Buruh Perempuan Industri Tembakau

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
210
Buruh perempuan

Buruh perempuan

Oleh: Mukhaer Pakkanna

Sejak 1987, World Health Organization (WHO) mendeklarasikan setiap 31 Mei sebagai Hari Tanpa Tembakau Sedunia (HTTS). Tahun ini bertema: “Unmasking the Appeal: Exposing Industry Tactics on Tobacco and Nicotine Products”. Alasan utama WHO mengusung tema ini, ingin mengungkap pelbagai kamuflase yang dilakukan industri tembakau dalam menghipnotis konsumen, terutama bagi kalangan anak/remaja. 

Mengapa anak/remaja? Karena populasi mereka adalah komposisi pasar terbesar dalam piramida penduduk. Di Tanah Air, diperkirakan 83,99 juta jiwa atau 33 persen dari total populasi. Dan mereka pun, dengan mudah dipenetrasi oleh industri melalui pelbagai iklan dan promosi di media sosial serta pengaruh teman sebaya.

Meningkatnya penerimaan superjumbo industri tembakau tentu disumbang oleh konsumen anak/remaja. Selain itu, masyarakat miskin perokok dan buruh industri tembakau pun ikut berkontribusi. Sebanyak 7,8 juta perokok dari masyarakat miskin lebih memilih membeli rokok daripada kebutuhan makanan sehat dan bergizi. Data menunjukkan, rokok merupakan pengeluaran kedua tertinggi setelah beras, dengan 11,9 persen di perkotaan dan 11,2 persen di pedesaan. 

Industri Rokok 

Di balik tingginya tren tingkat konsumsi rokok di Indonesia, terdapat industri tembakau yang bernilai ratusan juta dolar USA, dengan ratusan ribu orang yang menggantungkan hidupanya pada ekosistem industri ini. Jenis tenaga kerja yang banyak diserap adalah buruh low-skilled  dan sebagian besar buruh perempuan.

Pada Japan Tobacco misalnya, yang bercokol di posisi pertama merupakan perusahaan terkemuka beroperasi pada 132 negara di dunia. Di Indonesia sendiri, Japan Tobacco sudah hadir sejak 2010 atau sejak dimulainya perjanjian impor oleh PT Wismilak Inti Makmur Tbk. Dalam 10 daftar tersebut, ada 2 perusahaan rokok yang tidak asing di Indonesia yakni Gudang Garam (GG) yang menduduki posisi ke 3 dengan menyerap 32,38 ribu buruh dan Sampoerna menyerap buruh hingga 20,74 ribu (2023).

Banyaknya buruh pada dua perusahaan asal Indonesia ini, setalian tingginya konsumsi rokok. Situs tobbacoatlas.org mencatat, 53,7 juta orang dewasa dan 2,6 juta remaja/anak adalah perokok aktif. Angka ini membuat Indonesia menjadi negara bertengger posisi ketiga jumlah perokok terbesarnya di dunia, setelah Rusia dan China. 

Menguatkan data itu, laporan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJCB) Kementerian Keuangan juga menunjukkan, jumlah konsumsi rokok masyarakat Indonesia sebanyak 322 miliar batang pada 2020. Jumlah ini menurun 9,7 persen dibandingkan 2019 yang mencapai 356,5 miliar batang. Dan kemudian menanjak lagi tatkala memasuki masa pandemi Covid-19 yang dipicu banyaknya aktivitas masyarakat di dalam rumah. 

Eksploitasi Buruh 

Dalam industri tembakau di Indonesia, kontribusi buruh perempuan memainkan peran penting. Kemenperin RI (2023) mencatat, dari 5,98 juta tenaga kerja di industri rokok, 4,28 juta bekerja di sektor manufaktur dan distribusi dan 1,7 juta bekerja di sektor perkebunan, dengan komposisi didominasi buruh perempuan.  Di Jawa Timur misalnya, sekitar 97 persen buruh di Industri Hasil Tembakau (IHT) adalah perempuan. 

Merujuk riset World Bank (2018), sebaran wilayah dalam hal penyediaan lapangan kerja di pabrikan tembakau 94 persen terkonsentrasi di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Nusa Tenggara Barat. Lebih spesifik, terdapat beberapa daerah yang mayoritas menggantungkan serapan tenaga kerja di IHT, seperti Kudus (30 persen), Temanggung (27,6 persen) dan Kediri (26 persen). Mayoritas pekerja yang ada di IHT ini, perempuan berusia muda, terutama untuk produksi rokok Sigaret Kretek Tangan (SKT). 

Menukil riset Saptari (2020) dengan mengambil kasus buruh perempuan pabrik rokok HM Sampoerna (Surabaya dan Jombang), ditemukan pabrik rokok lebih banyak mempekerjakan perempuan dibandingkan laki-laki. Alasan, buruh laki-laki banyak terlibat di serikat buruh dan kerapkali melakukan aksi mogok kerja sehingga dianggap dapat menghambat proses produksi. 

Dalam industri ini, para buruh dituntut mengikuti suatu standar kerja yang mengharuskan mereka memproduksi rokok sesuai target. Bahkan, rerata buruh perempuan bekerja 12 jam dengan rincian 7 jam bekerja disektor publik sebagai buruh pabrik dan 5 jam bekerja disektor domestik, sehingga jam kerja perempuan jauh lebih banyak daripada laki-laki. 

Selain itu, menurut laporan Infid (Mei 2023), bekerja di lingkungan pabrik bukanlah tanpa risiko. Buruh perempuan di pabrik rokok juga menjalani pemeriksaan paru sebagai antisipasi dampak paparan tembakau. Selain perokok pasif, buruh perempuan juga tergolong kelompok rawan terkena gangguan paru. Debu tembakau dalam proses pemotongan maupun produksi rokok bisa mengganggu kesehatan. 

Buruh perempuan tetap berpotensi terkena toksin nikotin rokok karena intensif berinteraksi dengan tembakau tiap harinya. Selain itu, mereka juga rentan terkena gejala kurang darah karena tuntutan pekerjaan yang tinggi 

Secara umun, merujuk laporan Kebijakan Penelitian Bank Dunia (20015), pada umumnya di beberapa Negara berkembang, jam kerja perhari perempuan lebih lama 1 jam atau lebih daripada laki-laki. Kondisi ini juga terjadi di Indonesia, para buruh pabrik rokok bekerja 12 jam perhari dan suaminya bekerja 10 jam perharinya. Padahal dalam konvensi ILO Nomor 100, menunjukkan, upah yang dimaksud tidak hanya upah pokok saja, tetapi juga tunjangan kesejahteraan lainnya yang diberikan perusahaan kepada buruh perempuan. Dalam praktiknya, jika buruh perempuan yang sejatinya memperoleh tunjangan kesejahteraan, kenyataannya ditiadakan, seperti tidak mendapatkan tunjangan kesejahteraan bagi suami dan anaknya.

Demikian juga pada industri rokok skala menengah. Mengutip rangkuman riset: Hujan Batu Buruh Kita Kumpulan Liputan Perburuhan (Dhyatmika. Ed. 2019) menyampaikan, status kerja buruh di level ini menyimpan banyak masalah. Mereka bekerja dengan sistem borongan lepas. Artinya, buruh hanya diupah berdasar hasil kerja. Tak ada ikatan lebih. Karena status kerja tidak jelas, industri pun mudah berkelit dari tanggungjawab. Hak normatif seperti hak cuti, tunjangan hari raya, dan jaminan sosial tenaga kerja rentan dilanggar.  Sebagian besar buruh, 90 persen perempuan, nyaris tidak pernah menikmati cuti haid dan melahirkan dengan laik. Buruh perempuan yang tidak masuk lantaran melahirkan, misalnya, otomatis tidak diberi gaji dan tunjangan. Cuti haid pun tidak berbeda.

Dalam perspektif jender, pemberian upah yang rendah bagi buruh perempuan disebabkan perempuan diposisikan sebagai buruh yang bersedia diberi upah rendah. Diangap, bukan penghasilan utama dan hanya merupakan pencari nafkah kedua (komplementer). Selain itu, adanya persepsi, buruh perempuan mudah diatur dan rendah daya resistensinya (Uli, 2005).

Diskriminasi perempuan sebagai buruh industri tembakau, semakin menjustifikasi bahwa perempuan di ranah publik (industri) masih menjadi obyek eksploitatif dari rezim pemilik modal besar. Padahal perempuan, terutama ibu rumah tangga berkeluarga dibebani tiga fungsi simultan (triple burden of women), yakni harus melakukan fungsi reproduksi, produksi dan fungsi sosial di masyarakat (Sadli, et al. 2008). 

Kaum perempuan identik dengan kemiskinan. Banyaknya buruh perempuan di industri tembakau, menandakan sejatinya, buruh perempuan dan masyarakat miskin perokok, justru berkontribusi signifikan terhadap keuntungan superjumbo yang diperoleh pemiliki industri tembakau. Dalam pendekatan teori strukturalis, Andre Gunder Frank dalam World Capital Accumulation, Trade Patterns and Modes of Production, 1500–1770 (1978), ekspolitasi yang dilakukan industri tembakau raksasa tehadap buruh perempuan disebut disarticulated socio-economic structure. Di mana masyarakat miskin perokok, anak/remaja perokok, dan termasuk buruh tembakau mendongkrak surplus profitabiltas industri tembakau raksasa. 

Model ini setali tiga uang dengan sistem cultuurstelsel  di zaman Hindia Belanda. Maka, sangat relevan jika tema utama peringatan HTTS, membidik pelbagai kamuflase dan kelicikan industri tembakau dalam mengeksploitasi kaum buruh (perempuan), anak/remaja dan masyarakat miskin perokok.  

Tangerang,  29 Mei 2024

Mukhaer Pakkanna, Wakil Ketua MEBP PP Muhammadiyah dan Direktur Program Pascasarjana ITB Ahmad Dahlan Jakarta

 


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Keluarga Muhammadiyah dan Muhammadiyah Keluarga Oleh : Rahmat Balaroa, Kader Muhammadiyah, Founder ....

Suara Muhammadiyah

6 June 2024

Wawasan

Oleh: Suko Wahyudi Al-Qur'an adalah kitab suci kaum Muslimin dan menjadi sumber ajaran Islam yang p....

Suara Muhammadiyah

23 February 2024

Wawasan

Ikhtiar Awal Menuju Keluarga Sakinah (12) Oleh: Mohammad Fakhrudin dan Iyus Herdiana Saputra Di da....

Suara Muhammadiyah

23 November 2023

Wawasan

Fanatik Ciri Kebodohan Ika Sofia Rizqiani, S.Pd.I, M.S.I. “Kita itu boleh punya prinsip, a....

Suara Muhammadiyah

5 August 2024

Wawasan

Kekuatan Cinta Menyelamatkan Indonesia Oleh: Agusliadi Massere Indonesia adalah kode—yang me....

Suara Muhammadiyah

25 November 2023

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah