Haji 2025, Sebuah Refleksi dan Paradigma Haji Mabrur

Publish

12 June 2025

Suara Muhammadiyah

Penulis

1
263
Foto Istimewa/Pixabay

Foto Istimewa/Pixabay

Oleh: Muhammad Akhyar Adnan, Ketua Bidang Kajian Ekonomi Syariah Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Dosen Prodi Akuntansi FEB Universitas Yarsi, Anggota Dewan Pengawas BPKH 2017-2022

 

Pelaksanaan ibadah haji 2025 telah usai, namun menyisakan sejumlah catatan kritis yang menuntut evaluasi mendalam dari pemerintah, penyelenggara, dan jamaah. Sebagai rukun Islam kelima, ibadah haji tidak hanya menjadi ujian spiritual bagi jamaah, tetapi juga ujian tata kelola bagi Kementerian Agama (Kemenag) selaku penyelenggara. 

Tahun ini, Menteri Agama, Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, yang juga menjabat sebagai Imam Besar Masjid Istiqlal dan Ketua Amirul Hajj, menjadi sorotan utama. Pernyataan dan tindakan selama penyelenggaraan haji 2025 memunculkan pertanyaan serius tentang transparansi, keberanian, dan tanggung jawab dalam mengakui masalah yang terjadi. Dengan transisi tugas penyelenggaraan haji ke Badan Pengelola Haji (BPH) pada 2026, pelajaran dari tahun ini menjadi krusial untuk memastikan perbaikan di masa depan.

Pada puncak pelaksanaan haji 2025, Nasaruddin Umar mengklaim bahwa penyelenggaraan haji tahun ini berjalan lebih baik dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Pernyataan ini, sebagaimana dilansir berbagai media, memicu reaksi keras dari Tim Pengawas (Timwas) Haji DPR RI. Anggota DPR seperti Adies Kadir menegaskan bahwa Kemenag gagal mengantisipasi sejumlah masalah krusial, mulai dari pengusiran jamaah dari penginapan di malam hari, keterlambatan konsumsi, hingga minimnya kehadiran petugas saat situasi darurat di Muzdalifah dan Mina. Pernyataan Menag ini dinilai kurang mencerminkan kejujuran dan sportivitas, yang seharusnya menjadi landasan untuk membuka ruang dialog konstruktif guna memperbaiki sistem.

Sebagai Ketua Amirul Hajj, Nasaruddin Umar memimpin delegasi yang melibatkan pejabat tinggi, termasuk Wakil Amirul Hajj Mochamad Irfan Yusuf (Kepala Badan Penyelenggara Haji) dan Romo R. Muhammad Syafi’i (Wakil Menteri Agama), serta anggota seperti Dudy Purwagandhi (Menteri Perhubungan), Arifatul Choiri Fauzi (Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak), Taruna Ikrar (Kepala BPOM), Dahnil Anzar Simanjuntak (Wakil Kepala BP Haji), Amirsyah Sanusi Tambunan (Sekjen MUI), Syamsul Anwar (PP Muhammadiyah), Arif Satria (Ketua ICMI/Rektor IPB), dan Akhmad Said Asrori (PBNU).

Namun, peran para pejabat ini dipertanyakan karena kurang jelasnya kontribusi mereka dalam menangani masalah di lapangan. Laporan di media sosial X mencatat ribuan jamaah terpaksa berjalan kaki dari Muzdalifah ke Mina akibat kemacetan parah dan minimnya transportasi, ditambah dengan kondisi tenda di Mina yang melebihi kapasitas ideal. Keluhan lain mencakup jamaah yang terpisah dari keluarga, seperti ibu, anak, dan menantu yang ditempatkan di hotel berbeda, serta pelayanan logistik buruk, seperti makanan yang terlambat atau basi.

Kejujuran dalam mengakui kekurangan adalah langkah awal menuju perbaikan. Alih-alih membela diri dengan narasi positif, Menag seharusnya dapat mengakui masalah secara terbuka, sebagaimana diharapkan publik. Sikap ini tidak hanya akan menjaga kepercayaan masyarakat, tetapi juga menjadi landasan untuk evaluasi yang lebih objektif dan solutif.

Masalah-Masalah yang Mengemuka

Pelaksanaan haji 2025 menghadapi sejumlah kendala yang seharusnya dapat diantisipasi dengan perencanaan matang. Salah satu masalah utama adalah kegagalan sistem transportasi, terutama saat pergerakan jamaah dari Muzdalifah ke Mina. Ribuan jamaah terpaksa berjalan kaki dalam suhu panas ekstrem (mencapai 50°C) dan kepadatan yang membahayakan, terutama bagi jamaah lanjut usia. Kondisi ini diperparah oleh minimnya koordinasi petugas haji, yang seharusnya hadir untuk mengarahkan dan membantu jamaah. Tenda di Arafah dan Mina juga dilaporkan kelebihan kapasitas, menyebabkan ketidaknyamanan dan risiko kesehatan.

Masalah visa menjadi sorotan lain. Kasus Heri Risdiyanto, jamaah asal Bandung yang dipulangkan dari Jeddah karena visa haji regulernya dinyatakan tidak aktif, menunjukkan kegagalan sistem SISKOHAT Kemenag yang belum terintegrasi dengan platform E-hajj Arab Saudi. Kejadian ini tidak hanya menimbulkan kerugian finansial dan emosional, tetapi juga memperlihatkan lemahnya koordinasi dengan otoritas Arab Saudi. Selain itu, pelayanan logistik, seperti makanan yang terlambat atau basi, menjadi keluhan berulang. Jamaah juga mengalami kesulitan akibat pemisahan keluarga, seperti ibu dan anak yang ditempatkan di penginapan berbeda, yang seharusnya dapat dihindari dengan manajemen data yang lebih baik.

Minimnya kehadiran petugas haji saat situasi darurat, seperti kepadatan di Mina, semakin memperburuk situasi. Meskipun Menag menegaskan bahwa petugas harus mengutamakan pelayanan, fakta di lapangan menunjukkan bahwa arahan ini tidak sepenuhnya terlaksana. Ketidaksiapan petugas dalam menangani situasi darurat menunjukkan perlunya pelatihan yang lebih intensif dan seleksi yang lebih ketat.

Pelajaran untuk Badan Pengelola Haji (BPH)

Haji 2025 menjadi tahun terakhir Kemenag menangani penyelenggaraan haji sebelum tugas ini dialihkan ke Badan Pengelola Haji (BPH) pada 2026, sesuai Keputusan Presiden Nomor 144/P Tahun 2024. Transisi ini menuntut keseriusan tinggi, mengingat BPH masih menghadapi tantangan legal standing dan kesiapan sumber daya manusia (SDM). Peneliti haji dari UIN Syarif Hidayatullah, Dadi Darmadi, menyoroti bahwa pengelolaan haji ke depan harus memperhatikan empat aspek utama: regulasi yang mendukung, terobosan investasi keuangan haji, tata kelola yang transparan, dan SDM yang kompeten.

Pengalaman haji 2025 menunjukkan bahwa koordinasi lintas sektor, baik dengan otoritas Arab Saudi maupun antar-lembaga di Indonesia, adalah kunci keberhasilan. Masalah visa, transportasi, dan fasilitas harus menjadi pelajaran agar BPH membangun sistem yang lebih terintegrasi. Misalnya, integrasi teknologi informasi antara SISKOHAT dan platform E-hajj perlu diprioritaskan untuk mencegah kasus seperti yang dialami Heri Risdiyanto. Selain itu, BPH harus memastikan petugas haji memiliki kompetensi teknis dan spiritual, dengan pelatihan yang mencakup manajemen krisis dan pelayanan jamaah dalam situasi ekstrem.

Tata kelola keuangan haji juga perlu diperhatikan. Pengelolaan dana haji yang transparan dan akuntabel akan memastikan bahwa fasilitas seperti transportasi, penginapan, dan konsumsi dapat memenuhi standar kelayakan. BPH juga harus memperkuat komunikasi dengan jamaah sebelum keberangkatan, termasuk sosialisasi tentang potensi kendala di Tanah Suci, sehingga jamaah lebih siap secara mental dan fisik.

Paradigma Haji Mabrur: Menemukan Makna dalam Penderitaan

Bagi jamaah haji 2025 yang mengalami berbagai kendala—seperti terpisah dari keluarga, berjalan kaki jarak jauh, menunggu bus berjam-jam, kekurangan tempat tidur, atau menerima makanan tidak layak—kekecewaan tentu tak terhindarkan. Namun, penting untuk mengadopsi paradigma yang lebih luas tentang makna ibadah haji. Seperti disampaikan Menag dalam salah satu kesempatan, haji mabrur tidak diukur dari kelancaran pelaksanaan di Tanah Suci, tetapi dari perubahan akhlak dan perilaku setelah kembali ke tanah air.

Dalam perspektif Islam, haji mabrur adalah haji yang diterima Allah, ditandai dengan akhlak mulia, ibadah yang semakin rajin, menjauhi dosa, dan kontribusi sosial yang nyata. Hadis riwayat Bukhari dan Muslim menyebutkan bahwa balasan haji mabrur adalah surga (jannah). Oleh karena itu, penderitaan yang dialami jamaah selama haji 2025—meski menyakitkan—dapat dipandang sebagai ujian spiritual yang memperkuat nilai ibadah mereka. Penderitaan seperti menunggu bus lama atau kekurangan fasilitas adalah harga yang relatif kecil dibandingkan janji jannah yang abadi.

Jamaah perlu menyadari bahwa haji bukan sekadar perjalanan fisik, tetapi juga perjalanan batin menuju kesadaran ilahiah dan kemanusiaan. Dengan paradigma ini, jamaah diharapkan dapat melepaskan kekecewaan dan fokus pada upaya mempertahankan kemabruran haji dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, mereka dapat meningkatkan kepedulian terhadap sesama, seperti membantu masyarakat kurang mampu atau aktif dalam kegiatan sosial, sebagai wujud nyata haji mabrur.

Pelaksanaan haji 2025 menyisakan pelajaran berharga. Menteri Agama Nasaruddin Umar dan delegasi Amirul Hajj, termasuk Mochamad Irfan Yusuf, Romo R. Muhammad Syafi’i, Dudy Purwagandhi, Arifatul Choiri Fauzi, Taruna Ikrar, Dahnil Anzar Simanjuntak, Amirsyah Sanusi Tambunan, Syamsul Anwar, Arif Satria, dan Akhmad Said Asrori, perlu mengakui kekurangan dengan jujur dan sportif. Masalah transportasi, visa, fasilitas, dan pelayanan petugas harus menjadi evaluasi serius bagi BPH. Koordinasi yang lebih baik, SDM kompeten, dan regulasi jelas adalah kebutuhan mendesak untuk memastikan haji 2026 berjalan lebih baik.

Bagi jamaah, paradigma haji mabrur harus menjadi pegangan. Penderitaan selama haji adalah ujian yang, jika diterima dengan ikhlas, menjadi bagian dari perjuangan menuju jannah. Dengan semangat evaluasi dan pembelajaran, diharapkan haji 2026 dapat memberikan kenyamanan maksimal, mencerminkan visi ibadah yang maslahat, selamat, khusyuk, dan sehat, serta memenuhi harapan jutaan umat Islam Indonesia.


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Oleh: Bahrus Surur-Iyunk Agaknya kita yang telah menjalani Ramadhan beberapa hari ini harus menguku....

Suara Muhammadiyah

20 March 2024

Wawasan

Tafsir Sejarah Bangsa: Keharusan Menulis Pejuang Muslim Oleh: Saidun Derani Ada sebuah kejadian ta....

Suara Muhammadiyah

10 December 2023

Wawasan

Konferensi XIII: Berdirinya Muhammadiyah Tiga Kabupaten dan PMW Lampung Oleh: Aditya Nurrohman, Mah....

Suara Muhammadiyah

18 February 2025

Wawasan

Oleh: Iman Permadi Tujuan diberikannya mata kuliah kemuhammadiyahan di Perguruan Tinggi Muhammadiy....

Suara Muhammadiyah

31 May 2025

Wawasan

Bergerak Bersama Rayakan Merdeka Belajar Oleh: Wakhidah Noor Agustina, S.Si. Sejak proklamasi keme....

Suara Muhammadiyah

25 November 2023

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah