Hari Udara Bersih Internasional: Refleksi Keberpihakan Filantropi Islam

Publish

9 September 2025

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
161
Santri Muhammadiyah dan Sepeda

Santri Muhammadiyah dan Sepeda

Hari Udara Bersih Internasional: Refleksi Keberpihakan Filantropi Islam

Oleh: Miqdam Awwali Hashri, M.Si, Lembaga Dakwah Komunitas PP Muhammadiyah, Mahasiswa Doktoral UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Pegiat Sepeda

Hari Udara Bersih Internasional seharusnya menjadi momentum untuk mengkalibrasi ulang keberpihakan kita. Udara bersih adalah hak semua orang namun dalam realitasnya pihak yang paling menderita akibat polusi dan emisi adalah mereka yang hidup dengan kesederhanaan. 

Bersepeda: Upaya Menyucikan Udara

Hari Udara Bersih Internasional pada 7 September hadir sebagai momentum refleksi. Peringatan ini seharusnya tidak sekadar seremoni. Atau bahkan mungkin, sebagian besar masyarakat kita juga belum tentu familiar dengan peringatan ini. Terlepas dari itu, momentum ini harus bisa menjadi pengingat bahwa kualitas udara adalah hak dasar seluruh makhluk hidup di bumi. Polusi udara yang kian parah hari ini, terutama diperkotaan, membuktikan bahwa gaya hidup modern telah menjauhkan manusia dari harmoni ekologis.

Dalam perspektif keagamaan, polusi udara bukan hanya masalah teknis transportasi atau industri. Polusi udara mencerminkan dosa kolektif manusia modern, yang mengedepankan kenyamanan instan tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang. Udara yang semakin kotor adalah bukti bahwa peradaban kita mengalami krisis spiritual dan kehilangan kesakralan ekologis.

Dalam situasi inilah sepeda hadir sebagai simbol pertobatan ekologis. Sepeda bukan sekadar alat transportasi yang hemat biaya, tetapi juga gaya hidup yang menyatukan kesederhanaan, kesehatan, dan kepedulian pada lingkungan. Sepeda mengajarkan manusia untuk bergerak meminimalisir jejak polusi dan emisi bagi bumi.

Fatwa MUI No. 86/2023 tentang hukum pengendalian perubahan iklim memberikan dasar moral yang kuat. Fatwa ini menegaskan bahwa upaya mengurangi emisi adalah kewajiban keagamaan dan sosial. Fatwa tersebut juga mengharamkan segala bentuk tindakan yang dapat menyebabkan kerusakan lingkungan dan berdampak pada krisis iklim. Dengan demikian, bersepeda bisa dimaknai sebagai salah satu bentuk berkendara halal, dan juga bentuk aktivitas lainnya dengan cara meminimalisir penggunaan kendaraan berbahan bakar fosil.

Bersepeda  tidak hanya berfungsi sebagai aktivitas fisik. Bersepeda adalah salah satu bentuk laku spiritual yang meneguhkan komitmen manusia terhadap kehidupan yang lebih sehat dan ramah lingkungan. Dalam setiap kayuhan bersepeda, terdapat kesadaran untuk mengurangi beban polusi dan emisi dalam upaya menjaga kebersihan dan kesucian  udara yang menjadi hak bersama setiap  makhluk.

Seorang pemikir muslim abad ini, Seyyed Hossein Nasr, menilai bahwa krisis lingkungan modern berakar dari krisis spiritual, yakni hilangnya kesakralan alam. Manusia modern memandang alam sekadar objek eksploitasi, bukan ruang hidup yang harus dihormati. Dalam kerangka ini, bersepeda adalah simbol kembalinya manusia pada upaya kesadaran sakral terhadap alam.

Perspektif ini diperkuat oleh pandangan Fritjof Capra. Capra menekankan bahwa kehidupan adalah jejaring yang saling terhubung, sehingga setiap tindakan kecil memberi pengaruh besar pada keseluruhan sistem. Kayuhan sepeda yang sederhana sekalipun adalah bagian dari kontribusi nyata dalam jejaring kehidupan. Dengan bersepeda, manusia menyadari bahwa ia adalah bagian dari sistem ekologis, bukan penguasanya. Dari perspektif ini, pedal sepeda merupakan  salah satu media dalam upaya menjaga kelestarian bumi.

Kesadaran tersebut membawa kita pada hubungan yang lebih luas. Jika sepeda dapat menjadi simbol laku pertobatan ekologis individu, maka filantropi Islam dapat menjadi instrumen kolektif untuk menghadirkan keadilan ekologis. Dari sini, refleksi bersepeda mengalir secara alami menuju refleksi tentang filantropi.

Green Filantropi untuk Mustahik Hijau 

Filantropi Islam memiliki peran penting dalam menjawab krisis udara dan iklim. Menurut para ahli, potensi zakat nasional dapat mencapai angka ratusan triliun rupiah setiap tahun. Ini merupakan adalah kekuatan besar yang belum sepenuhnya diarahkan untuk menjawab masalah ekologis. Konsep green zakat yang kini berkembang adalah upaya untuk memadukan filantropi dengan keberlanjutan lingkungan. Hal ini semakin menguat dengan telah diluncurkannya konsep Green Zakat Framework pada bulan Agustus 2025 lalu, yang menyusul Green Waqf Framework yang lebih dulu diimplementasikan.

Namun potensi besar ini masih membutuhkan penerjemahan yang lebih konkret. Salah satu arah yang mendesak adalah keberpihakan kepada kelompok mustahik hijau. Yang dimaksud dengan mustahik hijau adalah mustahik yang aktivitasnya minim menimbulkan polusi dan emisi, terutama mustahik yang ada diperkotaan. Mereka adalah kelompok pekerja sederhana yang mencari nafkah dengan hampir tidak menimbulkan polusi dan emisi. Ironisnya mereka adalah yang paling rentan terhadap dampak pencemaran udara. Mereka hampir tidak memberikan kontribusi atas kotornya udara, namun mereka terkena dampak seperti risiko kesehatan.

Kelompok mustahik hijau dapat kita temukan dalam kehidupan sehari-hari. Beberapa contoh yang bisa kita perhatikan adalah para tukang becak, penjual jamu gendong yang berjalan kaki, pedagang kopi sepeda yang berkeliling di sekitar kota, penjual kue putu keliling bersepeda, pedagang gerobak dorong, penjual kerupuk keliling, hingga tukang tambal ban dan bengkel sepeda adalah contoh nyata. Mereka hidup sederhana, bekerja keras, dan berkontribusi menjaga udara tetap bersih tanpa disadari banyak orang.

Memuliakan kelompok ini melalui zakat adalah langkah strategis. Tindakan ini tidak hanya memenuhi aspek keadilan ekonomi, tetapi juga mengakui kontribusi ekologis mereka. Dengan keberpihakan ini, zakat tidak lagi sekadar menjadi instrumen redistribusi harta, tetapi juga instrumen mitigasi risiko polusi dan iklim.

Keberpihakan kepada mustahik hijau juga memiliki nilai edukasi. Masyarakat dapat belajar bahwa hidup sederhana dengan bersepeda atau menggunakan transportasi umum adalah pilihan yang bermakna bagi bumi. Filantropi dalam hal ini tidak hanya memberi manfaat langsung bagi mustahik, tetapi juga menumbuhkan kesadaran ekologis kolektif. 

Organisasi Pengelola Zakat (OPZ) juga dapat menjadi teladan. Keberpihakan ekologis akan lebih dipercaya oleh publik jika pimpinan OPZ dan amilnya menunjukkan komitmen nyata. Termasuk para akademisi dan tokoh agama juga harus memberikan contoh dalam hal meminimalisir polusi dan emisi. Membiasakan diri bersepeda untuk aktivitas jarak dekat adalah bentuk sederhana namun kuat. Dengan cara ini, aktor filantropi Islam bukan hanya mengajak, tetapi juga menunjukkan keteladanan prilaku keberlanjutan. 

Langkah konkret bisa diambil melalui program inovatif. Misalnya, “Zakat untuk Sepeda Mustahik” atau "Bantuan untuk Bengkel Sepeda" dapat menjadi terobosan yang menghubungkan filantropi Islam dengan gaya hidup ramah lingkungan. Program ini selain menguatkan alat transportasi ramah lingkungan sekaligus simbol penguatan ekonomi dan ekologis bagi mustahik. Pada akhirnya, transportasi ramah lingkungan, zakat, dan spiritualitas saling bertemu. Sepeda melahirkan kesadaran ekologis, zakat menghadirkan keadilan sosial, dan spiritualitas memberi makna terdalam dari semua itu. Dengan bersepeda, pertobatan ekologis individual dimulai sedangkan zakat dapat menguatkan solidaritas ekologis secara kolektif. Sepeda hanya salah satu sarana saja dalam mengurangi polusi udara dan emisi. Ada banyak cara lainnya seperti berjalan kaki, transportasi umum, dan lain-lain, yang pada intinya adalah upaya mengurangi polusi udara.

Muzaki juga memiliki peran yang strategis dalam menolong mustahik hijau. Jangan sampai harta yang ditunaikan untuk berzakat, sedekah, infak, dan waqf terdapat "noda polusi dan emisi". Muzaki juga harus berupaya memastikan harta halalnya tidak tercampuri oleh perilaku merusak lingkungan.

Hari Udara Bersih Internasional adalah momen penting untuk mengkalibarsi ulang arah peradaban berkelanjutan. Polusi udara adalah refleksi krisis spiritual modernitas dan sepeda adalah simbol pertobatan yang sederhana namun strategis. Zakat dan filantropi Islam kemudian memperluas makna ini menjadi gerakan sosial yang berpihak pada kelompok rentan, yaitu mustahik hijau.

Refleksi ini menegaskan bahwa udara bersih bukanlah hak eksklusif, melainkan hak dasar semua manusia bahkan seluruh makhluk hidup yang ada di bumi. Mustahik hijau yang setiap hari menjaga bumi dengan gaya hidup sederhana pantas mendapat keberpihakan. Dengan penuh keyakinan, keberpihakan ini akan mendatangkan keberkahan dari Allah SWT. Wallahua'lam


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas Bayangkan sebuah adegan dramati....

Suara Muhammadiyah

12 May 2025

Wawasan

Jihad Ekologis dan Isyarat Nabi dalam Memelihara Lingkungan Oleh: Khulanah, pendidik pondok pesantr....

Suara Muhammadiyah

2 March 2025

Wawasan

Ibrah Keluarga Ibrahim Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas Saya in....

Suara Muhammadiyah

8 August 2024

Wawasan

Benang Kusut Mafia Perlu Solusi Mendesak  Oleh: Sobirin Malian/Dosen Fakultas Hukum UAD Perga....

Suara Muhammadiyah

14 April 2025

Wawasan

Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas  Mari kita telaah Surah Al....

Suara Muhammadiyah

13 June 2025

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah