslim telah mencoba menjembatani kesenjangan ini. Salah satu contohnya adalah Dr. Maurice Bucaille dalam bukunya What Is The Origin of Man? yang secara khusus membahas topik evolusi dan penciptaan. Ia dikenal luas melalui karyanya yang lebih populer, The Bible, Quran, and Science.

Dalam bukunya tersebut, Dr. Bucaille menganalisis teori evolusi, terutama evolusi manusia, dan membandingkannya dengan ajaran Al-Qur'an. Ia sampai pada dua kemungkinan penafsiran tentang penciptaan Nabi Adam. Pertama, Adam diciptakan di luar sistem evolusi, kemudian ditempatkan di Bumi yang sudah dihuni oleh makhluk lain. Dengan kata lain, Adam 'dimasukkan' ke dalam ekosistem yang sudah ada. Hal ini mengharuskan Adam memiliki anatomi dan fisiologi yang mirip dengan makhluk lain agar bisa beradaptasi. Kedua, Adam merupakan bagian dari proses evolusi itu sendiri. Artinya, Adam adalah hasil dari proses evolusi yang sudah berjalan, yang kemudian dipilih oleh Tuhan untuk menerima wahyu dan menjadi manusia pertama dalam konteks keagamaan.

Kedua penafsiran ini menunjukkan adanya fleksibilitas dalam menafsirkan teks suci agar bisa sejalan dengan penemuan ilmiah, menawarkan jalan tengah yang harmonis antara iman dan akal.

Cendekiawan seperti David Solomon Jalajel juga mencoba menjembatani kesenjangan antara teori evolusi dan teks-teks Islam, khususnya dengan mengacu pada Hadits. Meskipun upayanya tidak selalu mulus, gagasan utamanya membuka pintu bagi pemikiran yang lebih luas.

Alih-alih menganggap sains dan agama sebagai musuh, kita bisa melihat keduanya sebagai dua cara berbeda untuk menggambarkan satu realitas yang sama. Sains menjelaskan bagaimana kehidupan muncul melalui rantai sebab-akibat evolusi, sementara agama menjelaskan mengapa hal itu terjadi.

Menurut pandangan ini, evolusi bukanlah proses buta, melainkan proses yang dibimbing secara ilahi. Tuhan tidak hanya menciptakan, tetapi juga mengarahkan setiap langkah evolusi, memastikan hasilnya sesuai dengan kehendak-Nya. Manusia, pada akhirnya, adalah puncak dari aktivitas kreatif Tuhan melalui proses evolusi ini.

Jadi, solusinya bukan memilih "salah satu," tetapi menerima "keduanya": penciptaan melalui evolusi. Evolusi tidak lagi dilihat sebagai proses acak dan naturalistik, melainkan sebagai seleksi ilahi. Bukan alam yang memutuskan organisme mana yang bertahan hidup, melainkan Tuhan yang memberikan kemampuan dan naluri yang diperlukan agar organisme tersebut bisa beradaptasi dan bertahan. Ini adalah harmoni yang indah antara sains dan keimanan.

Jika kita menerima gagasan bahwa Tuhan membimbing proses evolusi, lantas di mana posisi Nabi Adam? Sains menunjukkan bahwa Homo sapiens (manusia modern) telah ada sekitar 200.000 tahun, didahului oleh Homo erectus yang ada sejak 500.000 tahun lalu. Kedua spesies ini memiliki kemiripan anatomi dan otak yang signifikan.

Hal ini menunjukkan adanya perkembangan kecerdasan manusia yang bertahap seiring berjalannya waktu, mulai dari Homo habilis, Homo erectus, hingga akhirnya Homo sapiens. Pada titik tertentu dalam proses ini, kecerdasan manusia mencapai tingkat di mana Tuhan menganggap mereka siap.

Tuhan memilih sekelompok manusia dari garis evolusi ini yang sudah mampu memahami perintah dan menjalin hubungan spiritual dengan-Nya. Kelompok ini menjadi komunitas manusia pertama yang bertanggung jawab secara moral. Dalam narasi ini, Nabi Adam tidak harus menjadi manusia pertama secara biologis, melainkan manusia pertama yang ditunjuk sebagai nabi. Beliau adalah figur yang menerima wahyu pertama dari Tuhan, membimbing umatnya, dan menjadi fondasi bagi hubungan manusia dengan Sang Pencipta.

Untuk memahami hubungan antara evolusi dan penciptaan, kita bisa menggunakan analogi dari ajaran Islam: pubertas anak. Dalam Islam, seorang anak tidak dianggap bertanggung jawab atas kewajiban agama hingga mereka mencapai usia pubertas. Pada titik ini, mereka beralih dari "masa polos" menjadi individu yang bertanggung jawab penuh atas tindakan mereka di hadapan Tuhan, karena dianggap telah memiliki kecerdasan yang matang.

Dengan cara yang sama, manusia sebagai spesies bisa jadi mengalami "pubertas" serupa dalam sejarah. Selama ribuan tahun, manusia purba berkembang secara bertahap. Kecerdasan mereka meningkat sampai akhirnya mencapai tingkat di mana Tuhan menilai mereka siap.

Pada titik kedewasaan spiritual ini, Tuhan bisa menjalin hubungan dengan mereka berdasarkan akal dan kesadaran. Di sinilah manusia pertama—yang secara spiritual matang—muncul, dengan Adam sebagai nabi pertama yang memimpin mereka. Dengan pandangan ini, kita bisa mendamaikan sains dan agama. Tuhan menciptakan manusia dan alam semesta melalui proses yang disebut ilmuwan sebagai evolusi. Ini bukanlah proses acak, melainkan mekanisme yang dipilih oleh Tuhan.

Pada akhirnya, tidak ada konflik antara iman dan ilmu. Sebaliknya, ada rekonsiliasi yang indah, di mana sains menjelaskan bagaimana proses penciptaan terjadi, sementara iman menjelaskan mengapa proses itu terjadi. Ini adalah harmoni antara akal dan keyakinan, yang menunjukkan bahwa keduanya bisa saling melengkapi.


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Itikaf yang Membumi, Dari Ritual Menuju Aksi Sosial Berkeadilan Oleh: Firman Nugraha, widyaiswara d....

Suara Muhammadiyah

28 March 2025

Wawasan

Merawat Jejak Sejarah: Cagar Budaya sebagai Cermin Nasionalisme Oleh: Dr. Alfian Dj, Staf Pengajar ....

Suara Muhammadiyah

17 August 2025

Wawasan

Meraih Gelar Kehormatan  Oleh : Dr. Amalia Irfani, M.Si., Dosen IAIN Pontianak/Sekretaris LPP ....

Suara Muhammadiyah

5 August 2024

Wawasan

Sambut Hari Kemenangan dengan Gembira dan Istiqamah dalam Kebajikan Oleh: Rumini Zulfukar (Gus Zul)....

Suara Muhammadiyah

7 April 2024

Wawasan

Saling Membantu dengan Tetangga Oleh: Mohammad Fakhrudin Topik kajian ini merupakan butir ke-5 dar....

Suara Muhammadiyah

18 August 2025

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah