Bullying, Perusak Mental Generasi
Oleh: Amalia Irfani, Sekretaris LPP PWM Kalbar
Fenomena bullying selalu menarik untuk di bahas. Kekerasan yang terkesan sepele, tetapi memiliki efek riskan. Bullying dalam kurun waktu yang panjang akan membuat tunas traumatis individu tumbuh subur, dan sulit untuk dihilangkan. Jika itu dialami oleh seorang anak, maka bisa menurunkan kualitas kebahagiaan hidup.
Dulu jauh sebelum internet menjadi kebutuhan primer, bullying hanya dianggap bagian dari dinamika sosial. Generasi milineal misalnya, jika flasback masa kecil usia sekolah, sepertinya biasa saja diolok, dikucilkan oleh teman, saudara hanya karena fisik atau warna kulit yang berbeda. Candaan mengejek teman dengan menyebutkan nama Bapak menjadi lazim terdengar. Rasanya "seru" melihat teman marah bahkan menangis saat diolok.
Jika mengolok, mengejek dulu dianggap sesuatu yang biasa saja, bukan berarti tidak meninggalkan trauma mendalam bagi seseorang. Zaman sekarang aktifitas tersebut terkategori hinaan atau kekerasan verbal yang dapat mengancam nyawa. Banyak kasus tanpa terkecuali di Indonesia, remaja bunuh diri karena dilecehkan secara emosional. Muncul stres, ketakutan berlebihan, depresi, tekanan batin, dendam yang akhirnya dapat membuat remaja tadi melakukan tindakan amoral. Mengutip Halodoc, WHO merilis bahwa bunuh diri (bundir) merupakan penyebab kematian terbanyak kedua setelah jantung koroner, dan kebanyakan pelaku bundir disebabkan oleh kecemasan berlebihan dan tidak memiliki ruang yang cukup untuk mengekspresikan kekecewaan.
Bullying dan Mental Generasi
Mengapa bullying tidak boleh dipandang sebelah mata ?, tidak lain karena traumatis jangka panjang yang membuat individu akan sering mengalami kecemasan, minder, dan rendah diri, sehingga memicu penyakit kronis di saat dewasa. Centers for Disease Control and Prevention (CDC) seperti artikel yang ditulis oleh Siloam Hospitals Medical Team, mengungkapkan trauma di masa kecil bisa mempengaruhi sistem imun tubuh seseorang di masa depan, dengan meningkatnya resiko berbagai penyakit seperti diabetes, asma, jantung, stroke, dan kanker.
Seorang anak yang telah mengalami traumatis tadi jika tidak segera ditangani dengan penanganan tepat, perlahan akan merasa tidak berharga dan kehilangan kepercayaan diri (self-esteem rendah). Bayangkan jika generasi bangsa memiliki mental breakdown, sedangkan kita pahami bahwa mental sehat adalah sumber utama individu dapat beraktifitas dan bermanfaat untuk dirinya juga orang lain.
Dalam komunikasi sosial, kita pasti pernah diposisi terpuruk hati karena kecewa, terluka dan marah saat mendengar kata-kata seseorang yang ibarat seperti siletan pisau mengeluarkan darah. Maka memposisikan diri untuk menjaga lisan dengan tidak sembarang mengumbar kebencian, terlebih disaat marah adalah budaya baik yang harus dijadikan identitas. Dalam Islam hal tersebut adalah manifestasi iman seorang hamba, Ihsan kita kepada orang lain.
Lalu seperti apa kaitan antara bullying dan mental generasi ?, Faktanya adalah jika anak sering mendengar perkataan kasar, tidak hanya menghambat kecerdasan, tetapi juga perkembangan sosial anak juga ikut bermasalah. Anak tersebut akan mengadopsi pola komunikasi yang agresif, ketika bergaul ia cenderung memiliki masalah dalam membangun hubungan sehat dengan teman sebaya, dan kesulitan dalam menyelesaikan konflik dengan cara yang bijak.
Fakta Sosial Bullying
Dalam kajian sosial, bullying tidak hanya sekedar sebuah perilaku individu yang negatif, tetapi juga gambaran ketidaksetaraan kekuasaan, norma sosial yang berlaku, dan identitas kelompok tertentu.
Misalnya di lingkungan formal atau institusi pendidikan seperti sekolah. Bullying acap kali mewarnai proses belajar mengajar, kontak sosial antara peserta didik yang lain. Gap lain juga muncul di perguruan tinggi, misalnya di ranah pendidikan politik bernama organisasi. Tanpa disadari bullying kental terjadi. Organisasi yang harusnya menjadi wadah belajar memperluas jaringan, meningkatkan kemampuan komunikasi, melatih kepemimpinan, dan meningkatkan rasa percaya diri, justru memberikan rasa lain yang cenderung negatif, dan seharusnya tidak ada di sebuah organisasi mahasiswa.
Berikut beberapa hal negatif bullying yang terjadi di lingkungan sekolah. Pertama, menciptakan lingkungan belajar yang tidak aman, nyaman dan cenderung menakutkan dan tidak membuat betah apalagi menyenangkan. Jika ini tidak segera ditanggulangi maka akan berdampak negatif pada prestasi akademik siswa.
Kedua. Korban bullying akan kehilangan semangat belajar, sulit konsentrasi, kehilangan minat untuk belajar. Di lingkungan kerja, bullying dapat menurunkan produktivitas seperti inovasi dan kreatifitas, meningkatkan turnover karyawan, dan menciptakan iklim kerja yang tidak sehat.
Dari fakta sosial diatas, maka dapat disimpulkan bahwa bullying bukanlah perkara sederhana. Ia adalah fenomena lintas zaman yang akan menggangu stabilitas mental generasi. Ibarat luka dalam yang tidak terlihat tetapi membuat sakit yang tak berkesudahan.