Ironi Kosmik: Bagaimana Kejahatan Setan Justru Menjadi Tangga Menuju Tuhan
Penulis: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
Mengapa Tuhan menghadirkan Setan di tengah ciptaan-Nya? Ini bukan sekadar pertanyaan, melainkan sebuah pencarian eksistensial yang tak kunjung padam. Di balik beragamnya teori yang bertebaran di ruang digital, inti persoalannya tetap sama: Mengapa ada ruang bagi kejahatan di dunia yang diciptakan oleh Yang Maha Baik?
Setan, atau Lucifer, dipahami sebagai musuh primordial yang memicu dualitas antara kebenaran dan kesesatan. Jika kita mengasumsikan bahwa Setan ada demi menguji kebebasan memilih manusia, muncul sebuah dilema moral: Apakah Setan hanyalah pion dalam rencana ilahi? Jika kejahatannya justru berfungsi untuk menonjolkan kebaikan Tuhan melalui sebuah kontras, lantas bagaimana kita memposisikan tanggung jawab moral Setan? Mari kita telusuri hari ini bagaimana tradisi iman menjawab kerumitan ini.
Dalam menanggapi teka-teki eksistensi kejahatan ini, tradisi Islam menawarkan perspektif yang sangat mencerahkan dan sistematis. Untuk memahaminya, kita perlu menelusuri kembali asal-usul sosok ini. Dalam literatur wahyu, ia awalnya dikenal dengan nama Iblis, yang secara ontologis berasal dari golongan jin—makhluk yang, sama seperti manusia, memiliki kehendak bebas—dan bukan dari golongan malaikat yang patuh secara mutlak.
Titik balik dramatis terjadi saat fajar penciptaan manusia. Ketika Tuhan memerintahkan seluruh penghuni langit untuk bersujud sebagai penghormatan kepada Adam, sebuah pembangkangan besar meletus. Iblis menolak. Karena kesombongan dan pembangkangan inilah, ia bertransformasi menjadi Setan—sang pendakwa dan musuh yang nyata. Al-Qur'an mengisahkan bagaimana ia secara terbuka memproklamirkan sebuah janji suci yang kelam: ia akan mengerahkan segala upaya untuk memalingkan manusia dari jalur cahaya dan menjerumuskan mereka ke dalam ketersesatan.
Namun, di balik ancaman yang mengerikan itu, terdapat sebuah jaminan ilahi yang menenangkan. Tuhan menegaskan bahwa tipu daya Setan memiliki batasan yang sangat jelas. Ia tidak akan pernah memiliki kuasa atas hamba-hamba-Nya yang ikhlas—mereka yang menjaga kemurnian niat dan ketulusan dalam beragama. Memang benar, manusia yang tulus sekalipun mungkin akan tergelincir sesaat karena godaan, namun cahaya iman dalam hati mereka akan selalu menuntun mereka kembali melalui pintu tobat. Pada akhirnya, pengaruh Setan hanyalah sebuah ujian penyaring: ia hanya akan mampu menyeret mereka yang hatinya telah kosong dari ketulusan dan mereka yang memang berpaling dari pengabdian sejati kepada Sang Pencipta
Kehendak Bebas dan Pilihan
Penting bagi kita untuk memahami bahwa posisi Setan sebagai 'sang penentang' bukanlah sebuah takdir yang dipaksakan sejak awal penciptaannya. Setan tidak diciptakan sebagai entitas jahat secara mekanis; ia tidak diprogram untuk menjadi musuh Tuhan. Sebaliknya, ia adalah makhluk yang bermula dengan kanvas yang bersih, memiliki potensi yang sama besarnya untuk menjadi hamba yang saleh maupun menjadi penentang yang durhaka—sebuah dinamika yang sangat mirip dengan kondisi eksistensial kita sebagai manusia.
Landasan filosofis ini ditegaskan secara eksplisit dalam Al-Qur'an, tepatnya pada Surat Az-Zariyat ayat 56, di mana Tuhan berfirman: (berbicara dalam bahasa Arab), yang berarti, 'Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.' Ayat ini mengungkapkan sebuah rahasia besar: baik golongan jin (asal mula Iblis) maupun manusia, keduanya berbagi cetak biru tujuan yang sama, yaitu pengabdian kepada Sang Pencipta.
Namun, pengabdian atau ibadah yang diinginkan Tuhan bukanlah sebuah kepatuhan robotik tanpa nyawa. Tuhan tidak menginginkan ketaatan yang terjadi secara otomatis seperti gerak planet pada orbitnya. Ibadah yang sejati adalah kepatuhan yang disengaja (deliberate obedience). Ini adalah sebuah penghambaan yang lahir dari keputusan sadar, sebuah pilihan yang diambil di persimpangan jalan antara ketaatan dan pembangkangan. Agar pilihan ini menjadi bermakna, Tuhan harus menganugerahkan sebuah instrumen yang sangat berisiko sekaligus mulia, yaitu kehendak bebas (free will).
Oleh karena itu, Iblis (atau yang dalam tradisi Barat dikenal sebagai Lucifer) sejatinya adalah pemegang kehendak bebas yang berdaulat atas dirinya sendiri. Ia memiliki kapasitas intelektual dan spiritual untuk memilih antara tunduk pada perintah ilahi atau menuruti ego pribadinya. Tragedi besar itu terjadi saat perintah untuk bersujud kepada Adam dikumandangkan: sementara para malaikat—yang secara kodrati taat—langsung bersujud, Iblis justru menggunakan kehendak bebasnya untuk menyalakan api kesombongan. Di titik itulah, melalui pilihannya sendiri, Iblis bertransformasi menjadi Setan. Ia tidak dibuat menjadi jahat; ia memilih untuk menjadi jahat.
Kendali Tuhan dan Tujuan Kejahatan
Sebuah pertanyaan besar kemudian muncul: Jika Tuhan Maha Mengetahui segala sesuatu, mengapa Dia tetap menciptakan makhluk yang jelas-jelas memiliki potensi destruktif sebesar Setan? Mengapa membiarkan ada celah bagi kejahatan yang begitu masif? Jawaban atas misteri ini terletak pada keseimbangan antara kehendak bebas dan kedaulatan ilahi. Memang benar, Tuhan menganugerahkan kebebasan memilih kepada Setan, dan Setan secara sadar menyalahgunakan anugerah tersebut untuk menempuh jalan kegelapan. Namun, perlu kita sadari bahwa meskipun Tuhan mengizinkan kejahatan terjadi di atas panggung dunia ini, Dia tidak pernah melepaskan kendali-Nya sedikit pun.
Dalam skenario alam semesta ini, Setan beroperasi di bawah pengawasan yang ketat. Ia mungkin tampak memiliki kekuasaan, namun sebenarnya ia bergerak dalam parameter atau batas-batas yang telah ditetapkan oleh Tuhan. Ia diberi keleluasaan, tetapi keleluasaan itu tidak pernah absolut. Ibarat seekor binatang buas yang diikat dengan tali yang panjang, ia bisa bergerak ke sana kemari, namun ia tidak akan pernah bisa melampaui batas yang telah dipatok oleh Sang Pemilik Jagat Raya.
Salah satu batasan yang paling nyata ditegaskan dalam Al-Qur'an: Setan sama sekali tidak memiliki otoritas untuk menundukkan jiwa-jiwa yang tulus (mukhlasin). Pengaruhnya hanya sebatas bisikan, bukan paksaan. Bahkan, kita bisa melihat betapa rapuhnya strategi Setan melalui contoh-contoh sederhana namun bermakna dalam tradisi hadis, seperti konsep Sujud Sahwi dalam salat.
Bayangkan skenarionya: Setan membisikkan keraguan saat Anda sedang beribadah, mencoba membuat Anda lupa akan jumlah rakaat salat Anda. Tujuannya adalah merusak ibadah tersebut. Namun, apa yang terjadi? Ketika Anda menyadari kekeliruan itu dan melakukan sujud tambahan di akhir salat untuk memperbaikinya, Anda justru sedang membalikkan keadaan. Dengan melakukan sujud tersebut, Anda secara tidak langsung menambah jumlah pengagungan dan penghambaan kepada Tuhan. Upaya Setan yang awalnya ingin menjauhkan Anda dari Tuhan, justru menjadi pemicu bagi Anda untuk bersujud lebih banyak dan merendahkan diri lebih dalam di hadapan-Nya.
Ini adalah sebuah ironi kosmik bagi Setan. Di hadapan seorang mukmin yang gigih dan tulus, segala tipu daya Setan justru berubah menjadi tangga yang membantu manusia naik ke derajat yang lebih tinggi. Kejahatan yang ia tebarkan gagal mencapai tujuannya, karena di tangan orang-orang yang beriman, setiap godaan adalah peluang untuk memperbaharui komitmen mereka kepada Sang Pencipta.
Sisi Lain dari Kejahatan
Tuhan, dalam kebijaksanaan-Nya yang tak terhingga, terkadang mengizinkan kegelapan menyentuh dunia kita. Namun, ini bukan tanpa alasan. Di balik setiap hal buruk yang terjadi, selalu ada "sisi lain"—sebuah dimensi kebaikan tersembunyi yang sering kali luput dari pandangan manusia. Setidaknya, ada tiga alasan fundamental mengapa keberadaan Setan dan godaan-godannya justru mendatangkan kemaslahatan bagi jiwa:
· Panggung Pembuktian Iman (Ujian): Tanpa adanya godaan, kesetiaan manusia kepada Tuhan hanyalah sebuah konsep teoretis. Keberadaan Setan menciptakan sebuah ujian yang nyata bagi kehendak bebas kita. Di sinilah iman manusia ditempa; kita membuktikan kualitas diri bukan saat jalan terasa mulus, melainkan saat kita memilih untuk tetap di jalan yang lurus di tengah tarikan godaan yang kuat.
· Keindahan dalam Kontras: Ada sebuah kaidah filosofis yang mengatakan bahwa segala sesuatu dapat dikenali melalui lawannya. Tanpa kegelapan, kita tidak akan pernah benar-benar memuja keindahan cahaya. Begitu pula dengan moralitas; kita belajar menghargai, merindukan, dan memperjuangkan kebaikan justru karena kita merasakan betapa destruktifnya kejahatan. Keberadaan Setan menjadi latar belakang yang gelap agar cahaya kebenaran bersinar jauh lebih cemerlang di mata manusia.
· Penawar Kesombongan (Tobat dan Rendah Hati): Ini mungkin poin yang paling menyentuh esensi spiritualitas. Sering kali, seseorang yang merasa "terlalu saleh" terjebak dalam jebakan kesombongan diri—merasa suci dan memandang rendah orang lain. Namun, ketika seorang mukmin tergelincir karena godaan, lalu ia bangkit dengan penyesalan yang mendalam (tobat), sebuah transformasi luar biasa terjadi. Ia tidak lagi sombong. Ia menjadi hamba yang hancur hatinya di hadapan Tuhan, merasa butuh, dan sangat menghargai setiap tetes rahmat serta ampunan-Nya. Melalui proses jatuh dan bangun inilah, manusia belajar mencintai Tuhan bukan sebagai "pribadi yang sempurna", melainkan sebagai hamba yang sangat merindukan kasih sayang dan pengampunan Sang Pencipta.
Kesimpulan
Kita sampai pada sebuah pemahaman yang utuh dan komprehensif. Setan bukanlah entitas yang sejak awal dikutuk untuk menjadi jahat; ia lahir dengan martabat yang sama seperti makhluk lainnya—memiliki pilihan untuk menjadi abdi yang setia atau penentang yang durhaka. Ia diciptakan dengan mandat yang mulia, yakni menyembah Tuhan, namun ia sendiri yang memilih untuk mengkhianati fitrahnya melalui api pembangkangan.
Namun, di sinilah letak keagungan rencana ilahi. Walaupun Setan berupaya sekuat tenaga untuk menebar ketersesatan, Tuhan telah mematok 'garis batas' yang tak mungkin ia lampaui. Kejahatannya tidak pernah dibiarkan liar tanpa kendali; ia hanyalah badai kecil di dalam samudra kekuasaan Tuhan yang maha luas.
Yang paling menakjubkan adalah bagaimana Tuhan mengubah racun yang disebarkan Setan menjadi penawar bagi jiwa manusia. Setiap upaya penyesatan yang dilakukan Setan justru menjadi pemantik lahirnya kebaikan yang jauh lebih besar dan lebih indah. Sedikit debu kejahatan yang ia hasilkan justru dibalas Tuhan dengan limpahan berkah berupa air mata pertobatan, sujud yang lebih khusyuk, kerendahan hati yang tulus, dan pengabdian yang semakin mendalam dari hamba-hamba-Nya.
Setan hanyalah tokoh yang gagal dalam upayanya sendiri. Sebab, di tangan orang-orang yang beriman, godaan yang ia lancarkan bukannya menjauhkan manusia dari surga, melainkan justru menjadi anak tangga yang mengantarkan kita menuju kedekatan yang lebih intim dengan Sang Pencipta.

