YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah - Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir hadir meresmikan Masjid Ngadinegaran, Mantrijeron, Yogyakarta, Jumat (31/10).
Peresmian ini juga dihadiri Ketua PP Muhammadiyah Agung Danarto, Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah DIY Muhammad Ikhwan Ahada, Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Yogyakarta Aris Madani, dan Asisten Sekretaris Daerah Kota Yogyakarta Yunianto Dwisutono.
Masjid ini secara konstruksi, mengusung gaya Jawa-Indis. Yang menarik lagi, secara geografis, masjid ini terletak pada garis sumbu filosofi sebagai representasi dari hubungan antara manusia, alam, dan Sang Pencipta.
Dalam kesempatan itu, Yuwono Sri Suwito, mewakili panitia, menyampaikan terima kasih atas kehadiran dalam peresmian masjid ini. Ia menerangkan, masjid ini dibangun di atas tanah wakaf Zariah Muchtarom seluas 577 m2.
"Pembangunan masjid dimulai tahun 1979, selesai tahun 1980. Dan diresmikan oleh Ar Fachrudin," katanya.
Dalam perkembangan selanjutnya, masjid tidak lagi dapat menampung jamaah yang membludak, terutama saat shalat Jumat. Karena itu, langkah renovasi dilakukan.
"Sekalian menyesuaikan dengan garis sepadan jalan yang ditetapkan oleh Pemerintah," katanya, yang menyebut, jika masjid ini letaknya sangat strategis.
"Masjid pertama yang dibangun di Sumbu Filosofi," bebernya, dengan menyebut, keseluruhan biaya pembangunan Masjid Ngadinegaran berjumlah Rp 2.681.396.498.
Yunianto menyampaikan apresiasi atas kolaborasi semua pihak, yang telah mengerahkan tenaga pikiran untuk bersama-sama membangun masjid tersebut. "Ini bagian dari amal jariyah kita semua," katanya.
Baginya, masjid harus menjadi ruang terbuka untuk semua. Terutama, dalam aspek pendidikan, sosial, ekonomi, dan sebagainya. "Semoga masjid ini memberikan kemaslahatan bagi kita," katanya.

Sementara, Haedar menyampaikan tahniah atas terselesaikannya rangkaian renovasi Masjid Ngadinegaran. "Mudah-mudahan peresmian masjid ini dirahmati oleh Allah SwT. Semua menjadi amal bagi kita," ucapnya.
Haedar sangat senang, masjid ini bisa selesai dengan baik. Yang menurutnya, merupakan manifestasi dari ikhtiar dan niat yang tulus. "Semua tergantung niat bersama," tuturnya. Terutama, arsitektur yang memadukan konsep kebudayaan Jawa nan kental.
"Islam dan budaya itu tidak dapat dilepaskan," ucapnya. Ditegaskan Haedar, kebudayaan yang dicita-citakan dan dibangun Islam tentu saja selain bersumber pada nilai-nilai ajaran Islam yang komprehensif.
"Kebudayaan itu substansinya menyentuh jiwa dan alam pikiran. Jangkar utamanya pada tauhid dan watak kepribadiannya bersendikan al-akhlaq al-karimah sebagaimana dicontohkan Nabi Muhammad Saw," tandasnya.
Selain itu, Haedar juga mendorong agar Masjid Ngadinegaran dapat menjadi pusat peningkatan kualitas keimanan. "Masjid harus menjadi tempat untuk meningkatkan keimanan kita kepada Allah," ujarnya. Juga, tak kalah pentingnya, peningkatan ilmu pengetahuan dan keagamaan secara universal.
"Masjid ini menjadi masjid klasik, tapi megah dan modern. Harapan saya jadikan masjid ini bukan hanya sekadar pusat beribadah, bersamaan dengan itu menjadi tempat berumalah dunyawiyah untuk mendidik anak-anak menjadi tempat menyebarkan kebudayaan yang berbasis pada nilai-nilai yang rahmatan lil 'alamin," tandasnya. (Cris)
 
                            
 
                                     
                                                                                    
 
                                                                                    
 
                                     
                                    