Demokrasi, Bahasa dan Algoritma

Publish

7 October 2025

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
38
Foto Istimewa

Foto Istimewa

Demokrasi, Bahasa dan Algoritma 

Oleh: Suko Wahyudi. Pegiat Literasi Tinggal di Yogyakarta 

Demokrasi pada hakikatnya adalah janji luhur tentang kesetaraan dan penghargaan terhadap martabat manusia. Di dalamnya terkandung harapan bahwa setiap suara akan didengar, setiap pandangan akan dipertimbangkan, dan setiap warga memiliki ruang untuk ikut menentukan arah kehidupan bersama. 

Demokrasi seharusnya menghadirkan forum dialog, tempat perbedaan dihargai dan musyawarah dijunjung tinggi sebagai jalan menuju mufakat yang adil. Akan tetapi, kenyataan yang kita saksikan dewasa ini sering kali tidak berjalan sebagaimana mestinya. Demokrasi yang dirancang sebagai ruang musyawarah kian berubah menjadi panggung pertarungan citra.

Di era media sosial, situasi itu semakin tampak jelas. Teknologi digital yang semula diharapkan menjadi wahana perluasan demokrasi justru kerap menghadirkan paradoks. Algoritma yang bekerja di balik layar menentukan informasi apa yang beredar luas dan pandangan mana yang lebih didengar. 

Logika keterlibatan, yang mengutamakan klik, bagikan, dan suka, membuat hal-hal yang viral lebih menonjol daripada yang benar-benar mendalam dan bermakna. Demokrasi kehilangan ruhnya ketika kebenaran tersisih oleh popularitas, ketika substansi digantikan oleh sekadar kemasan yang menarik perhatian.

Bahasa, dalam konteks ini, tidak lagi menjadi jembatan penghubung untuk mempertemukan pandangan yang beragam. Ia menjelma senjata yang lihai dipergunakan untuk membentuk citra, menggiring opini, bahkan menciptakan kepatuhan yang samar. 

Kata-kata indah berhamburan, namun sering kali hampa dari isi. Slogan-slogan singkat dirangkai agar mudah melekat, meski tidak memberi arah. Retorika politik menyilaukan, tetapi jarang mengandung kedalaman. Maka wacana publik pun dipenuhi permainan bahasa yang lebih menghibur daripada mencerahkan. Demokrasi yang seharusnya berlandaskan percakapan kritis tergelincir menjadi arena sandiwara.

Bahasa dan Algoritma: Senjata Baru dalam Politik

Algoritma memperkuat keadaan ini. Dengan logika yang hanya mengenal keterlibatan, konten yang provokatif lebih mudah mendapat tempat daripada argumen yang tenang. Yang minoritas makin terpinggirkan, sementara ilusi konsensus diciptakan lewat ribuan akun yang menyuarakan hal serupa. 

Masyarakat pun digiring untuk percaya bahwa suara yang bising adalah kebenaran, padahal ia mungkin hanya hasil rekayasa. Demokrasi terjebak dalam jebakan algoritma, di mana kebisingan menggantikan perdebatan sehat dan persepsi menggantikan kenyataan.

Ketika bahasa dan algoritma berpadu, demokrasi mudah dibajak oleh kepentingan. Kekuasaan yang cerdik membaca pola ini dapat menggunakannya untuk mengarahkan arus informasi, mengendalikan persepsi publik, dan menciptakan kesan seolah-olah masyarakat telah sepakat. 

Padahal, yang terjadi hanyalah pengulangan narasi tertentu secara masif. Demokrasi akhirnya berubah menjadi arena manipulasi, bukan pertemuan gagasan. Politik pun kian direduksi menjadi lomba kemasan: siapa yang lebih lihai membentuk citra, dialah yang berpeluang menang.

Dampak dari keadaan ini amat serius. Ruang dialog kian sempit karena perbedaan pandangan tenggelam dalam banjir opini dominan. Publik terperangkap dalam ruang gema, hanya mendengar apa yang ingin didengar, berinteraksi dengan yang sejalan, dan menutup telinga terhadap yang berbeda. Polarisasi pun mengeras, memperlebar jarak antar kelompok. Demokrasi, yang semestinya menjadi jalan tengah, justru melahirkan keterbelahan.

Lebih jauh lagi, kualitas demokrasi menurun ketika pilihan politik lebih ditentukan oleh viralitas ketimbang kebijaksanaan. Pemimpin terpilih bukan karena integritas atau visi yang jelas, melainkan karena keterampilan mengelola citra. Demokrasi hanya tersisa dalam bentuk prosedural, tetapi kehilangan substansi. Ia berjalan di permukaan, tetapi rapuh di dalam.

Mengembalikan Ruh Demokrasi melalui Literasi dan Etika

Kenyataan ini tentu mengundang kegelisahan. Namun, kegelisahan itu sekaligus menjadi panggilan untuk mengembalikan ruh demokrasi pada dialog yang sejati. Pendidikan literasi digital perlu diperkuat agar masyarakat tidak mudah terperangkap dalam permainan algoritma. 

Literasi yang dimaksud tidak hanya menyangkut kemampuan teknis menggunakan gawai, tetapi juga kecakapan kritis untuk memilah informasi, menimbang kebenaran, dan menilai substansi di balik retorika.

Media dan kalangan akademisi pun harus mengambil peran penting. Media tidak boleh sekadar menjadi corong propaganda, tetapi harus hadir sebagai penjernih, yang menyajikan informasi dengan akurat dan analisis dengan kedalaman. 

Akademisi hendaknya tidak hanya berkutat di ruang seminar, melainkan juga turun ke ruang publik, memberikan pencerahan di tengah hiruk pikuk opini. Dengan begitu, ruang wacana tetap terjaga, tidak seluruhnya dikuasai oleh arus yang dangkal.

Etika politik juga menjadi syarat utama. Demokrasi hanya akan bernilai apabila para pelaku politik memandangnya bukan semata sebagai jalan meraih kekuasaan, tetapi juga sebagai amanah untuk menegakkan keadilan dan kesejahteraan rakyat. Citra boleh penting, tetapi substansi harus lebih utama. Politik yang berpijak pada etika akan menolak segala bentuk manipulasi yang merusak sendi-sendi kehidupan bersama.

Demokrasi memang bukan sistem yang sempurna. Namun, ia merupakan sarana terbaik untuk menjaga kebersamaan dalam masyarakat yang beragam. Agar demokrasi tidak terjebak dalam ilusi, kita perlu menjaga agar ruang publik tetap diisi dengan dialog, bukan sekadar gema. Kita perlu merawat kebebasan agar tidak dibajak oleh manipulasi. Kita perlu memastikan bahwa bahasa kembali menjadi sarana pencarian makna, bukan sekadar alat memperdaya.

Pada akhirnya, demokrasi bukan tentang siapa yang paling sering muncul di layar gawai, melainkan tentang siapa yang sanggup menjaga kebenaran dan martabat manusia. Demokrasi bukan sekadar permainan angka dan algoritma, melainkan komitmen untuk merawat kehidupan bersama yang lebih adil, lebih bermakna, dan lebih manusiawi. Bila ruh itu tidak dijaga, maka yang tersisa hanyalah bayangan demokrasi: sebuah panggung gemerlap kata-kata, tetapi kehilangan jiwa.


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Benang Kusut Mafia Perlu Solusi Mendesak  Oleh: Sobirin Malian/Dosen Fakultas Hukum UAD Perga....

Suara Muhammadiyah

14 April 2025

Wawasan

Ibu Cerdas Penentu Generasi Unggul Indonesia Emas 2045 Oleh: Amalia Irfani, LPPA PWA Kalbar Menont....

Suara Muhammadiyah

25 December 2023

Wawasan

Ikhtiar Awal Menuju Keluarga Sakinah (28) Oleh: Mohammad Fakhrudin (warga Muhammadiyah tinggal di M....

Suara Muhammadiyah

14 March 2024

Wawasan

Adabul Mar’ah Fil Islam Adabul Mar’ah Fil Islam artinya ‘Adab Perempuan dalam Isl....

Suara Muhammadiyah

22 April 2024

Wawasan

Kinerja Perbankan Syariah Relatif Lebih Menjanjikan Dibandingkan Perbankan Konvensional Oleh: Yadi ....

Suara Muhammadiyah

13 August 2024

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah