Darurat Pornografi Digital – Saatnya Negara Hadir Menyelamatkan Generasi
Oleh: Ade Firman, Aktivis Sosial/Wakil Ketua Bidang Hikmah dan Kebijakan Publik PDPM Banda Aceh
Baru-baru ini publik dikejutkan dengan munculnya sebuah grup Facebook bernama Grup Fantasi Sedarah, yang secara terang-terangan membagikan konten berisi fantasi seksual menyimpang, termasuk unsur incest. Hal ini bukan sekadar mencederai akal sehat, tetapi juga mencerminkan betapa rentannya anak-anak dan remaja hari ini terhadap pengaruh konten pornografi di ruang digital.
Kita tengah menghadapi krisis yang jauh lebih besar dari sekadar penyimpangan perilaku: kita sedang menghadapi ancaman kerusakan moral yang sistemik, yang menjangkiti generasi muda melalui akses bebas terhadap konten seksual eksplisit di media sosial dan platform daring lainnya.
Anak-anak yang masih dalam proses pembentukan karakter kini dihadapkan pada tontonan yang memperkenalkan seksualitas secara menyimpang, kasar, dan tidak sehat. Efeknya bisa sangat luas: mulai dari kecanduan pornografi, pergeseran nilai, hingga meningkatnya kasus kekerasan dan pelecehan seksual—yang bahkan kini banyak terjadi di lingkungan keluarga sendiri.
Negara tidak boleh abai. Komdigi sebagai kementerian baru yang bertanggung jawab atas sektor komunikasi dan digital harus tampil progresif dan berani mengambil langkah konkret. Tidak cukup dengan himbauan atau literasi digital semata. Negara harus mampu memblokir akses terhadap konten bermuatan pornografi, menindak tegas akun dan grup media sosial yang menyebarkannya, serta bekerja sama dengan platform digital agar sistem deteksi dan pemblokiran dapat diperkuat.
Pornografi bukan lagi isu privat atau sekadar urusan moral individu. Ia telah menjadi persoalan publik yang berdampak pada masa depan bangsa. Jika tidak segera diatasi, maka kita akan kehilangan generasi muda yang tumbuh tanpa arah, tanpa nilai, dan tanpa batas moral yang jelas.
Penindakan harus dibarengi dengan edukasi yang masif dan menyentuh akar. Literasi seksual yang sehat harus diperkenalkan sejak dini, tidak dengan cara menakut-nakuti atau menghakimi, tetapi dengan pendekatan yang ilmiah dan manusiawi. Orang tua, sekolah, dan komunitas harus dilibatkan secara aktif.
Saya percaya, menyelamatkan generasi muda dari jerat pornografi bukan sekadar tugas pemerintah, tetapi juga tanggung jawab kolektif kita semua. Namun negara harus menjadi garda terdepan. Karena ketika negara diam, maka yang tumbuh bukan hanya penyimpangan, tetapi juga kejahatan yang menjadikan anak-anak sebagai korban—dan pelaku.
Ini saatnya kita semua berkata: cukup! Saatnya negara hadir, dan menyelamatkan masa depan bangsa dari kerusakan moral akibat pornografi digital.