IMM: Ikhtiar Membumikan Nilai-nilai Profetik dalam Gerakan Mahasiswa
Oleh: A. Mujahidin, Kader IMM Ciputat
Di tengah zaman yang kian bising oleh slogan-slogan kosong, gerakan mahasiswa dihadapkan pada tantangan besar yakni bagaimana menjadi kekuatan intelektual yang tak tercerabut dari akar nilai dan realitas umat. Dalam pusaran krisis moral, banalitas akademik, dan pragmatisme organisasi, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) hadir bukan sekadar sebagai wadah berhimpun yang di awali dengan diksi ikatan, melainkan sebagai gerakan ideologis yang menawarkan arah perubahan berbasis nilai. IMM tidak lahir dari ruang hampa. Ia adalah hasil dari dialektika sejarah, kebutuhan zaman, dan panggilan dakwah kemanusiaan.
Sejak berdirinya pada 14 Maret 1964, IMM memposisikan dirinya sebagai gerakan kader, gerakan intelektual, dan gerakan amal saleh yang menjembatani antara dunia akademik, pergerakan, dan spiritualitas. Dengan diksi lain IMM bukanlah sekumpulan aktivis tanpa arah, melainkan ia adalah organisasi yang punya basis nilai yang jelas dan cita-cita transformatif yang teguh. Seperti yang di ‘sabdakan’ dalam Trilogi nilai dasar IMM Religiusitas, Intelektualitas, dan Humanitas bukan sekadar slogan struktural, melainkan peta jalan ideologis yang menuntut penghayatan, pengamalan, dan perjuangan yang konsisten dari setiap kader.
Nilai religiusitas dalam IMM bukan dimaknai sebagai ritualisme semata, bukan pula sebagai ekspresi identitas simbolik yang kaku. Tetapi nilai religiusitas dalam ikatan adalah kesadaran mendalam bahwa seluruh praksis gerakan, seluruh napas perlawanan terhadap ketidakadilan, seluruh agenda intelektual dan sosial, berpijak pada spirit tauhid. Inilah tauhid yang membebaskan, bukan membelenggu. Tauhid yang memerdekakan manusia dari penyembahan terhadap kuasa duniawi baik dalam bentuk kekuasaan politik, ekonomi, maupun ego sektarian.
IMM menolak menjadikan agama sebagai alat kekuasaan atau kendaraan popularitas. Nilai religiusitas harus membentuk integritas moral dan keberpihakan kepada kaum mustadh’afin. Ini berarti bahwa seorang kader IMM yang shalat lima waktu tapi bungkam terhadap ketimpangan sosial, sejatinya sedang berkhianat terhadap makna sejati religiusitas yang dibawa Rasulullah: keberpihakan pada yang tertindas, kritik terhadap tirani, dan dakwah yang membebaskan. Hal ini juga seperti yang diamanatkan dalam Nilai Dasar Ikatan (NDI) poin 3 “Segala bentuk ketidak adilan, kesewenang-wenangan dan kemungkaran adalah lawan besar gerakan IMM maka perlawanan terhadapnya adalah kewajiban setiap kader IMM”.
IMM menempatkan intelektualitas sebagai basis gerakan. Tapi intelektualitas yang dimaksud bukan sekadar kemampuan menulis atau membaca buku-buku tebal. IMM mengusung semangat ilmiah radikal, yaitu keberanian berpikir kritis terhadap kenyataan sosial, keberanian merumuskan alternatif, serta keberanian untuk menyuarakan kebenaran di tengah kebungkaman sistem. Intelektualitas dalam IMM adalah pengejawantahan dari Islam sebagai agama ilmu. Maka kader IMM tidak boleh menjadikan kampus hanya sebagai ruang transaksional untuk mencari gelar, tetapi sebagai medan pertarungan gagasan dan pembangunan peradaban.
IMM menolak model aktivisme yang hanya retoris tapi minim konseptual. Dalam situasi dunia hari ini yang dipenuhi oleh misinformasi dan populisme intelektual, kader IMM ditantang untuk menjadi penjaga nalar public tersebut. Kader IMM harus berani bersikap tidak populer ketika ilmu dan keadilan dipertaruhkan. Membaca realitas sosial bukan dari instruksi, tapi dari analisis kritis. Diskusi-diskusi basis harus menjadi budaya harian, bukan sekadar agenda insidental. Semangat ini masih menjadi budaya yang terus dirawat oleh kader-kader imm, dalam hal ini bisa kita tilik dalam PC IMM Ciputat.
Nilai ketiga dalam tri kompetensi dasar IMM, yaitu humanitas, adalah wujud dari prinsip Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin. Humanitas bukan hanya urusan belas kasihan atau kegiatan bakti sosial, tapi lebih dari itu ia adalah sikap revolusioner yang menempatkan manusia sebagai subjek utama perjuangan. IMM menyadari bahwa di tengah sistem ekonomi eksploitatif, politik oligarkis, dan budaya feodalistik, martabat manusia sering kali dikorbankan.
Maka menjadi kader IMM adalah menjadi bagian dari gerakan kemanusiaan yang menyuarakan keadilan ekologis, kesetaraan gender, hak pendidikan, dan perlindungan bagi mereka yang terus-menerus disingkirkan oleh sistem. Dalam hal ini IMM tidak boleh terjebak dalam euforia program-program yang hanya bersifat simbolik. Gerakan kemanusiaan bukan soal aksi foto, tapi soal perubahan struktur. IMM harus hadir di tengah masyarakat dengan gerakan advokasi yang sistematis, riset yang tajam, dan aksi nyata yang membebaskan. Di sinilah IMM harus kembali menghidupkan kembali semangat kaderisasi yang membentuk watak militansi sosial, bukan hanya mentalitas birokrasi pragmatis.
Menghindari Bahaya Formalisme Organisasi
Sayangnya, tantangan terbesar IMM hari ini justru datang dari dalam. Banyak cabang yang terjebak dalam formalisme organisasi sibuk dengan pengurusan SK, pelaksanaan Darul Arqam Dasar, dan konten media sosial, namun kehilangan arah nilai. Banyak kader hanya bangga memakai jas merah, tanpa memahami darah perjuangan yang pernah mengalir di balik simbol itu. Maka regenerasi IMM harus dikembalikan pada nilai sebagai fondasi, bukan hanya pada jabatan sebagai formalitas.
Tanpa internalisasi nilai ini, IMM hanya akan menjadi lembaga kegiatan mahasiswa biasa, bukan gerakan ideologis yang mencerahkan. IMM harus menjadi medan latihan untuk melahirkan manusia-manusia yang utuh, yang kokoh spiritualitasnya, tajam pikirannya, dan berani mengambil risiko atas nama kemanusiaan. Kader IMM harus bisa berpikir seperti cendekiawan, bergerak seperti aktivis, dan hidup seperti pelayan umat.
IMM bukan sekadar organisasi mahasiswa, IMM adalah jalan panjang kemanusiaan. Trikompetensi dasar nilai Religiusitas, Intelektualitas, dan Humanitas adalah prinsip yang lahir dari dialektika antara Islam, ilmu, dan realitas umat. IMM adalah ruang yang memadukan zikir dan pikir, dakwah dan ilmu, teori dan aksi. Maka menjadi kader IMM adalah panggilan untuk hidup dalam perjuangan, bukan kenyamanan. Ini adalah panggilan untuk tidak hanya menjadi manusia kampus, tetapi menjadi manusia peradaban.
IMM harus tetap menjadi pelita di tengah gelapnya zaman, tetap teguh di jalan nilai, meski dunia berubah dan sistem semakin menindas. Karena sejatinya, IMM bukan tempat mencari kekuasaan, tetapi tempat menanam pengabdian. Dan pengabdian itulah yang kelak menjadi bukti bahwa kita pernah hidup untuk sesuatu yang lebih besar dari diri kita sendiri. “menjadi IMMawan dan IMMawati itu tidak mudah, jika tidak kuat maka lambaikan tanganmu” billahi fii sabilil haq fastabiqul khairat.***