Ibu-Ibu Penjaga Negeri: Dakwah Ketahanan Pangan Ala 'Aisyiyah

Publish

13 May 2025

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
159
Foto Istimewa

Foto Istimewa

Ibu-Ibu Penjaga Negeri: Dakwah Ketahanan Pangan ala Aisyiyah

Oleh: Furqan Mawardi, Ketua Lembaga Pengembangan Cabang Ranting Masjid dan Pesantren PWM Sulawesi Barat, dan Wakil Rektor 1 Universitas Muhammadiyah Mamuju. 

Dalam sunyi kerja-kerja domestik dan pekatnya tantangan global, diam-diam ibu-ibu Aisyiyah tengah menabur benih ketahanan bangsa. Mereka tidak bersenandung dalam ruang hampa. Mereka bergerak di antara ladang, dapur, forum pengajian, hingga mimbar-mimbar dakwah untuk menyuarakan satu hal: pangan adalah masalah iman, kemanusiaan, dan keberlangsungan hidup bangsa. Maka, dakwah ketahanan pangan bukanlah isu pinggiran. Ia adalah panggilan zaman dan Aisyiyah, seperti biasa, menjawabnya dengan langkah nyata.

Tema milad Aisyiyah ke-108 tahun ini, “Memperkokoh Ketahanan Pangan Berbasis Desa Qaryah Thayyibah Menuju Ketahanan Nasional”. Tentu tema kali ini bukan sekadar slogan. Ia adalah jawaban terhadap krisis pangan global, keterbatasan distribusi, perubahan iklim, dan membengkaknya angka stunting. Aisyiyah menawarkannya dari perspektif Islam yang membumi, bahwa perempuan adalah agen perubahan, dan pangan bukan hanya urusan perut, tapi urusan umat.

Ketahanan pangan adalah perintah agama. Dalam Al-Qur'an, Allah SWT berfirman:

فَلۡيَنۡظُرِ الۡاِنۡسَانُ اِلٰى طَعَامِهٖۤۙ

 "Fal yandzhuril insaanu ilaa tha’amihi" 

“Maka hendaklah manusia itu memperhatikan makanannya.” (QS. ‘Abasa: 24).

Imam Al-Qurthubi dalam tafsirnya menjelaskan, ayat ini tidak hanya memerintahkan manusia untuk memperhatikan makanan secara fisik, tetapi juga memperhatikan asal-usulnya, keberkahannya, dan keberlanjutan produksinya. Maka, penguatan pangan bukan hanya soal produksi dan konsumsi, tapi soal keberlanjutan, kehalalan, dan keadilan. Di sinilah dakwah ketahanan pangan menjadi bagian dari misi Islam yang rahmatan lil-‘alamin.

Qaryah Thayyibah: Desa Tangguh, Bangsa Tumbuh

Nabi Muhammad SAW bersabda;

"Siapa yang pada pagi hari merasa aman di rumahnya, sehat badannya, dan memiliki makanan untuk hari itu, maka seakan-akan dunia dan seisinya telah dikumpulkan untuknya." (HR. Tirmidzi, no. 2346. Hadis ini dinilai hasan oleh Al-Albani)

Hadis ini menggarisbawahi tiga pilar hidup manusia: keamanan, kesehatan, dan pangan. Aisyiyah memulainya dari desa, membangun model Qaryah Thayyibah, desa yang baik secara spiritual, sosial, dan ekologis. Aisyiyah mengajarkan ibu-ibu bertani dengan bijak, mengelola kebun gizi, mengolah pangan lokal, dan membentuk koperasi perempuan. Semua ini bukan hanya solusi ekonomi, tapi bentuk dakwah bil hal.

Gerakan Aisyiyah tidak bisa dipisahkan dari teologi Al-Ma’un yang diajarkan Kiai Ahmad Dahlan. Surat ini bukan hanya kritik terhadap kemunafikan ritualistik, tapi juga seruan untuk mengurus anak yatim dan fakir miskin secara konkret. Maka, dalam konteks hari ini, siapa yang mengabaikan ketahanan pangan keluarga, desa, dan bangsanya, secara tidak langsung ia mengabaikan makna Islam yang sebenarnya.

 "Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Maka itulah orang yang menghardik anak yatim dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin.” (QS. Al-Ma’un: 1–3).

Aisyiyah memaknai ayat ini dalam kerja nyata, yakni dengan  menyantuni bukan hanya dengan nasi kotak, tapi dengan program berkelanjutan yang membuat warga desa tidak lagi bergantung. Mereka menjahit tafsir menjadi tindakan, menanamkan iman dalam ladang dan ladang dalam iman.

Perempuan, Pangan, dan Peradaban

Perempuan, menurut Sayyid Qutb dalam Fi Zhilalil Qur’an, adalah penjaga stabilitas rumah tangga dan tulang punggung peradaban. Bila perempuan diberdayakan dalam soal pangan, maka keluarga akan kuat. Bila keluarga kuat, maka masyarakat akan stabil. Dan bila masyarakat stabil, negara akan kokoh. Maka, ibu-ibu Aisyiyah sesungguhnya adalah benteng bangsa. Mereka adalah pengingat bahwa pembangunan bukan hanya jalan tol dan infrastruktur digital, tapi juga sawah yang subur dan dapur yang tidak kelaparan.

Perempuan dalam Al-Qur’an tidak sekadar disebut sebagai pelengkap laki-laki, melainkan sebagai mitra sejajar dalam tugas kekhalifahan. Dalam QS. At-Taubah ayat 71, Allah SWT berfirman:

وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ

“Dan orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan, sebagian mereka adalah penolong bagi sebagian yang lain...” (QS. At-Taubah: 71)

Tafsir Al-Maraghi menekankan bahwa awliya' di sini tidak sebatas pelindung dalam makna politik atau militer, tapi mencakup kerja-kerja sosial, ekonomi, dan kultural. Perempuan, dengan demikian, juga memiliki mandat penuh untuk turut serta dalam membangun ketahanan komunitas, termasuk dalam soal pangan. Maka, gerakan Aisyiyah bukanlah penyimpangan dari kodrat perempuan, justru pengamalan kodrat sebagai penjaga kehidupan.

Ketahanan pangan sejatinya dimulai dari rumah, dan rumah dimulai dari peran ibu. Dalam QS. Al-Baqarah ayat 233, Allah menyebutkan tentang pemberian ASI selama dua tahun sebagai bagian dari tanggung jawab seorang ibu. Ini bukan hanya soal gizi, tetapi soal keberlanjutan hidup. Jika sumber kehidupan pertama seorang anak adalah sang ibu, maka wajar bila ketahanan pangan bangsa pun bermula dari tangan perempuan.

Ibnu Katsir dalam tafsirnya menekankan bahwa ayat ini menunjukkan urgensi peran perempuan dalam menjaga keberlangsungan generasi. Maka, ketika ibu-ibu Aisyiyah mendidik keluarga agar mandiri secara pangan, itu bukan aktivitas tambahan, tapi panggilan kenabian untuk mencetak generasi Rabbani yang kuat secara lahir dan batin.

Penutup: Kado dari Ibu untuk Ibu

Pada milad Aisyiyah ke-108 di tahun 2025 ini adalah pengingat bahwa bangsa besar butuh ibu-ibu besar. Perempuan bukan sekadar pelengkap pembangunan, tapi pemangku arah perubahan. Di tangan merekalah konsep Qaryah Thayyibah menjadi nyata, bukan utopia. Pekarangan serta ladang-ladang kecil dan kampung yang jauh dari sorotan media, para ibu telah bekerja dalam senyap namun pasti, menciptakan bangsa yang berdaulat dalam hal yang paling mendasar: pangan.

Apa yang dilakukan Aisyiyah hari ini bukanlah proyek satu dua tahun, tapi kelanjutan dari keteladanan para istri Nabi. Khadijah r.a. adalah saudagar dan penyokong logistik dakwah. Ummu Salamah r.a. adalah perunding strategis dalam krisis. Dan Asma’ binti Abu Bakar adalah pemasok makanan rahasia saat Nabi hijrah. Mereka adalah perempuan yang tangguh, dan tangguh bukan berarti keras, melainkan bijak mengelola. Mereka menjaga kehidupan, menjaga iman, dan menjaga logistik. Bukankah itu juga yang kini dilakukan oleh ibu-ibu Aisyiyah?

Tugas perempuan dalam Islam adalah menjahit nilai-nilai samawi ke dalam tindakan duniawi. Itulah yang disebut oleh Syaikh Yusuf Al-Qaradlawi sebagai al-jam’u baina as-samawi wa al-ardhi, menggabungkan langit dan bumi dalam kerja sosial. Ketika seorang ibu menanam cabai di halaman, menyusun menu sehat untuk anak-anaknya, atau mendidik putrinya untuk mencintai tanah, ia sejatinya sedang menyambung tugas para Nabi: menyelamatkan kehidupan, satu piring demi satu piring, satu generasi demi satu generasi.


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Revitalisasi Spirit Ber-IMM Oleh: Asman Budiman Terinspirasi dari tema Musyawarah Komisariat PK IM....

Suara Muhammadiyah

30 October 2023

Wawasan

Sulthanan-Nashira sebagai Pakaian Politik Islam Oleh: Adrian Al-fatih, Kader Muhammadiyah Sulthana....

Suara Muhammadiyah

22 December 2023

Wawasan

Membangun Indonesia sebagai Lumbung Pangan Dunia Oleh: Prof. Dr. A. Junaedi Karso, Pengajar di FISI....

Suara Muhammadiyah

27 December 2024

Wawasan

Oleh: Donny Syofyan Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas Mengapa Iblis mendurhakai Allah....

Suara Muhammadiyah

27 March 2024

Wawasan

Islam Tidak Pernah Membenarkan KDRT Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas And....

Suara Muhammadiyah

30 August 2024

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah