Di Balik Kontroversi: Mengungkap Konteks Historis Ayat Pembuka Surah At-Taubah

Publish

23 July 2025

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
56
Foto Juli Kosolapova/Unsplash

Foto Juli Kosolapova/Unsplash

Di Balik Kontroversi: Mengungkap Konteks Historis Ayat Pembuka Surah At-Taubah

Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas

Kali ini, kita akan menyelami salah satu ayat yang paling sering memicu perdebatan dan interpretasi yang keliru: ayat pertama Surah At-Taubah. Bersiaplah untuk sebuah perjalanan intelektual saat kita mengupas tuntas firman ilahi ini, menelusuri akar sejarah dan seluk-beluk konteks perjanjian yang membentuk maknanya.

Ayat yang menjadi fokus kita berbunyi: "(Inilah pernyataan) pemutusan hubungan dari Allah dan Rasul-Nya (Nabi Muhammad) kepada orang-orang musyrik yang kamu telah mengadakan perjanjian dengan mereka (untuk tidak saling berperang)" Sekilas, ayat ini mungkin terdengar mengejutkan, seolah memberikan lampu hijau bagi umat Islam untuk mengabaikan komitmen perjanjian yang telah dibuat. Namun, apakah tafsir ini benar-benar mencerminkan pesan sejati Al-Qur`an? Benarkah Islam mengajarkan pengabaian janji seenaknya?

Untuk memahami hakikat ayat ini, kita harus terlebih dahulu melakukan perjalanan kembali ke masa Nabi Muhammad SAW. Pada masa itu, sebelum struktur negara modern yang kita kenal sekarang, perjanjian adalah pilar utama keamanan dan jaminan hubungan antar kelompok. Bayangkan sebuah dunia di mana tanpa perjanjian yang jelas, setiap suku atau masyarakat hidup dalam ketidakpastian, selalu siaga terhadap kemungkinan serangan. Sebuah perjanjian bukan sekadar secarik kertas; itu adalah ikatan suci yang menegaskan komitmen untuk tidak saling menyerang, bahkan melindungi sekutu satu sama lain. 

Di era kontemporer ini, kita cenderung memandang perjanjian antarnegara sebagai hal yang biasa, seringkali melupakan betapa krusialnya peran mereka dalam menjaga perdamaian global. Namun, di zaman Nabi, keberadaan atau ketiadaan perjanjian adalah penentu hidup dan mati, sebuah garansi utama bagi keselamatan dan kedamaian sebuah komunitas. Pemahaman mendalam tentang latar belakang historis inilah yang akan membimbing kita menuju interpretasi yang lebih akurat dan menyeluruh.

Ayat pertama Surah At-Taubah bukanlah undangan untuk melanggar janji secara sembarangan, melainkan sebuah deklarasi Ilahi yang krusial. Ayat ini turun sebagai respons terhadap situasi nyata di mana kaum musyrik Makkah telah secara terang-terangan melanggar perjanjian damai yang sebelumnya mereka buat dengan Nabi Muhammad SAW dan kaum Muslim. 

Jadi, alih-alih menjadi perintah untuk memutuskan ikatan, ayat ini berfungsi sebagai pengumuman resmi dari Allah dan Rasul-Nya bahwa kaum Muslimin kini dibebaskan dari kewajiban perjanjian tersebut, mengingat pengkhianatan yang telah dilakukan oleh pihak lain. Ini adalah sebuah bentuk peringatan tegas dan pernyataan publik bahwa pelanggaran telah terjadi. Namun, pesan ini juga membuka pintu: jika kaum musyrik benar-benar berkeinginan untuk kembali berdamai, jalan satu-satunya adalah melalui negosiasi ulang yang tulus dan perbaikan atas kesalahan yang telah mereka perbuat.

Untuk memperkuat penafsiran yang adil dan seimbang ini, kita perlu menyoroti Surah Al-Anfal ayat 58. Ayat ini menjadi fondasi prinsip keadilan dalam hubungan internasional Islam: "Jika kamu khawatir akan pengkhianatan dari suatu kaum, maka kembalikanlah perjanjian itu kepada mereka dengan cara yang sama." Ini adalah landasan moral yang kuat, menegaskan bahwa jika ada indikasi yang jelas dan nyata tentang pengkhianatan, pihak yang dirugikan memiliki hak untuk mengakhiri perjanjian tersebut dengan cara yang terbuka dan adil, tanpa ada tuduhan tersembunyi atau intrik di belakang layar. Prinsip ini memastikan transparansi dan mencegah ketidakadilan.

Lebih jauh lagi, dalam Surah At-Taubah itu sendiri, ayat ke-4 hadir sebagai kunci pemahaman yang tidak dapat diabaikan. Ayat ini memberikan klarifikasi esensial yang seringkali terlewatkan: "Kecuali orang-orang musyrik yang telah kamu adakan perjanjian dengan mereka, kemudian mereka tidak mengurangi sedikit pun (dari isi perjanjian)mu dan tidak (pula) menolong seorang pun yang memusuhi kamu, maka penuhilah perjanjian itu sampai batas waktunya."

Pernyataan ini dengan sangat jelas membatasi ruang lingkup pembebasan kewajiban. Ini menegaskan bahwa hanya pihak-pihak yang melanggar perjanjian yang akan dibebaskan kewajibannya. Sebaliknya, bagi mereka yang tetap setia pada kesepakatan dan tidak menunjukkan tanda-tanda pengkhianatan, umat Muslim diperintahkan untuk terus memegang teguh perjanjian hingga waktu yang telah disepakati berakhir. 

Hal ini secara tegas menunjukkan bahwa prinsip fundamental dalam Islam adalah menjunjung tinggi perjanjian dan janji, kecuali jika terjadi pelanggaran yang nyata dan terbukti dari pihak lain. Ini bukan hanya tentang keadilan, tetapi juga tentang integritas dan kehormatan dalam bermuamalah.

Salah satu kesalahpahaman paling umum seputar ayat ini adalah anggapan bahwa Allah secara mutlak melarang umat Islam untuk menjalin perjanjian baru dengan kaum musyrik Makkah, atau bahwa semua perjanjian yang sudah ada harus dibatasi durasinya hingga empat bulan. Lebih jauh lagi, beberapa penafsir bahkan menafsirkan ayat ini sebagai seruan terselubung untuk kekerasan atau tindakan agresif terhadap mereka yang berbeda keyakinan.

Namun penafsiran semacam itu sangat keliru. Ayat ini sama sekali tidak memerintahkan umat Islam untuk secara sepihak melanggar perjanjian yang sedang berjalan. Sebaliknya, ia berfungsi sebagai pemberitahuan resmi mengenai konsekuensi yang timbul akibat pengkhianatan yang dilakukan oleh pihak lain. 

Intinya sangat jelas: jika pihak musyrik menyadari kesalahan mereka, bertaubat, dan sungguh-sungguh berkeinginan untuk kembali menjalin hubungan damai, maka pintu untuk negosiasi dan perjanjian baru akan selalu terbuka lebar. Ini menegaskan bahwa prinsip dasar Islam adalah keadilan dan kesempatan untuk rekonsiliasi, bukan penutupan permanen terhadap hubungan baik.

 


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Khazanah

Al Muwaththa’ dan Identitas Sunni Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas....

Suara Muhammadiyah

16 January 2024

Khazanah

Khadijah binti Khuwaylid (Bagian ke-3) Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas ....

Suara Muhammadiyah

14 February 2024

Khazanah

Kelahiran Mesin Cetak dan Penyebaran Islam di Eropa dan Amerika Oleh: Azhar Rasyid  Salah sat....

Suara Muhammadiyah

22 July 2023

Khazanah

Apakah Islam Mengistimewakan Arab di atas Non-Arab? Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya....

Suara Muhammadiyah

22 March 2024

Khazanah

Fathimah Az-Zahra Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas Fathimah ada....

Suara Muhammadiyah

21 February 2024

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah