Capek Jadi Orang Tua? Al-Qur’an Punya Jawaban Lewat QS. At-Tagābun
Oleh: Tri Febriandi Amrulloh, M.Ag, Mubaligh Majelis Tabligh PCM Sepanjang dan Anggota Mufasir Tafsir At Tanwir
Dalam keseharian, ungkapan seperti “yang penting anak sukses” atau “asal keluarga sehat, hidup sudah tenang” sering kita dengar. Kalimat-kalimat itu tentu tidak keliru, namun ada baiknya kita berhenti sejenak untuk merenungkan..
“Apakah anak dan harta benar-benar sekadar bentuk kebanggaan, atau justru keduanya adalah amanah yang sekaligus menjadi ujian bagi setiap orang tua?”
Di sisi lain, sebagian orang tua begitu fokus mengejar penghidupan hingga melupakan pendidikan pada anaknya. Ada pula yang terlampau bangga dengan pencapaian buah hatinya, namun lalai mengajarkan kewajiban dasar dalam beribadah. Bahkan, tidak sedikit yang rela menempuh cara yang tidak dibenarkan demi memenuhi keinginan anak dengan dalih “ingin membahagiakan”.
Semestinya kita memahami bahwa menjadi orang tua itu bukan soal selalu benar, tetapi tentang kesiapan untuk terus belajar. Mulai belajar memahami karakter anak, mengendalikan diri, dan menuntun keluarga menuju jalan yang diridhai Allah.
Anak yang Dapat Menjadi Musuh Bagi Orang Tuanya
Tidak banyak orang tua yang membayangkan bahwa anak yang mereka rawat sejak lahir dapat berubah menjadi pihak yang justru merugikan mereka. Kenyataan ini terasa berat, namun Al-Qur’an mengingatkan kita secara jelas dalam QS. At-Tagābun [64]:14:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنَّ مِنْ اَزْوَاجِكُمْ وَاَوْلَادِكُمْ عَدُوًّا لَّكُمْ فَاحْذَرُوْهُمْۚ وَاِنْ تَعْفُوْا وَتَصْفَحُوْا وَتَغْفِرُوْا فَاِنَّ اللّٰهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ
Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu. Maka, berhati-hatilah kamu terhadap mereka. Jika kamu memaafkan, menyantuni, dan mengampuni (mereka), sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Pesan Apa yang Allah Sampaikan Melalui Ayat Ini?
Ayat tersebut mengarahkan kaum beriman agar lebih peka dan waspada terhadap dinamika dalam keluarga. Bukan karena keluarga adalah ancaman, tetapi karena ada masa ketika pasangan atau anak tanpa sadar mendorong seseorang melakukan tindakan yang tidak diridhai Allah.
Pada titik itulah mereka berpotensi menjadi “musuh”, yaitu pihak yang menyeret kita menjauh dari ketaatan. Pertanyaannya kemudian, bagaimana orang tua dapat menyikapi ujian ini sekaligus mensyukuri keberadaan anak sebagai amanah? Al-Qur’an memberikan tiga pedoman penting:
تَعْفُوْا – Memaafkan
Menurut Ibnu ‘Asyur dalam Tahrir wa Tanwir, memaafkan berarti menahan diri dari menjatuhkan hukuman, meski seseorang sebenarnya mampu melakukannya. Memaafkan tetap dapat disertai dengan nasihat atau teguran, namun tanpa tindakan pembalasan.
تَصْفَحُوْا – Melapangkan Dada
Langkah ini lebih tinggi dari sekadar memaafkan. Melapangkan dada berarti memilih tidak menghukum dan tidak menegur. Kesalahan itu dilewati tanpa ada niatan untuk diungkit-ungkit kembali di kemudian hari, sehingga ruang hati tetap bersih dari beban.
تَغْفِرُوْا – Mengampuni
Mengampuni menurut penafsiran yang sama berarti menutupi kesalahan dan tidak menyebarkannya. Orang tua menjaga kehormatan anak, sambil terus membimbingnya kembali kepada kebenaran.
Semua Anak Adalah Ujian Bagi Orangtuanya
Anak merupakan amanah besar yang selalu menghadirkan ujian bagi setiap orang tua. Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā mengingatkan hal ini dalam Surah At-Tagābun [64]:15:
اِنَّمَآ اَمْوَالُكُمْ وَاَوْلَادُكُمْ فِتْنَةٌ ۗوَاللّٰهُ عِنْدَهٗٓ اَجْرٌ عَظِيْمٌ
Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu). Di sisi Allahlah (ada) pahala yang besar.
Pesan serupa juga ditegaskan kembali dalam Surah Al-Anfāl [8]:28. Dua ayat ini memberi sinyal kuat bahwa peran orang tua bukan hanya mengasuh, tetapi sekaligus terus mengelola hati agar tetap berada dalam koridor iman saat menghadapi dinamika keluarga.
Dalam banyak kitab tafsir, termasuk penjelasan al-Baghawi, terdapat perbedaan menarik ketika Allah berbicara tentang pasangan dan anak sebagai “musuh” pada ayat:
اِنَّ مِنْ اَزْوَاجِكُمْ وَاَوْلَادِكُمْ عَدُوًّا لَّكُمْ
“Sesungguhnya di antara (min) istri-istri kalian dan anak-anak kalian ada yang menjadi musuh bagi kalian.”
Kata “min” di sana menunjukkan makna “sebagian”, yakni tidak semua istri atau anak bersikap demikian. Namun, saat Allah membahas harta dan anak sebagai fitnah, kata “min” tidak lagi digunakan:
اِنَّمَآ اَمْوَالُكُمْ وَاَوْلَادُكُمْ فِتْنَةٌ
“Sesungguhnya harta dan anak-anak kalian hanyalah cobaan,”
Ini memberi isyarat bahwa seluruh manusia pasti merasakan ujian melalui harta ataupun anak, baik ujian yang menyenangkan maupun ujian yang membuat hati letih. Konsep ujian ini diperjelas lagi dalam QS. Al-Anbiyā’ [21]:35, bahwa manusia diuji melalui keburukan dan kebaikan. Dua bentuk ujian itu mengarahkan kita pada dua sikap: syukur ketika diuji dengan nikmat [Q.S. an-Naml (27): 40], dan sabar ketika diuji dengan hal yang menyulitkan [Q.S. al-Baqarah (2): 155-157].
Kedua sikap tersebut bukan sekadar respon emosional, tetapi indikator kedekatan seorang hamba dengan kasih sayang Allah. Syukur ditunjukkan dengan memanfaatkan anugerah untuk memberi manfaat, sementara sabar diwujudkan melalui upaya memperbaiki diri, mengambil pelajaran, dan tidak menyerah pada keadaan.
Lalu, apa yang sebenarnya ingin Allah ajarkan kepada orang tua melalui ayat-ayat tentang ujian ini?
Surah At-Tagābun [64]:16 memberikan pedoman yang sangat jelas:
فَاتَّقُوا اللّٰهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ وَاسْمَعُوْا وَاَطِيْعُوْا وَاَنْفِقُوْا خَيْرًا لِّاَنْفُسِكُمْۗ وَمَنْ يُّوْقَ شُحَّ نَفْسِهٖ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ
Bertakwalah kamu kepada Allah sekuat kemampuanmu! Dengarkanlah, taatlah, dan infakkanlah harta yang baik untuk dirimu! Siapa yang dijaga dirinya dari kekikiran, mereka itulah orang-orang yang beruntung.
Pertama, perintah فَاتَّقُوا اللّٰهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ (Bertakwalah kamu kepada Allah sekuat kemampuanmu!) menunjukkan bahwa ketakwaan harus diwujudkan sesuai batas kemampuan terbaik kita. Tafsir al-Wasīṭ menjelaskan bahwa huruf fa’ di sini menghubungkan perintah ini dengan penjelasan sebelumnya, seolah Allah berkata: setelah kalian tahu bahwa anak dan harta bisa menyibukkan hati, maka upayakanlah kemampuan terbaik dalam menjaga diri dan menaati-Nya di segala keadaan.
Kedua, frasa وَاسْمَعُوْا وَاَطِيْعُوْا (Dengarkanlah, taatlah) mengingatkan kita untuk mendengarkan wahyu dan sunnah dengan penuh kesungguhan serta menaati keduanya. Penekanan ini menunjukkan bahwa keberhasilan melewati ujian kehidupan tidak mungkin terwujud tanpa komitmen terhadap tuntunan Rasulullah ﷺ.
Ketiga, frasa وَاَنْفِقُوْا (berinfaklah dari harta yang baik). Dalam Tafsir al-Wasīṭ menjelaskan bahwa infak adalah bekal kebaikan bagi diri kita sendiri, baik di dunia maupun akhirat. Dan hal ini kemudian dipertegas dalam tafsir as sa’di bahwa infak membuka pintu keberkahan, termasuk keberkahan dalam urusan anak. Namun, sifat bakhil yang secara naluriah melekat pada manusia seringkali menghalangi seseorang untuk beramal. Tidak sedikit orang tua yang merasakan perubahan besar pada keluarga dan anak-anaknya setelah memperbanyak sedekah, karena infak sejatinya membersihkan jiwa dari kelekatan berlebihan terhadap dunia.
Surat At-Taghābun [64] mengingatkan bahwa hadirnya anak bukan hanya anugerah, tetapi juga amanah. Karena itu, pondasi yang paling menentukan adalah bagaimana kualitas pendidikan spiritual yang diberikan orang tua mulai sejak dini, dari membiasakan anak mengaji di rumah hingga menghadirkan lingkungan belajar yang bisa menumbuhkan akhlak dan kecintaan anak pada Al-Qur’an.


