Diaspora Kader Muhammadiyah
Oleh: Prof Dr H Haedar Nashir, M.Si.
Selama ini muncul pandangan dan temuan bahwa jumlah dan keberadaan kader Muhammadiyah di berbagai struktur kehidupan terbilang sedikit atau jauh dari harapan. Kader Muhammadiyah yang berdiaspora atau tersebar di berbagai lembaga pemerintahan dan non pemerintahan jumlahnya lebih kecil atau sedikit dibandingkan dengan kader organisasi lain.
Bila pandangan tersebut benar maka penting untuk menjadi perhatian Pimpinan Persyarikatan. Hal itu bukan didasarkan atas pertimbangan politik, karena Muhammadiyah bukan organisasi politik. Tetapi berdasarkan pemikiran dakwah bahwa untuk kepentingan penyebarluasan Islam memang diperlukan para pelaku atau aktor gerakan yang tersebar di mana-mana.
Bila dari persebaran pelaku gerakan itu berdampak pada aspek politik, maka merupakan suatu konsekuensi dari perluasan peran kader dan gerakan Muhammadiyah yang bersifat realistik dan objektif. Dimensi politik terutama politik keumatan, kebangsaan, dan kemanusiaan semesta tetap diperlukan dan tidak bertentangan dengan prinsip gerakan Muhammadiyah sebagai organisasi keagamaan dan kemasyarakatan.
Peran Elite
Menurut teori elite, bahwa kelompok kecil anggota masyarakat yang memiliki keunggulan di berbagai aspek akan mempengaruhi dan menentukan keberadaan masyarakat tersebut. Dalam Al-Qur’an disebut “fiah qalilah”, sebagaimana ditampilkan Allah melalui figur hebat Thalut melawan Jalut, yang artinya: “…Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar" (QS Al-Baqarah: 249).
Pada era Orde Lama dan Orde Baru banyak kader organik Muhammadiyah menempati berbagai posisi dalam lembaga-lembaga negara atau pemerintahan, termasuk di partai politik. Bahkan dalam sejarah Indonesia terdapat sekitar 23 Pahlawan Nasional dari rahim Muhammadiyah. Apapun dinamika politiknya, Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto adalah Muhammadiyah, yang memiliki peran sangat penting dan strategis dalam sejarah pemerintahan dan bangsa Indonesia pasca kemerdekaan.
Karenanya penting menjadi perhatian bagaimana melakukan usaha pendiasporaan kader Muhammadiyah di berbagai organ atau lembaga pemerintahan dan non pemerintahan secara meluas. Agenda ini penting dipersiapkan secara tersistem melalui pembinaan anggota dan kader yang dinamis dan progresif, disertai pendalaman nilai-nilai Islam dan Kemuhammadiyahan yang kokoh. Dengan demikian ke depan semakin banyak anggota dan kader yang berasal dari Muhammadiyah memiliki posisi dan peran strategis di lingkungan umat, bangsa, dan ranah global.
Selain itu diperlukan cara pandang yang konstruktif dan positif dalam melihat dan memposisikan anggota serta kader Muhammadiyah di berbagai struktur tersebut. Jangan sampai kader Muhammadiyah yang berdiaspora dan jumlahnya tidak banyak itu, kemudian disikapi negatif oleh sebagian pimpinan dan anggota Persyarikatan. Boleh jadi ada contoh yang kurang baik dari sebagian kader Muhammadiyah yang berdiaspora di luar, tetapi tidak perlu dilakukan generalisasi yang melahirkan stigma terhadap kader Muhammadiyah yang berperan di di lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, dan lembaga-lembaga sampiran negara (constitutional state organ dan state auxiliary organ) seperti KPU, Bawaslu, KPK, KPAI, dan seterusnya. Di lembaga BUMN pun tidaklah masalah sejauh asasnya profesi sebagai wujud peran kebangsaan yang profesional. Muhammadiyah tidak memilah-milah ranah perjuangan dan pengkhidmatan demi mewujudkan misi dakwah dan tajdid gerakan!
Perubahan Pandangan
Peran kader dan sumber daya manusia dalam kehidupan umat, bangsa, dan kemanusiaan semesta sangatlah penting dan strategis karena menyangkut potensi “aktor” dan “agensi” dalam seluruh sistem di berbagai ranah kehidupan. Di berbagai lingkungan kehidupan bangsa-bangsa peran elite yang memiliki keunggulan di bidang ekonomi dan politik maupun ilmu pengetahuan sangat berpengaruh dalam menentukan kekuasaan bangsa atau negara. Lahirnya oligarki di berbagai bangsa dan negara antara lain bermula dari preferensi (pilihan, kecenderungan, alternatif) kekuatan atau keunggulan aspek ekonomi, politik, dan gabungan keduanya.
Elite agama atau berbasis keagamaan bahkan sejak berabad-abad lamanya memiliki pengaruh dan peran signifikan dalam berbagai struktur kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara. Negara Vatikan merupakan contoh paling nyata di era modern, yang disebut sebagai Tahta Suci (Holy See, Santa Sede). Negara-negara Islam selama ini dipimpin oleh tokoh yang selalu dilekatkan dengan nilai dan simbol keagamaan. Beberapa Khalifah di zaman kekuasaan Islam memiliki dasar keislaman yang kuat seperti di era Kekhalifahan Utama atau Khulafa Ar-Rasyidun.
Muhammadiyah dalam konteks Indonesia tidak menganut konsep “negara agama” atau “negara Islam”, tetapi menganut paham modernis dan moderat di mana Islam atau agama berkaitan dengan negara tanpa penghimpitan secara organik dengan negara. Sebaliknya negara tidak bisa sekuler atau memisahkan diri dari agama. Pertautan antara negara dan agama bersifat nilai, etik, dan konsep sehingga sering disebut “politik garam” yang memberi sibghah atau celupan dari nilai ajaran agama terhadap negara. Pemikiran modern dan moderat inilah yang mendasari pandangan dan sikap resmi Muhammadiyah tentang “Negara Pancasila Darul Ahdi Wa Syahadah” hasil Muktamar ke-47 tahun 2015 di Makassar.
Karenanya dalam memainkan peran dalam negara atau pemerintahan Muhammadiyah meniscayakan pada dua aspek yaitu pertama melalui pemikiran dan kedua melalui aktor. Pemikiran-pemikiran Muhammadiyah mesti terus sebarluaskan dengan berbasis pada pandangan Islam Berkemajuan serta Negara Pancasila Darul Ahdi Wa Syahadah. Seraya dengan itu dilakukan pendiasporaan kader ke berbagai struktur pemerintahan dan non pemerintahan yang semakin dikembangkan dan diproyeksikan secara sistemik. Langkahnya tidak perlu instan, tetapi terus bertahap dan meluas, sehingga pada masa depan akan tampak hasilnya yang signifikan.
Dalam konteks peran gerakan tersebut maka diperlukan rekonstruksi pemikiran dalam Muhammadiyah sendiri, khususnya di lingkungan para pimpinan Muhammadiyah di seluruh tingkatan dan lini organisasi. Pertama, membangun pola pikir konstruktif-positif (lil-muwajahah) tentang pendiasporaan sekaligus pandangan tentang kader yang berdiaspora, bahwa mereka adalah duta organisasi yang integritas dan kualitasnya teruji. Hilangkan pandangan negatif tentang kader dan pendiasporaan kader, seolah para kader yang berdiaspora itu serba pragmatis dan oportunistik. Hal itu disebabkan bahwa para kader Muhammadiyah itu pada umumnya berintegritas, berkualitas, dan berperan pengkhidmatan yang baik dalam kehidupan keumatan dan kebangsaan. Jangan dikembangkan stigma buruk tentang kader seolah mereka yang berkiprah di luar hanya menjadi pengejar jabatan, materi, dan kepentingan sendiri. Masih banyak kader Muhammadiyah yang baik dan berdedikasi positif dengan membawa misi dan kepribadian Muhammadiyah.
Kedua, kembangkan sistem dan mekanisme pendiasporaan dari hulu sampai hilir agar setiap kader yang ditugaskan dan memperoleh peluang di berbagai struktur kehidupan benar-benar terbina, terkonsolidasi, dan dapat ditransformasikan secara baik dan berkeunggulan. Kembangkan mekanisme kontrol terhadap kader agar keberadaan dan perannya tetap sejalan dan tidak menyimpang dari karakter, misi, dan kepentingan Muhammadiyah. Mekanisme “tawashau bil-haq”, “tawashau bil-shabr”, dan “tawashau bil-marhamah” mesti dilakukan oleh pimpinan Persyarikatan dan kolega antar kader Muhammadiyah. Hal lainnya membukakan akses bagi para kader untuk lebih tersistem dalam berdiaspora ke berbagai lembaga yang dituju.
Ketiga, kesiapan dan kualitas kader. Diaspora kader di lembaga mana pun meniscayakan kesiapan dan kualitas kader itu sendiri yang harus di atas rata-rata dan lebih berkeunggulan. Kader ulama, mubaligh, akademisi atau saintis, kader politik, kader profesional, dan kader berpreferensi lainnya niscaya lebih unggul di atas lainnya. Unggul dalam integritas diri, keterpercayaan, peran, dan seluruh kompetensi lainnya sehingga berkiprah di lembaga manapun dapat masuk dan diterima sebagai orang-orang terbaik. Semuanya dapat ditempuh melalui proses panjang berkelanjutan serta tidak serba instan. Di sinilah pendiasporaan kader Muhammadiyah memerlukan banyak faktor yang saling terkoneksi dan terintegrasi sehingga dilakukan “by design”. Kader Muhammadiyah harus menjadi anak panah Persyarikatan yang hadir sebagai “ummatan wasatha” sekaligus menjadi “syuhada ala al-nas” yang unggul-berkemajuan. Seluruhnya memiliki misi utama mewujudkan dakwah dan tajdid Muhammadiyah di berbagai lembaga keumatan, kebangsaan, dan ranah global yang menebar Rahmatan Lil-‘Alamin!
Sumber: Majalah SM Edisi 07 Tahun 2024